Suasana kantin SMA Citra Bangsa pagi itu terasa berbeda. Biasanya hiruk pikuk percakapan dan denting sendok yang beradu dengan piring akan mendominasi, tapi kali ini keheningan mencekam menyelimuti seisi ruangan. Semua mata tertuju pada dua kelompok yang berdiri berhadapan di tengah kantin.
Di satu sisi, Adel berdiri dengan tangan terlipat di dada, jaket kulit hitam kesayangannya membalut sempurna tubuh atletisnya. Rambut pendeknya yang berantakan justru menambah aura 'bad girl' yang selama ini menjadi trademark-nya sebagai ketua The Rebels. Di belakangnya, Marsha—dengan tatapan tajam dan senyum mengejek—siap memberikan dukungan moral kepada ketua gengnya.
Di sisi lain, Flora berdiri dengan anggun, satu tangan bertumpu di pinggang sementara tangan lainnya merapikan ujung rambut panjangnya yang bergelombang sempurna. Rok lipit dan blazer biru dongkernya tak bernoda, mencerminkan image 'Queen Bee' yang selalu ia jaga. Fiony—sang tangan kanan setia—berdiri di sampingnya dengan dagu terangkat tinggi.
"Well, well... liat siapa yang duduk di tempat kita nih," Flora membuka suara, setiap kata yang keluar dari bibirnya setajam pisau namun tetap terdengar anggun.
Adel mendengus. "Tempat lo? Sejak kapan kantin sekolah jadi properti pribadi The Queens? perlu gue kasih liat denah sekolah supaya mata lo bisa ngeliat lebih jelas?"
"Lo pikir karena jadi juara karate, lo bisa seenaknya ngengklaim tempat orang?" Fiony menyahut dengan nada tinggi.
"Eh jaga mulut lo ya!" Marsha melangkah maju. "Minimal kita nggak perlu beli temen pake duit ortu kayak lo pada!"
"Marsha!" Adel menahan lengan temannya, walau matanya tetap menatap tajam ke arah Flora. "Biar gue yang urus."
Flora tersenyum dingin. "Oh? Mau ngurus apaan? Ngajari cara duduk yang bener? Atau mau ngajarin tata krama yang kayaknya nggak pernah lo pelajarin?"
"Hah!" Adel tertawa sarkastis. "Ngomongin tata krama? Dari orang yang hobi ngebully junior dengan kata-kata manis? Lucu banget lo, Flo."
Suasana semakin memanas. Beberapa siswa mulai mengambil video dengan ponsel mereka, sementara yang lain berbisik-bisik penuh antisipasi. Di pojok kantin, Freya—yang sedang menikmati roti isinya—hanya bisa menggelengkan kepala melihat drama yang sudah menjadi makanan sehari-hari ini.
"Denger ya," Flora melangkah maju, jarak antara dia dan Adel kini hanya tersisa sejengkal. "Gimana kalau kita selesein ini dengan cara yang lebih... elegan? Lomba tahunan sekolah tinggal dua minggu lagi. Ayo kita buktiin siapa yang lebih pantes dapat respect di sekolah ini."
Adel menyeringai. "lo nantangin?"
"Takut?" Flora mengangkat satu alisnya.
"Dalam mimpimu, Tuan Putri." Adel mendekati Flora hingga hidung mereka hampir bersentuhan. "The Rebels bakal nunjukin siapa yang lebih berkualitas di sekolah ini."
"Deal," Flora tersenyum penuh arti. "Jangan menangis kalau kalah nanti ya, 'sayang'."
Kata terakhir Flora membuat Adel sedikit tersentak, tapi ia berhasil mempertahankan ekspresi tegasnya. "Kita liat aja nanti... siapa yang bakal nangis."
Kedua kelompok akhirnya berpisah ke arah berlawanan, meninggalkan seisi kantin dalam bisik-bisik dan spekulasi tentang pertarungan epic yang akan terjadi di lomba tahunan nanti. Tak ada yang menyadari senyum kecil yang tersungging di sudut bibir Flora dan Adel saat berjalan menjauh.