Beberapa jam sebelumnya...
"Chaeng, mau sampai kapan kamu menatap laptop terus eoh? Apa yang sedang dikerjakan sih?"
Satu tangan Chaeyoung masih lincah mengetikkan sesuatu pada lembar kerjanya dalam benda pipih itu. Tangan satunya lagi ia gunakan untuk menahan wajah Lio yang sedari tadi mengganggu pekerjaannya. Dengan sekali sentak, Chaeyoung berhasil mendorong Lio hingga terjerembab.
"Yaak sakit!" Rintih Lio sambil mengusap pantatnya.
Chaeyoung mendecak, seperkian detik ia melayangkan tatapan mematikan yang berhasil membungkam mulut Lio yang mencerocos sejak tadi.
Bukan tanpa alasan, sejak sore tadi Chaeyoung meminta dengan paksa agar Lio menemaninya di kantor pusat, mengerjakan sesuatu yang besar tetapi sama sekali tidak memberitahu Lio apa yang dikerjakan.
Walaupun dengan dongkol hati, Lio tidak pernah sampai hati menolak permintaan perempuan yang sudah menolong hidupnya. Berkat dia, Lio masih bisa hidup sampai sekarang.
"Lagian, keluarga Kim sedang sibuk mengurus tuan putrinya di rumah sakit. Kamu tidak ada kerjaan bukan Lio? Jadi, diamlah saja disini. Aku hanya memintamu untuk menemaniku."
"Iya, iya. Tapi apa yang kamu kerjakan Chaeng? Aku sudah berjam-jam hanya berdiam diri tanpa melakukan sesuatu kecuali memandangi wajah cantikmu."
Ucapan Lio membuat kepala Chaeyoung terangkat penuh, mata menyipit kemudian badannya bergetar sejenak.
"Tidak mempan Lee Mario. Aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu." Kata Chaeyoung pedas.
Lio mengulum bibir, menahan desahan kecewanya yang mungkin sudah keseribu sekian kalinya.
Menembus pertahanan beton seorang Park Chaeyoung sangatlah susah. Bahkan sudah bertahun-tahun Lio berusaha merubuhkan pertahanan itu, namun gagal. Pertahanan itu terlanjur menjangkar untuk orang lain. Seseorang yang sangat Lio kenali dan tentu saja ia sesali.
Baginya, Chaeyoung merupakan perempuan terbaik di dunia. Ia adalah perempuan yang cerdas, cantik, dan penuh talenta. Namun sayang, matanya dibuat buta. Chaeyoung lebih memilih melihat belahan dunia yang suram untuknya. Padahal, sejak dulu Lio sudah mengajaknya menuju belahan dunia lain yang lebih cerah untuknya. Lagi-lagi, ada seorang manusia di bumi ini yang kalah dengan gelapnya sisi cinta.
Pada akhirnya Lio mendesah. Diska kecil bewarna hitam yang tiba-tiba menyita atensinya membuat Lio tercekat sementara. Sedangkan Chaeyoung, dengan wajah berseri menggenggam diska itu erat-erat sebelum ia colokkan ke dalam laptopnya. Kemudian, jemari lentiknya dengan cepat menjentikkan banyak tombol. Untuk yang satu ini, tanpa perlu penjelasan, Lio sudah tahu apa yang dilakukan perempuan blonde itu dan apa yang sudah ia lakukan sejak tadi.
"Chaeng, berhentilah." Pinta Lio dengan tatapan sayu tiba-tiba. "Tega sekali jika kamu terus melanjutkan rencanamu itu. Mereka keluargamu sendiri, Chaeng."
"Hah?!"
Chaeyoung terkekeh pilu, matanya nyaris berkaca-kaca namun lebih cepat dikuasai dengan kilatan kebencian.
"Aku tidak punya keluarga Lio." Katanya pilu. "Mereka tidak pantas disebut sebagai keluargaku."
Tidak peduli dengan tangan Chaeyoung yang memberontak saat ia genggam, Lio lebih mengeratkan tautannya.
"Ku bilang berhenti. Kamu sudah salah jalan Chaeyoung. Hentikan sekarang juga sebelum semuanya terlanjur." Lio memperingati. "Akan ada banyak hati yang lebih terluka lagi, terutama hatimu sendiri."
"Semua sudah terlanjur sejak awal Lio, aku harus menyelesaikannya. Demi dia." Ungkap Chaeyoung.
Mendengarnya, membuat Lio tersenyum masam. Hatinya kembali dipukul kenyataan, bahwa hati perempuan di depannya itu tidak akan pernah bisa ia raih. Tautannya perlahan terurai.
"Baiklah. Aku bukan siapa-siapa yang bisa melarangmu." Ujar Lio menyerah. "Tapi... aku bisa menjadi rumah pulangmu Chaeng jika nanti kamu sudah lelah dan menyadari semua yang kamu rencanakan itu salah."
Lio melepas genggamannya. Sementara Chaeyoung berusaha menutupi rasa kecewanya saat genggaman hangat di tangannya terlepas.
"Baiklah, aku masih bisa menunggumu sampai tengah malam. Tapi kumohon, maksimal hanya sampai pukul dua belas kita di kantor. Kamu manusia Chaeng yang membutuhkan istirahat." Ucap Lio sambil menuju sofa. Ia berniat merebahkan tubuhnya yang sebenarnya sudah lelah.
"Iya. Baiklah, Lee Mario. Sebentar lagi aku selesai." Balas Chaeyoung, kemudian seperti teringat sesuatu ia pun melanjutkan. "Lio, aku juga membutuhkan bantuanmu."
Terkesiap, tubuh Lio spontan terduduk. Matanya membulat sempurna.
"Apa, apa, apa? Kamu mau melibatkanku juga eoh? Aissh tidak! Aku tidak mau!" Lio menolak dengan keras.
***
Hentakan kaki jenjang yang baru saja turun dari kursi roda, terhuyung-huyung mencapai ranjang perawatannya. Pemilik ruangan itu sedang akan membanting gelas di atas nakas bertepatan dengan wanita paruh baya membuka pintu.
Wanita paruh baya itu membeliak. Ia segera berlari menahan tangan lelaki dengan bebatan di kepalanya.
"Jihoon! Jangan lakukan itu, Nak!" Cegah wanita itu. "Kamu harus tenang, Jihoon."
"Ibu..." Panggil Jihoon dengan tatapan nanar, tetapi kemudian menajam. "Si berengsek itu mencintai wanitaku. Tidak boleh! Aku tidak akan tinggal diam!"
Yeji mengangguk tipis. "Iya, Nak. Ibu tahu perasaanmu. Tapi kamu harus memulihkan kesehatanmu dulu. Setelah kamu benar-benar pulih, kita jalankan semua sesuai rencana. Ibu akan selalu mendukungmu, Jihoon. Kamu putra kesayangan, Ibu." Ucap Yeji sembari mengusap-usap dada putranya, berharap deru napas yang memburu kembali tenang.
Kim Jihoon, yang sebelumnya dalam keadaan koma, tanpa diketahui Hyunbin dan Jisoo, sudah siuman sejak empat minggu yang lalu. Dengan semua kondisi yang sudah direkayasa oleh pihak Jihoon, Hyunbin sama sekali tidak menyadari ketiadaan Jihoon di lantai area terlarang gedung Kim Company. Jihoon kini sedang berada di Kim's Hospital untuk pemulihannya, tanpa dicurigai oleh siapapun.
Jihoon menarik napas. "Minum." Pintanya.
Yeji yang selalu berada di sampingnya, dengan cekatan langsung menyodorkan segelas air. Tanpa diminta, Yeji juga mengupas jeruk yang menumpuk di nakas, lalu memberikan satu per satu kepada putra kesayangannya.
"Aku ingin cepat-cepat menemui Jennie dan calon anakku." Ungkapnya.
Yeji mendongak, melihat ekspresi anaknya. Hatinya menyesak seketika.
"Apa Jennie sudah tidak mencintaiku lagi sampai dia mudah sekali ditipu oleh laki-laki berengsek itu?"
Yeji menggeleng. "Jennie sangat mencintaimu, Jihoon."
"Aku tidak akan sudi membiarkan Jisoo merebut kebahagiaanku, Ibu. Akan aku pastikan, setelah semua yang dia lakukan padaku, aku akan membuatnya sangat menderita."
Kebenciannya sudah mendarah daging. Sejak dini kebencian itu sudah dipupuk oleh ibunya sendiri, yang selalu menyalahkan Jisoo atas semua penderitaan yang menimpa Jihoon.
Sejak dulu, semesta selalu bisa menyenangkan Jisoo tanpa harus ia berusaha, Jisoo selalu mendapatkan apapun yang diinginkan. Sementara Jihoon, ia selalu dipersulit. Apapun yang ia inginkan, Jihoon harus mengerahkan kemampuannya yang pas-pasan. Semesta tidak pernah berpihak padanya sekalipun, hanya ibunya yang selalu membesarkan hatinya.
Keserakahan, tanpa disadari, Yeji jejalkan kepada Jihoon sejak dini pula. Yeji selalu mendorong Jihoon untuk mendapatkan lebih dari apa yang bisa Jisoo raih, apapun caranya, harus diperjuangkan, sekalipun dengan kekejaman.
Dan sekarang, dengan apa yang sedang dimiliki Jisoo, Yeji terus mengompori Jihoon untuk merebut kembali dengan lebih banyak. Untuk itu, mereka sudah merencanakan hal besar, yang sebenarnya rencana itu sudah berjalan sejak awal Jisoo menggantikan peran Jihoon.
Tanpa diketahui, orang kepercayaan Hyunbin pun terlibat. Keloyalannya terhadap perusahaan, terpatahkan oleh keserakahan. Dan orang itu kini sedang berusaha menggerogoti lebih besar lagi perusahaan Hyunbin dengan leluasa.
{}
Jangan kesel sama aku besti✌🏻

KAMU SEDANG MEMBACA
Heal Me | Jensoo ✔️
Hayran KurguKarena sebuah tragedi menimpa kakak kandungnya hingga membuatnya koma entah sampai kapan, Kim Jisoo, terjebak dalam suatu konspirasi jahat yang diciptakan oleh ibunya sendiri. Padahal sudah bertahun-tahun Kim Jisoo diasingkan dan tak dianggap. Hingg...