Keseimbangan-fregit

577 54 10
                                    



Gita sedang menikmati makan siangnya yang damai di sudut kantin kampus. Dia mengunyah nasi gorengnya dengan tenang, sesekali menyesap es teh manis yang sudah setengah mencair. Bagi Gita, ini adalah surga kecilnya di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus.

Tapi sepertinya surga itu tak bertahan lama.

"WOI KAK GITA!" teriak sebuah suara melengking yang bisa membangunkan orang mati. Gita tersedak nasi gorengnya, hampir menyemburkannya ke meja.

Freya, si pemilik suara ultrasonik itu, gadis yang baru di kenalnya akhir bulan lalu ketika Freya salah mengira kalau Gita adalah ojek online yang Freya pesan. Dan dengan lugunya Gita malah mengantarkan Freya sampai ke tujuan.

Freya menghempaskan dirinya ke kursi di samping Gita. "Ngapain lu sendirian? Kayak jones aja!" celetuknya sambil nyengir lebar.

Gita meneguk es tehnya, berusaha menenangkan diri. "Freya, kamu nggak perlu teriak-teriak gitu. Aku bisa dengar kamu dari radius 100 meter, kok."

"Ah, lebay lu!" Freya melambaikan tangannya sambil tertawa. "Eh, gue bawa temen-temen nih. Lu juga panggil geng lu sini, biar rame!"

Belum sempat Gita protes, Freya sudah berteriak lagi. "MARSHA! CEPIO! COCOA! SINI WOY!"

Gita menutup telinganya, berpikir mungkin dia perlu membeli headphone noise-cancelling secepatnya.

Tak lama kemudian, meja mereka dipenuhi oleh teman-teman Freya. Marsha, si primadona kampus, langsung sibuk merapikan rambutnya sambil melirik ke sekeliling kantin. Fiony, dengan kacamata andalannya, sudah siap dengan buku filsafat di tangan. Sementara Cocoa, mahasiswa pertukaran pelajar dari Jepang, tersenyum malu-malu.

"Konnichiwa, seramat siang kakak Gita," sapa Cocoa dengan aksen Jepang yang kental.

"Hai, Cocoa," balas Gita ramah. "Bahasa Indonesiamu sudah bagus loh."

"Arigatou gozaimasu!" jawab Cocoa bersemangat. "Saya sudah belajaru... etto... banyak!"

Freya menyikut Cocoa. "Eh, inget ya. Di sini lu harus ngomong bahasa gaul. Coba bilang 'Gue udah belajar banyak, bro!'"

Cocoa mengerutkan dahi, berusaha mengingat. "Gue... udah... belajaru... banyak... burooo?"

Seisi meja meledak dalam tawa, bahkan Gita pun tak bisa menahan senyumnya.

"Oke, panggil temen-temen lu dong, Kak!" perintah Freya.

Gita menghela napas. "Aku nggak perlu teriak-teriak, Freya. Ada yang namanya grup chat."

Dia mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan singkat. Tak lama kemudian, tiga sosok baru bergabung di meja mereka.

Flora, dengan wajah cemberutnya yang khas, langsung protes. "Ngapain sih manggil-manggil? Gue lagi enak tidur di perpus tau!"

"Lu ngapain tidur di perpus, Flor? Emangnya rumah nenek lu?" celetuk Oniel.

"Berisik lu, On! Gue begadang ngerjain tugas tau!" balas Flora sengit.

Sementara itu, Lulu, yang baru datang, langsung menatap Marsha dengan mata berbinar. "Hai, cantik. Malming jalan yuk?"

Marsha memutar bola matanya. "Ogah. Gue udah punya pacar."

"Pacar? Siapa? Gue?" tanya Lulu penuh harap.

"Bukan, dodol. Pacar gue itu... itu... ah, pokoknya ada deh!" Marsha tergagap.

Fiony, yang dari tadi hanya menyimak, akhirnya angkat bicara. "Cinta itu seperti angin. Kita tidak bisa melihatnya, tapi kita bisa merasakannya. Tapi kadang-kadang, cinta juga bisa seperti bau kentut. Tak terlihat, tapi bikin kita sesak napas."

ceritanya OneshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang