Kisah Leon - Harapan Kecil

36 7 0
                                    

Kedekatan Leon dan Tara perlahan didengar oleh kedua keluarga. Hingga suatu hari kabar itu membuat Leon dipanggil pulang. Ketika dia akhirnya menyempatkan waktu di akhir pekan untuk menginap di rumah orangtuanya, yang tidak dia perkirakan adalah kedatangan kedua kakaknya di akhir pekan ini. Laila dan Erna sama-sama pulang ke rumah sore itu.

"Sendirian aja mbak? Efan gak diajak?" Tanya Leon saat sampai di rumah dan bersalaman dengan kakaknya.

"Lagi ikut mertua karena kumpul sama sepupunya di sana." Jawab Laila sambil menyambut jabat tangan Leon.

Mereka berdua saling pandang penuh arti. "Apa?" Tanya Leon pura-pura tidak paham.

"Katanya kamu deket sama orang?"

Leon memutar bola matanya bosan, "Gitulah ..."

Erna yang baru keluar dari kamarnya mendapati dua adiknya sedang berbincang di ruang tamu ikut nimbrung.

"Jadi katanya ibu dari beberapa gadis yang dikenalkan ke kamu katanya ada satu yang masih bertahan dekat ya ... tumben?" Ucap Erna sambil duduk di sebelah Laila. Ia mengulurkan tangan seakan menyuruh Leon untuk mencium punggung tangannya.

Leon dengan kesadaran penuh menepuk tangan Erna dulu lalu meraihnya untuk berjabat tangan biasa.

"Iya ada, itu kemaren yang dapat kontak dari kenalannya ibu."

"Cieeeee ...." Goda Erna dan Laila bersamaan.

"Umurnya berapa? asalnya dari mana?" oceh Laila yang mulai menginterogasi adiknya.

Leon yang mendengar itu tidak menghiraukan kakaknya lalu berjalan masuk ke kamarnya sendiri untuk menaruh barang-barang. Sebenarnya ia sudah tahu kalau hari ini keluarganya berkumpul untuk membahas itu. Tapi, sejujurnya Leon masih belum siap membahas itu semua. Masih ada rasa canggung yang memenuhi dirinya ketika membahas mengenai kenyataan bahwa ia dan Tara sudah setuju untuk melanjutkan ke jenjang serius.

Ia masih ingat percakapan mereka yang terakhir, keduanya sebenarnya sudah lelah selalu ditanya kapan nikah dan sebagainya dari orangtua masing-masing. Baik Tara dan Leon sama-sama memiliki batasan dan keduanya setuju untuk menjaga batasan itu dalam pernikahan. Mereka berdua juga sudah saling mengkomunikasikan cita-cita mereka di masa depan untuk menyamakan tujuan setelah pernikahan.

Leon juga sudah menerima kontrak yang dibuat oleh Tara dan ia dalam proses menambahkan poin-poin yang ingin dia tambahkan dalam kontrak itu. Ia mengatakan pada Tara kalau hubungan mereka ini adalah sebuah simbiosis mutualisme. Keduanya berprinsip harus sama-sama diuntungkan dalam hubungan ini, yaitu lepas dari pertanyaan kapan nikah, atau ejekan 'tidak laku' dan memenuhi ekspektasi masyarakat sosial di negeri ini.

Mereka tidak bisa mengabaikan begitu saja ekspektasi sosial karena justru orang yang paling tinggi ekspektasinya tidak lain adalah kedua orangtua mereka sendiri. Bahkan ekspektasi itu semakin tinggi dalam sisi perempuan, dan Leon juga menyadari itu. Ia sendiri melihat bagaimana kakak pertamanya tertekan mengenai tuntutan sosial itu dulu.

Ketika waktu makan malam tiba, Leon akhirnya tidak bisa lagi menghindar dari keluarganya. Ia datang ke dapur untuk membantu. Ayah dan Ibunya dan kedua kakak perempuannya sudah di sana. Erna dan Laila sedang duduk manis di kursi menunggu makanan dihidangkan. Leon memandangi kedua kakaknya dengan datar karena ekspresi mereka yang memandangi Leon dengan penuh arti. 

Leon akhirnya mengambil nasi dari penanak nasi lalu meletakkannya di tengah meja. Ia mengisi teko besar denga air minum sekaligus mengambil lima gelas untuk masing-masing orang.

Ayahnya sudah duduk menunggu. Ibu Leon yang menyajikan masakan terakhir akhirnya duduk juga lalu memandang ke arah Leon. "Yuk kita mulai makan."

Setelah membagikan gelas, Leon duduk di ujung meja dengan seluruh pandangan anggota keluarga mengamatinya.

"Kenapa? Ayo makan ..." Ucap Leon sambil mengambil nasi ke piringnya. Sayangnya semua orang menahan senyum di wajah mereka, bahkan ibunya terlihat lebih sumringah saat Leon datang hari itu. Semua anggota keluarga Leon ketara sekali menunggu kabar dari dirinya. Tapi ia dengan sengaja tidak ingin membahas itu dulu sebelum keduanya setuju pada poin-poin kontrak.

"Jadi, katanya ada yang cocok?" Gumam ibunya dengan nada hati-hati.

"Ya begitulah." Jawab Leon tidak banyak memberikan informasi apapun. Ia masih tidak ingin menaikkan ekspektasi orangtuanya.

"Yang mana?" Tanya ayahnya ikut penasaran

Kali ini Leon terpaksa menjawab itu. "Yang kemarin dari kenalan temennya ibu."

Ibunya langsung menanggapi, "Yang seumuranmu itu?"

Leon mengangguk. Untuk jaga-jaga dia menambahkan, "Jangan terlalu berharap dulu, kami masih mendiskusikan banyak hal. Bisa lanjut, bisa tidak."

Semua anggota keluarganya kini terdiam. Leon bisa mendapati kakaknya Laila mendadak murung sedangkan ayah dan ibunya hanya mengangguk memahami. Meskipun proses perkenalan Leon dan Tara cukup bertahan lama, tapi ketikan Leon sendiri bilang agar mereka tidak berharap dulu, diartikan sebagai kode kalau Leon belum membicarakan masalah kondisi kesehatannya pada pihak perempuan. 

Hal ini sudah terjadi beberapa kali sebelumnya. Saat Leon mulai melakukan pendekatan dengan perempuan, semuanya berjalan lancar di awal. Sedangkan begitu ia membicarakan masalah kesehatannya, sebagian besar dari mereka mundur. Bagi orangtua dan keluarga Leon, ini adalah salah satu fase itu. Leon sengaja mengatakan seperti itu karena ia dan Tara belum menyelesaikan perumusan perjanjian pranikah mereka.

Kini Leon bisa sedikit tenang karena keluarganya tidak banyak berharap. "Kalau ada kabar baik, mungkin aku baru bisa bilang minggu depan atau maksimal dua mingguan lagi. Sekarang masih banyak yang harus dibahas dengan dia."

"Oke yaa, hasilnya baik atau buruk kami tunggu dua minggu lagi yaa?" ucap Erna menekankan ucapan Leon. Anak itu menganggukkan kepala.

Malam itu akhirnya mereka makan dengan damai. Sebagian besar pembicaraan beralih dari Leon ke Laila yang menceritakan tingkah Efan. Untuk sementara Leon bisa lepas dari kewajiban menceritakan apapun pada keluarganya.

Malam itu, saat Leon beranjak tidur ia mendapat pesan dari Tara, dan setelah Leon menerima pesan itu, ia langsung menelpon Tara.

Leon tidak menyangka jawaban dari Tara cepat. Ia baru saja mengirim poin-poin yang ingin ditambahkannya dalam perjanjian.

"Kenapa kamu ngechat begitu?" Tanya Leon begitu Tara menerima teleponnya.

"Sebenarnya aku cuma ingin ada perjanjian pranikah, tapi apa perlu sekali ditambahkan dalam kontrak kalau pernikahan kita akan berakhir ke perceraian?"

"Apa kamu keberatan dengan itu?"

Tara terdiam sejenak, "Bukan begitu, aku hanya menyayangkan kalau pernikahan ini akan berakhir, karena sejujurnya yang aku harapkan adalah pernikahan jangka panjang seperti orang pada umumnya."

"Aku merasa kamu berhak memilik orang yang lebih baik dariku ... tapi aku akan menyerahkan semuanya pada kamu. Aku merasa perlu menambahkan itu untuk mengantisipasi masa depan, dan menurutku kita tidak pernah tahu bagaimana masa depan, jadi aku hanya berjaga-jaga saja."

Tara menghembuskan napas, "Baiklah kalau kamu ingin menambahkan itu. Aku setuju."

Leon tersenyum kecil.

"Tumben kamu belum tidur jam segini?" Tanya Leon baru menyadari waktu  sudah sampai jam dua belas malam."

"Kan weekend ... tadi masih buka laptop juga jadi sekalian kucek email dari kamu."

Leon kemudian menceritakan kejadian hari ini pada Tara. Keduanya akhirnya mengakhiri hari itu dengan menceritkan sepenggal kejadian yang mereka alami beberapa minggu terakhir hingga lupa kalau waktu berlalu lama. Keduanya mungkin tidak menyadari kalau mereka sama-sama merindukan sosok untuk diajak berbicara hal remeh tentang kehidupan di saat mereka kelelahan dalam menghadapi hidup.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Habis Kontrak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang