Jessi menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Notifikasi WhatsApp berkedip-kedip, menampilkan nama yang selalu berhasil membuat jantungnya berdegup kencang.
Freya.
'Jes, bisa ketemu nggak? Lagi butuh temen nih'
Jessi menghela napas panjang. Ia tahu persis apa artinya ini. Freya pasti sedang bertengkar lagi dengan Adel, pacar resminya yang super cakep tapi super nyebelin itu. Dan seperti biasa, Jessi akan jadi tempat sampah emosional Freya.
"Oke, di mana?" balas Jessi, sambil dalam hati merutuki dirinya sendiri yang tidak pernah bisa menolak Freya.
"Kafe biasa ya, 30 menit lagi," jawab Freya cepat.
Jessi bangkit dari kasurnya yang nyaman, melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 9 malam. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. "Demi apa sih gue mau-maunya jadi tukang pijat hati cewek yang udah punya Pawang?" gumamnya pada diri sendiri.
Tapi Jessi tahu jawabannya. Ia sudah jatuh cinta setengah mati pada Freya sejak SMA. Sayangnya, Freya lebih memilih Adel yang populer dan kaya, sementara Jessi hanya jadi sahabat setia yang selalu ada kapanpun Freya butuh.
Dengan ogah-ogahan, Jessi menyambar jaket kulit favoritnya dan kunci motor. Ia menyemprotkan sedikit parfum, berharap bau keringat sehabis main FIFA seharian tidak tercium Freya nanti.
Sesampainya di kafe langganan mereka, Jessi langsung bisa melihat Freya duduk di pojok, matanya sembab. Jessi menarik napas dalam-dalam, menyiapkan mental untuk jadi 'pembokat cinta' lagi malam ini.
"Hey," sapa Jessi, berusaha terdengar seceria mungkin.
Freya mendongak, matanya langsung berbinar melihat Jessi. "Jes! Makasih ya udah mau dateng."
Jessi duduk di hadapan Freya, tersenyum kecil. "Ada apa lagi nih? Si Adel bikin ulah apa lagi kali ini? Ketahuan ngelike foto cewek lain di Instagram?"
Freya cemberut. "Lebih parah. Dia lupa anniversary!"
Jessi nyaris tersedak ludahnya sendiri. Anniversary 2 tahun? Ia bahkan ingat tanggal Freya jadian, padahal bukan pacarnya. Jessi ingin tertawa miris, tapi ia tahu itu hanya akan membuatnya terlihat menyedihkan.
"Wah, parah banget tuh. Masa anniversary aja lupa?" Jessi berusaha terdengar simpati, padahal dalam hati ia bersorak, 'Yes! Satu poin buat Jessi!'
Freya mulai curhat panjang lebar tentang betapa tidak pekanya Adel, bagaimana ia merasa tidak dihargai, dan berbagai keluhan lainnya yang sudah Jessi hafal di luar kepala. Jessi mengangguk-angguk, sesekali memberi komentar seperti, "Iya ya, kok dia gitu sih?" atau "Kamu bener, harusnya dia lebih perhatian."
Sambil mendengarkan, Jessi diam-diam mengagumi wajah Freya. Bahkan dengan mata sembab dan hidung merah habis menangis, Freya tetap terlihat cantik. Jessi merasa bodoh karena masih saja terpesona setelah bertahun-tahun.
"...terus dia bilang, 'Emangnya penting ya?'" Freya mengakhiri ceritanya dengan nada kesal.
Jessi tersadar dari lamunannya. "Hah? Dia bilang gitu? Astaga, kok bisa ya ada orang sebego itu?"
Freya tertawa kecil, tawa yang selalu berhasil membuat perut Jessi terasa seperti digelitiki ribuan kupu-kupu. "Makanya aku seneng banget bisa cerita sama kamu, Jes. Kamu selalu ngerti aku."
'Ya iyalah gue ngerti, orang gue udah hafal semua kelakuan lo dari A sampai Z,' batin Jessi. Tapi yang keluar dari mulutnya adalah, "Iya dong, namanya juga sahabat."
Sahabat. Kata itu terasa pahit di lidah Jessi.
"Kamu tuh ya, Jes. Andai aja pacarku bisa kayak kamu," canda Freya.