Kisah Tara - Lelaki Bare Minimum

50 10 0
                                    

Suasana rumah menjadi sangat canggung saat Tara kembali. Om dan Tantenya tidak banyak berbicara ketika melihatnya melangkah masuk ke rumah. Suami-istri itu adalah saksi utama pertengkaran Tara dengan ibunya, tapi Tara bersyukur mereka tidak terlalu ikut campur dalam masalah itu. Justru omnya yang malah tersenyum ramah padanya begitu dia melangkah masuk.

"Maaf ya kasur kamu diompolin anak-anak. Tadi om sudah siapkan kasur lipat di ruang belajar lantai dua, kalau kamu ngantuk sementara tidur dulu di situ."

Gadis itu tersenyum, ia memberikan kantung plastik kecil toserba berisi camilan pada omnya. "Buat adek om." Ucapnya pendek.

Tara kemudian mencari ponselnya dan langsung menuju lantai dua untuk tidur. Hari itu mungkin tidur ternyenyak terakhirnya sebelum kejadian mengejutkan setelah hari itu.

***

"Raa .... bangun ...."

Sebuah suara memenuhi telinga Tara dengan nada lembut. Ia merasakan pundaknya digerakkan pelan. "Tara ... waktunya makan siang." Ujar suara itu lebih keras.

Tara yang tidak sadar posisi tidurnya tidak karuan akhirnya merenggangkan badan sembari membuka matanya sedikit. Ia melihat sosok kakak laki-lakinya sedang berjongkok untuk membangunkannya.

Gadis itu menguap. "uhah mmahan siang aja?"

Kakanya menunjukkan jam di ponselnya lalu mengucap pendek, "Kamu debat sama ibu?"

Pertanyaan itu membuat Tara perlahan bangun dan duduk sembari menggaruk kepalanya, "Iyaa ... trus langsung kabur gak mau ketemu ibu."

Kakak Tara hanya menghembuskan napas pelan. Mungkin kalau dulu dia mengetahui Tara berdebat dengan ibu mereka, kakaknya akan memberi nasihat untuk tidak terlalu 'melawan' orangtua. Tapi, untuk masalah satu ini, kakaknya tidak banyak berkomentar karena dia juga mengalami hal yang sama saat dia belum menikah.

"Emang ibu ngomong apa?"

"Lupa ... pokoknya ada kata perawan tua gitu dan bikin aku akhirnya kesulut juga. Habis aku ngomong, aku langsung kabur dan belum ketemu ibu sejak pagi tadi."

Kakak laki-lakinya mengangguk paham.

"Strategi ayah-ibu berubah."

"Hah maksudnya?"

"Aku diminta nyariin kenalan buat kamu."

"Dijodohin?"

"Lebih dekat ke kencan buta sih ...."

Tara hanya memandang kakaknya dengan ekspresi kosong, sedangkan kakaknya terlihat hati-hati karena takut menyinggung adiknya.

"Ah gitu, yaudah sih terserah. Kalau ada untung kalau nggak setidaknya aku sudah mencoba." Ujar Tara enteng sembari beranjak bangun dari kasur. Ia melipat kasurnya lalu berdiri.

"Pasti ibu yang nyuruh kan?"

Kakaknya ikut berdiri. "Siapa lagi ..." Jawabnya pendek lalu berjalan menuju tangga diikuti Tara.

Sayangnya Tara belum siap untuk membuka pembicaraan dengan ibunya. Begitu dia turun, makanan sudah siap di lantai ruang tengah. Om dan keluarganya sedang berkumpul di ruang tengah sedangkan orangtua Tara terlihat duduk-duduk di kursi ruang tamu yang bersebelahan dengan ruang tengah.

Tara melangkah mendekati ayahnya yang fokus melihat ponsel untuk salim mencium tangan ayahnya. Ia melirik sekilas ke arah ibunya yang menatap gerakan Tara. Gadis itu merasa sedikit bersalah karena sudah mendebat ibunya, tapi tidak memulai percakapan duluan dan lebih memilih untuk makan bersema om dan tantenya di ruang tengah.

Meski suasana hari itu tenang, tapi ketegangan antar Tara dan Ibunya tetap tidak bisa ditutupi. Sampai akhirnya, saat malam sudah tiba, kakak laki-lakinya memanggil Tara karena kedua orangtua mereka ingin bicara. Lagi-lagi Tara sudah menebak isi percakapan kali ini. Begitu Ayahnya membuka pembicaraan malam itu Tara langsung menghembuskan napas.

Habis Kontrak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang