|TI GA PULUH EN AM|

74 2 1
                                    

Cazia duduk di tepi tempat tidur, menatap keluar jendela yang gelap. Suara hujan yang mengguyur atap rumah hanya menambah kesedihan hatinya. Bintang yang baru saja pulang dari bermain di luar, duduk di lantai sambil memainkan mobil-mobilan kesayangannya. Namun, senyumnya sudah memudar, terpengaruh oleh suasana hatinya yang sedang tidak baik.

Bintang menatap Cazia dengan mata besar dan penuh rasa ingin tahu. "Buna, kenapa Buna sering nangis? Kenapa papa ndak pernah main sama kita lagi?"

Cazia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air matanya. “Bintang, Buna… Buna hanya merasa sedih, ya. Kadang-kadang orang dewasa itu membuat keputusan yang sulit.”

“Tapi, kenapa papa lebih sering bersama Alyssa, dibandingkan kita, Bun?" Bintang bertanya, nada suaranya penuh kepastian.

Cazia terdiam menunduk, hatinya hancur mendengar pertanyaan sederhana anaknya. “Iya, Sayang. Alyssa… dia sedang butuh papa dan papa banyak kerjaan jadi papa jarang main sama Bintang ya."

“Kenapa Alyssa butuh papa?” Bintang bertanya lagi, suaranya mulai bergetar. “Bintang juga butuh papa."

Cazia menahan isaknya menatap Bintang dengan perasaan bersalah. Ia berusaha tersenyum meski hati terasa berat. “Bintang, Sayang... Kamu lihat Alyssa sedang hamil besar, dedek bayi di perut Alyssa sedang butuh papa karena sering sakit. Nanti kalau dedek bayinya udah lahir, Bintang harus sayang sama dedek bayinya, papa juga akan main bareng Bintang lagi."

Bintang menggelengkan kepalanya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. “Tapi Bintang ingin papa bermain denganku sekarang, Buna! Kenapa harus nunggu dedek bayi dulu?”

Cazia meraih Bintang dan memeluknya erat. “Buna juga ingin begitu, Bintang. Kita harus sabar, ya? Kadang-kadang kita harus berjuang untuk mendapatkan kembali apa yang kita cintai.”

“Tapi, Buna…” suara Bintang mulai terisak. “Kenapa Bintang liat papa lebih sayang sama Alyssa?”

Cazia menghapus air mata Bintang dengan lembut. “Itu tidak benar, Sayang. Papa mungkin gak tahu bagaimana menyayangi kita seperti yang seharusnya, tapi itu gak berarti dia gak mencintai kita. Kita hanya perlu menunjukkan bahwa kita masih di sini untuknya.”

“Tapi bagaimana kalau papa ndak mau?” Bintang bertanya dengan suara pelan.

Cazia menghela napas, perasaannya bercampur aduk. “Kita harus berdoa dan berharap papa akan kembali. Kita tidak bisa memaksanya, tapi kita bisa menunjukkan cinta kita.”

Bintang mengangguk pelan, meski terlihat ragu. “Buna, apa kita akan selalu begini?”

Cazia memeluk Bintang lebih erat. “Buna gak tahu, Sayang. Tapi kita akan melalui ini bersama. Buna akan selalu ada untukmu dan kita akan selalu berjuang bersama.”

“Buna,” Bintang berbisik, "Bintang ingin papa di sini.”

Cazia mengangguk, hatinya tertekan. “Buna juga, Bintang. Mari kita berdoa supaya suatu hari papa kembali dan melihat betapa berharganya kita.”

Sementara hujan terus mengguyur, Cazia dan Bintang duduk berdekatan, berbagi rasa sakit dan harapan, meski mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah.

=>Pak Suami<=

Malam semakin larut dan hanya suara detak jam yang terdengar di dalam rumah. Cazia terbangun dari tidurnya, merasakan haus dan ingin menuju dapur. Namun, saat ia melewati kamar Alyssa, langkahnya terhenti. Pintu kamar itu sedikit terbuka dan tanpa sengaja, Cazia melihat Abe dan Alyssa tengah memadu kasih. Cazia menegang mendengar suara desahan Alyssa yang membuat hatinya bergetar.

“Ahhh, Mass... lebih dalam lagihh…” desah Alyssa terdengar penuh hasrat.

Cazia tertegun, jantungnya berdegup kencang. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Tak lama geraman pelepasan Abe yang penuh kenikmatan itu menghantamnya seperti petir di siang bolong, menghancurkan hatinya berkeping-keping.

Cazia merasa dunia sekelilingnya berputar dan air matanya mulai mengalir tanpa bisa ia tahan lagi. Dengan langkah cepat, Cazia berbalik dan kembali ke kamar. Setibanya di sana, Cazia melihat Bintang tidur dengan lelap, wajahnya polos dan damai.

Cazia mendekati anaknya, menatapnya sejenak. “Bintang, maafkan Buna,” bisiknya dengan suara tercekat.

Cazia memeluk erat Bintang, mencoba menyalurkan semua rasa sakit dan kesedihan yang menghimpit di dadanya. Di dalam pelukan hangat anaknya, Cazia merasa sedikit tenang, meskipun hati yang remuk tak bisa terobati.

“Kenapa, Mas? Kenapa kamu harus memilih dia?” gumamnya dalam isak tangis, suara yang nyaris tak terdengar. “Aku sudah berusaha, berjuang untuk kita… tapi kenapa semua ini terjadi? Kenapa aku begitu bodoh."

Bintang bergerak sedikit, seolah merasakan kesedihan ibunya. Cazia menahan napas, berusaha tidak membuat anaknya terbangun. “Maafkan Buna, Sayang. Buna harus kuat untukmu. Tapi… bagaimana bisa Buna menjadi kuat ketika hatiku hancur?”

Ia meraih bantal dan menekannya ke wajahnya, berusaha menahan tangisnya agar tidak mengganggu Bintang. “Ini bukan hidup yang seharusnya kita jalani. Seharusnya ada cinta, bukan pengkhianatan. Kenapa harus ada orang lain di antara kita?”

Cazia terisak, merasakan betapa menyedihkannya situasi ini. “Buna ingin kamu tahu, Bintang, bahwa Buna akan selalu berjuang untukmu. Meskipun papa telah pergi jauh dari kita, kita akan tetap berusaha bersama. Buna janji akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi.”

Dengan pelukan hangat Bintang di dalamnya, Cazia berusaha membangun kembali kekuatannya. Dalam gelap malam, saat air matanya mengalir tanpa henti, ia berdoa agar Tuhan memberinya ketabahan untuk menghadapi kenyataan yang pahit ini dan melindungi anaknya dari semua luka yang ia alami.

Buna minta maaf, Sayang,” gumam Cazia lagi sambil membenamkan wajahnya di bahu Bintang. “Buna seharusnya bisa melindungimu dari semua ini. Kenapa papa gak melihat betapa berartinya kita? Kenapa dia memilih untuk menjauh?”

Air mata Cazia menetes, membasahi baju tidur Bintang. “Buna sangat bodoh, Bintang. Buna seharusnya gak membiarkan semua ini terjadi. Buna hanya ingin papa kembali, ingin keluarga kita utuh seperti dulu. Tapi… mungkin Buna sudah terlalu terlambat.”

Dia mengingat semua kenangan manis bersama Abe—senyum, tawa, dan kebahagiaan yang dulunya memenuhi rumah mereka. “Buna mencintai papa kamu, Bintang. Tapi Buna gak bisa terus berjuang sendirian. Kadang, cinta itu tidak cukup.”

Cazia mengusap air matanya, berusaha menenangkan diri sambil mengelus rambut Bintang yang lembut. “Buna akan selalu ada untukmu, Sayangku. Kita akan menghadapi semuanya bersama, meski kadang hati kita terasa hancur. Buna janji, kita akan menemukan kebahagiaan lagi. Kita gak akan membiarkan siapapun menghancurkan cinta kita.”

Dengan Bintang yang hangat dalam pelukannya, Cazia terbangun dari rasa sakit dan kesedihan yang membayangi. Meski hatinya hancur, ia tahu bahwa cintanya pada Bintang akan selalu ada dan itu adalah satu-satunya alasan untuk terus berjuang.

=>Pak Suami<=

Jangan lupa di like dan komen. Semoga masih dapet feel-nya ya.

Love, 2 November 24
Au

Pak SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang