|TI GA PULUH EM PA T|

88 3 0
                                    

Sepulang dari acara ulang tahun perusahaan rekan kerjanya, di malam yang begitu tenang. Abenard yang sedikit mabuk bergelantung pada bahu Alyssa saat mereka melangkah masuk ke rumah. Hanya lampu-lampu kecil di ruang tamu yang menerangi langkah mereka, menciptakan suasana hangat.

“Berhati-hatilah, Mas. Kamu hampir jatuh!” Alyssa berkata sambil tertawa ringan. Sedikit kesusahan karena mode baju terbuka yang dipakai Alyssa sangat panjang, dengan perut yang besar. Ia merasakan adrenalin saat membantu Abenard melintasi koridor menuju ruang keluarga.

“Wah, rasanya malam ini sangat menyenangkan,” kata Abenard, terhuyung-huyung sambil tersenyum lebar.

“Senang bisa menemanimu, Mas. Mari kita duduk sebentar sebelum kita ke kamar,” balas Alyssa, berusaha membantu suaminya untuk tetap tegak.

Mereka melangkah ke sofa di ruang keluarga yang nyaman. Abenard duduk dengan sedikit terhuyung dan Alyssa ikut duduk di sampingnya, sangat dekat. Dengan sengaja, Alyssa bersandar pada bahu Abenard dan tersenyum nakal.

“Kalau saja kamu selalu membawaku ke acara seperti itu, aku pasti akan selalu senang, Mas,” kata Alyssa, suaranya manja sembari membuat pola abstrak di dada suaminya.

Abenard tertawa pelan, matanya mulai berair akibat efek alkohol. “Kamu memang harus sering ikut. Rasanya seperti pameran yang sangat seru.”

Di saat yang sama, sudut mata Alyssa menangkap sosok Cazia yang mendadak berhenti di tengah anak tangga, memperhatikan mereka. Dengan niat jahat, Alyssa memutuskan untuk menggoda Abenard lebih jauh.

“Mas, kenapa kita tidak berkunjung ke tempat lain? Mungkin kita bisa bersenang-senang di luar?” tawar Alyssa, dengan nada menggoda.

“Apa? Sekarang? Kau tahu saya sudah mengantuk,” jawab Abenard, mengerutkan kening, tetapi senyumnya tak kunjung pudar.

“Ah, jangan bilang kamu takut tidak bisa bersenang-senang. Aku yakin kamu masih bisa bersenang-senang, kan?” Alyssa menggoda, lalu mendorong bahu Abenard lembut. “Lagipula, kita bisa bermain-main di sini saja. Siapa yang tahu apa yang bisa terjadi?”

Cazia merasa jantungnya berdegup kencang saat mendengar kata-kata Alyssa. Rasa cemburu mulai menyelimuti hatinya. Dia berusaha untuk tidak terlihat, tetapi ketegangan dalam dirinya makin bertambah saat melihat Alyssa semakin mendekat kepada Abenard.

“Kalau kamu ingin bermain, kita bisa mencoba sesuatu yang lebih menyenangkan di sini,” Alyssa melanjutkan, melirik Abenard dengan tatapan menggoda.

“Apa maksudmu?” tanya Abenard, sudah mulai bingung dengan situasi yang ada.

“Ya, kita bisa berbagi kehangatan malam ini,” Alyssa menjawab, terus berusaha membuat situasi menjadi lebih intim dengan duduk di pangkuan Abe. Long dress yang berbelah dari mata kaki sampai pangkal paha, memudahkan Alyssa dengan aksinya.

“Hm, baiklah." Abenard tertawa pelan, tetapi ia tidak menolak ajakan itu. Ia menyambut ciuman Alyssa yang menuntut hingga akhirnya malam panas itu dipimpin Alyssa di ruangan terbuka tanpa peduli bahwa ia menyakiti hati Cazia.

"Ouhh, aahhh, yahh..," desah Alyssa diselangi menggigit bibir sekaligus tangannya bertumpu pada pundak dan tangan berotot Abenard.

Sementara Abenard terlihat begitu senang dengan reaksi yang diberikan Alyssa, bisa dilihat dari senyum miringnya lalu aksinya terus berlanjut menghisap dan meremas payudara Alyssa yang dilakukan bergantian tanpa terkendala dengan perut besar Alyssa.

Sementara itu, Cazia yang masih terasa lemas akibat demam yang dialaminya, merasa terjebak antara rasa sakit dan kemarahan. Dia ingin turun, tetapi rasa cemburu menghalanginya. Dia hanya bisa mendengar suara kecapan Abenard dan Alyssa yang perlahan menjadi desahan yang menusuk jantungnya.

Keberanian untuk menghadapi mereka semakin menghilang dan Cazia memutuskan untuk mundur, menunggu waktu yang tepat untuk melawan rasa sakit yang ia rasakan. Cazia kembali ke kamar, mengurungkan niat mengambil minum ke dapur.

=>Pak Suami<=

Cazia duduk di tepi tempat tidur, memandang lama foto pernikahan mereka yang terbingkai rapi dan menggantung di dinding. Senyum lebar di wajahnya saat itu, jemarinya yang tergenggam erat di tangan Abenard, semua tampak begitu sempurna. Ia seolah bisa mendengar kembali tawa mereka, tawa yang kini hanya tinggal bayangan samar di kepalanya. Kenangan itu seakan berada di jarak yang tak terjangkau, menghilang semakin jauh dengan hadirnya bayi di rahim Alyssa.

Matanya perlahan memanas, air mata jatuh tanpa ia sadari, menandai pipinya yang pucat. Perasaan cemburu dan takut berbaur di hatinya, berdenyut semakin kuat hingga terasa menyakitkan. Ia mengingat saat-saat terakhir melihat Abenard begitu dekat dengan Alyssa—sentuhan kecil, senyum yang seharusnya hanya untuk dirinya kini seolah dibagikan tanpa perasaan bersalah. Hatinya berbisik getir, "Mengapa harus ada dia di antara kita? Apa aku tak cukup untuknya?"

Dengan berat hati, Cazia merebahkan diri di kasur. Menatap langit-langit, ia merasakan detak jantungnya berdegup cepat, seolah menandakan kegelisahan yang tidak terkatakan. Pikirannya berputar, membayangkan kemungkinan terburuk. "Apakah dia benar-benar memilih Alyssa? Mengapa dia tak lagi menatapku seperti dulu? Bagaimana bisa ia melupakan semua janji dan kasih sayang yang pernah kita bagi?"

Rasa sakit menjalar dari dadanya, merambat ke seluruh tubuhnya. Cazia menghela napas panjang, mencoba mengendalikan gejolak emosinya. Dalam hati, ia berusaha menenangkan dirinya, “Aku harus kuat... Aku tak boleh hancur hanya karena ini. Ini hanya masa sulit, bukan akhir dari segalanya… bukan?” Namun, keyakinannya itu goyah setiap kali ingatan tentang hubungan intim yang hangat dilakukan Abenard bersama Alyssa di ruang keluarga tadi muncul kembali di benaknya.

"Aku harus bertahan. Untuk Bintang, untuk keluarga kecil ini… meski aku yang harus terluka," bisik Cazia pada dirinya sendiri, menguatkan diri. Di tengah keputusasaan, ia berdoa dalam hati, memohon agar Abenard bisa kembali padanya sepenuhnya, tanpa bayangan Alyssa. Dengan suara lirih, ia berkata, "Tuhan… jika aku memang harus kehilangan cintanya, biarkan aku tahu cara untuk mengikhlaskan. Tapi jika tidak, tolong beri aku kekuatan… agar aku bisa mempertahankan semua ini."

Kata-kata itu menggantung di udara, menyelimuti keheningan malam yang hanya ditemani detak pelan dari dinding hatinya yang rapuh.

=>Pak Suami<=

Ayokkkkk gimana ini ceritanya, nyambung apa enggak.wkwk. Gak tau deh gue nyambung enggaknya, yang penting nulis dulu, entar mau revisi, revisi lagi, dari pada makin hilang feel-nya kan.

Semoga suka, guys.

Love, 1 November 24

Au

Pak SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang