|ENAM|

927 57 69
                                    

Selamat membaca Pak Suami. Semoga masih betah mengikuti cerita yang kian kemari semakin menggabur dari yang dimaksud.

Dan juga, thanks untuk kalian yang masih mau mampir dan beri votmen, serta krisar yang bermakna. Lovu!

*Happy Reading*

Cazia berlari cepat menuju kamarnya. Mengabaikan dua wanita berbeda usia yang menatapnya bingung. Tadi ia pergi begitu saja dari rumah kekasihnya tanpa berpamitan terlebih dahulu dengan Bintang. Hatinya sakit dan merasa tidak sanggup bila berhadapan lebih lama lagi dengan mama mertua Abe. Kepergiannya hanya ditanggapi sinis oleh ibunda Mbak Dilla. Sekalipun ia menyempatkan untuk berpamitan pada wanita itu.

Wanita paruh baya itu, sepertinya benar-benar tidak menyukainya. Cazia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Baru kali ini ia seperti ini. Sekalinya mencintai orang, halangannya langsung dapat yang ekstra.

Bahkan rasa sesak tersebut lebih besar dari Cazia yang gagal masuk kampus dan jurusan yang ia impikan dulu. Rasanya ia ingin menyerah saja, tapi jika begitu, bagaimana dengan Bintang? Ia juga tidak akan sanggup berjauhan dengan Abe.

Cazia melempar tasnya asal dan menelungkupkan tubuh ke kasur. Membenamkan wajah pada bantal guling yang terbentang. Ia ingin berteriak, melepaskan sesak yang meremas kuat hatinya.

“Kakak, Mbak boleh masuk?” Suara itu disusul dengan ketukan beberapa kali, membuat Cazia menoleh ke arah pintu kamarnya yang tertutup rapat.

Cazia merubah posisinya menjadi duduk dan menghapus air mata lalu berdehem. “Masuk aja, Mbak,” teriaknya serak.

Tidak lama, pintu itu terbuka dan menampilkan seorang wanita bertubuh proposional, berambut panjang bergelombang yang terlihat anggun dengan dress biru laut selutut.

Wanita itu tersenyum lembut menghampiri adik yang sudah lima bulan tidak ditemuinya itu. Cazia menyambutnya dengan ramah dan berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Meski ia tahu, itu hanya sia-sia. Karena Mbak nya terlalu peka untuk menyadari sesuatu mengenai dirinya.

“Kakak kenapa, hm? Bukannya ngasih pelukan karena Mbak baru aja pulang, malah nyelonong pergi ke kamar.” Alea mengusap tangan adik tirinya itu dan kembali bersuara ketika Cazia membuka mulutnya. “Mbak nggak terima ucapan ‘nggak kenapa-napa’,” lanjut Alea yang membuat Cazia memberengut.

Alea tersenyum dan mengacak puncak kepala adik kecil yang satu-satunya memilih untuk memakai hijab di dalam rumah ini, bahkan keluarga besar mereka. Adik yang sangat ia sayangi meski bukan terlahir dari rahim yang sama. Adik yang mempertemukan dia dan papa dengan Buna-nya kembali.

“Kamu dalam keadaan yang tidak baik, untuk bilang ‘nggak kenapa-napa’. Jika kenyataannya, jejak air mata ini terlihat jelas,” terang Alea mengusap air mata Cazia yang kembali menetes anpa bisa di tahan.

Sesak diulung hati kembali menyerangnya. Ia tahu betul bahwa tidak bisa berbohong pada Alea yang sejak dulu selalu memperhatikan dan menyayanginya. Menjadi tempat ia berpegang selain saudara kembarnya yang kini tenggelam dengan kehidupannya  di benua Amerika.

Cazia memeluk Alea dan menyandarkan kepalanya pada dada gadis itu. “Mbak selalu tahu Zia,” bisiknya pelan. “Zia kangen.”

“Jadi kenapa, hm? Mau cerita?” tanya Alea lembut.

Cazia mengangguk. Ia butuh bercerita kepada seseorang dan itu Alea. “Tapi Mbak jangan bilang Buna ya? Zia cuma nggak mau Buna kepikiran. Soalnya ini masalah Zia.”

Pak SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang