Sore itu, koridor Fakultas Seni Rupa dipenuhi mahasiswa yang bergegas pulang. Di antara kerumunan itu, Kathrin berjalan sambil membawa tumpukan sketsa untuk tugas akhirnya. Ia begitu fokus menjaga agar kertasnya tidak jatuh hingga tidak memperhatikan langkahnya.
"Awas!"
Sebuah suara lembut memperingatkan, namun terlambat. Kathrin tersandung dan sketsa-sketsanya beterbangan di udara. Ia memejamkan mata, siap menerima rasa malu karena akan jatuh di hadapan banyak orang. Namun, sepasang tangan sigap menangkap tubuhnya.
"Kamu tidak apa-apa?"
Kathrin membuka mata dan bertemu pandang dengan sepasang mata cokelat yang teduh. Seorang perempuan cantik dengan rambut bondol tersenyum padanya. Ada sesuatu dalam senyuman itu yang membuat jantung Kathrin berdebar.
"A-aku tidak apa-apa," jawab Kathrin terbata. "Terima kasih sudah menolongku."
"Aku Gita," ujar perempuan itu sambil membantu Kathrin mengumpulkan sketsa-sketsanya yang berserakan. "Kamu pasti anak Seni Rupa. Sketsa-sketsa ini bagus sekali."
"Terima kasih. Aku Kathrin," balasnya malu-malu. "Kamu sendiri dari jurusan apa?"
"Psikologi. Aku sering lewat sini karena suka melihat-lihat karya mahasiswa Seni Rupa," Gita tersenyum lagi. "Sepertinya disini semakin ramai. Bagaimana kalau kutraktir kopi? Anggap saja sebagai perkenalan."
Ada sesuatu yang menarik dari cara Gita berbicara dan memberikan perhatian. Kathrin merasa nyaman berada di dekatnya. "Boleh," jawabnya dengan senyum mengembang.
Sejak hari itu, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Gita selalu punya cara untuk membuat Kathrin merasa istimewa. Ia mendengarkan setiap keluh kesah Kathrin dengan sabar, memberikan nasihat yang bijak, dan selalu ada saat Kathrin membutuhkannya.
"Kamu tahu tidak?" kata Gita suatu hari saat mereka duduk di café kampus. "Sejak pertama kali melihatmu, aku merasa kita ditakdirkan untuk bertemu."
Kathrin tersipu. Ia tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Gita adalah sosok yang dewasa, perhatian, dan selalu tahu cara membuatnya tersenyum. Setiap hari terasa seperti halaman baru dalam buku dongeng.
"Aku akan selalu menjagamu," bisik Gita suatu malam saat mengantarkan Kathrin pulang. "Kamu terlalu berharga untuk disakiti dunia ini."
Kathrin tidak menyadari bahwa di balik kata-kata manis itu, tersembunyi makna yang lebih gelap. Ia terlalu tenggelam dalam pesona Gita untuk melihat kilatan obsesif di matanya, terlalu bahagia untuk menyadari bahwa cinta yang terlalu sempurna bisa menjadi sangat berbahaya.
Saat itu, Kathrin masih tersenyum dalam pelukan Gita, tidak mengetahui bahwa ia telah melangkah masuk ke dalam jaring laba-laba yang akan sulit untuk dilepaskan.
=~=~=~=
Kathrin menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Lima puluh tujuh panggilan tak terjawab. Seratus tiga puluh tiga pesan WhatsApp. Semuanya dari Gita. Dalam 24 jam terakhir.
"Kamu di mana?"
"Kenapa tidak membalas pesanku?"
"Aku melihatmu tadi siang dengan Marsha."
"Kamu tidak butuh teman lain selain aku."
"Aku mencintaimu. Kenapa kamu menyakitiku seperti ini?"
Kathrin menggigit bibirnya, mengingat kejadian kemarin siang. Ia hanya makan siang dengan Marsha, teman sekelasnya, mendiskusikan tugas akhir mereka. Tapi somehow, Gita tahu. Gita selalu tahu.