Sinar matahari sore menerobos jendela kafe, menciptakan siluet keemasan pada wajah Marsha yang sedang menunggu dengan gelisah.
Sudah setahun berlalu sejak terakhir kali ia bertemu langsung dengan Zee. Hubungan jarak jauh yang mereka jalani terasa bagai ujian yang tak berkesudahan – video call yang terkadang terputus, pesan-pesan rindu yang tak selalu bisa tersampaikan tepat waktu, dan pelukan virtual yang tak pernah bisa menggantikan kehangatan yang sesungguhnya.
Jantungnya berdegup kencang ketika sosok yang familiar itu akhirnya muncul di ambang pintu kafe. Zee, dengan senyum yang tak berubah, melangkah masuk dengan mantap. Marsha bangkit dari kursinya, kakinya gemetar. Mereka berdua terdiam sejenak, seolah tak percaya bahwa jarak yang selama ini memisahkan mereka kini telah sirna.
"Hai," ucap Zee lembut, suaranya sedikit bergetar.
"Hai," balas Marsha, matanya mulai berkaca-kaca.
Tanpa kata-kata lebih lanjut, mereka berpelukan erat. Aroma parfum Zee yang familiar membuat Marsha merasa seperti kembali ke rumah. Satu tahun kerinduan seolah mencair dalam pelukan itu.
"Kamu tambah cantik," puji Zee sambil mengusap lembut pipi Marsha setelah mereka duduk berhadapan.
Marsha tersenyum malu. "Kamu juga tambah... dewasa," balasnya, memperhatikan bagaimana setahun di kota lain telah memberikan jejak kedewasaan pada wajah kekasihnya.
Mereka memesan minuman favorit masing-masing - americano untuk Zee dan hot chocolate untuk Marsha, sama seperti dulu. Obrolan mengalir natural, seolah waktu tak pernah memisahkan mereka. Zee bercerita tentang pengalamannya bekerja di kota lain, tantangan yang dihadapinya, dan bagaimana ia selalu memikirkan Marsha di setiap pencapaiannya.
"Setiap kali ada hal bagus yang terjadi, kamu selalu jadi orang pertama yang ingin kukabari," ungkap Zee. "Tapi kadang susah karena perbedaan waktu."
Marsha mengangguk paham. "Aku juga begitu. Kadang aku cuma pengen cerita hal-hal kecil, seperti kucing lucu yang kutemui di jalan, atau makanan enak yang kucoba. Tapi waktu kita telpon, rasanya ada terlalu banyak yang mau diceritain sampai nggak tau harus mulai dari mana."
Sore bergulir menjadi malam, dan mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kota. Tangan mereka bertaut erat, seolah takut kehilangan satu sama lain lagi. Kota ini menyimpan begitu banyak kenangan mereka – taman tempat mereka pertama kali bertemu, restoran tempat kencan pertama mereka, dan sudut-sudut jalan yang menyimpan rahasia-rahasia kecil mereka.
"Masih ingat tempat ini?" tanya Zee ketika mereka berhenti di depan sebuah kedai es krim.
"Tentu saja," Marsha tersenyum. "Di sini tempat kamu pertama kali bilang sayang ke aku."
"Dan kamu malah tersedak es krim vanilla-nya," Zee tertawa, mengingat momen itu.
"Habisnya kamu tiba-tiba banget ngomongnya!"
Mereka tertawa bersama, mengingat kenangan manis itu.
Langit malam mulai dipenuhi bintang ketika Marsha mengajak Zee ke atap apartemennya. Tempat itu selalu menjadi tempat favorit mereka dulu, tempat mereka menghabiskan malam-malam dengan berbagi mimpi dan harapan.
Di bawah hamparan bintang, mereka duduk berdampingan di bangku kayu yang sudah familiar. Angin malam bertiup lembut, membuat Marsha sedikit menggigil. Zee segera melepas jaketnya dan memakaikannya ke pundak Marsha.
"Masih sama perhatiannya," gumam Marsha, menyandarkan kepalanya ke bahu Zee.
Zee menghirup aroma shampo dari rambut Marsha yang tertiup angin. "Aku kangen banget sama kamu," bisiknya.
Marsha mendongak, matanya bertemu dengan mata Zee. Ada kerinduan yang tak terucap di sana, hasrat yang terpendam selama setahun terpisah. Perlahan, Zee mendekatkan wajahnya. Bibir mereka bertemu dalam ciuman lembut yang perlahan berubah menjadi lebih dalam, melepaskan segala kerinduan yang selama ini hanya bisa mereka simpan dalam hati.
Ciuman itu akhirnya terlepas, meninggalkan mereka terengah dengan wajah memerah. Tanpa perlu kata-kata, mereka tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang spesial. Zee menggenggam tangan Marsha, mengajaknya turun ke apartemen.
Di dalam kamar Marsha yang temaram, mereka kembali tenggelam dalam pelukan dan ciuman yang semakin dalam. Setiap sentuhan terasa elektrik, membangkitkan gairah yang selama ini terpendam. Zee mengecup lembut leher Marsha, sementara tangannya dengan penuh kasih sayang menjelajahi setiap lekuk tubuhnya.
"Aku mencintaimu," bisik Zee di sela-sela ciuman mereka.
"Aku juga mencintaimu," balas Marsha, suaranya bergetar penuh emosi.
Malam itu, mereka melepaskan segala kerinduan yang terpendam. Setiap sentuhan, setiap bisikan, dan setiap desahan menjadi bukti cinta yang tak lekang oleh jarak dan waktu. Di bawah temaram lampu kamar dan hamparan bintang yang mengintip dari jendela, mereka melebur menjadi satu dalam ikatan cinta yang sempurna.
Ketika fajar mulai menyingsing, Zee dan Marsha berbaring berpelukan di atas ranjang, tubuh mereka hanya terbalut selimut tipis. Jemari mereka saling bertaut, tak ingin melepaskan satu sama lain. Sinar matahari pagi mulai mengintip dari balik tirai, menyinari wajah mereka yang dipenuhi kepuasan dan kebahagiaan.
"Jangan pergi lagi," bisik Marsha, mempererat pelukannya.
Zee mengecup lembut kening Marsha. "Aku sudah dipindahtugaskan ke sini secara permanen. Kita nggak akan terpisah lagi."
Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Marsha mendengar kabar itu. Setahun penantian dan kerinduan akhirnya berakhir. Mereka akan memulai babak baru dalam kisah cinta mereka, kali ini tanpa harus terpisah jarak.
Di luar, kota mulai terbangun dengan segala kesibukan paginya. Tapi di dalam kamar itu, waktu seolah berhenti berputar. Zee dan Marsha masih tenggelam dalam pelukan masing-masing, menikmati setiap detik kebersamaan yang telah lama mereka rindukan. Akhirnya, mereka bisa kembali ke dalam pelukan - tempat di mana mereka selalu merasa utuh dan lengkap.
—Selesai—