45

671 41 8
                                        

~•°•°•~

Happy reading

....

↓↓↓↓↓

Jantungnya berdetak semakin cepat, seolah waktu melambat. Dia tidak tahu harus menjawab atau tidak. Semua yang belum terselesaikan, semua kesalahpahaman, semuanya kembali menggenang di kepala.

Setelah beberapa detik yang terasa selamanya, Ara memutuskan untuk membiarkan panggilan itu berakhir tanpa di angkat.

Dia meletakan ponsel di samping dn menghela napas, merasa terbebani oleh emosi yang berkecambuk di dalam dirinya.

Ponselnya kembali bergetar, sebuah pesan masuk dari Chika. Ara membaca pesan itu dengan hati yang kian sakit.

Dia tahu ini adalah kesempatan terakhir mereka bicara. Tapi, hatinya tak sanggup untuk kembali jatuh pada gadis itu.

Waktu terus berjalan, dn dengan setiap menit yang berlalu, keputusan untuk tidak mengutarakan apa apa semakin final.

Akhirnya Ara mengunci layar ponselnya tanpa membalas. Dia berdiri, menarik napas dn menatap koper di samping tempat tidur. Sebentar lagi dia akan meninggalkan semua ini - semua kenangan, kesedihan dn kesalahan.

Hujan semakin deras diluar, seolah menahan untuk tetap tinggal. Cuaca itu mencerminkan perasaan yang dia sembunyikan. Dalam beberapa jam, dia akan berada di bandara, sendirian, melangkah menuju kehidupan yang baru, yang penuh ketidakpastian.



Beberapa jam kemudian

Ara sudah siap untuk berangkat. Koper sudah di pintu, sementara dirinya duduk di ruang tamu, menatap kosong keluar jendela. Hujan masih turun deras dn setiap tetes yang menghantam jendela, membuat suasana hatinya semakin suram.

Sial, kenapa berakhir dengan kesalahpahaman yang entah kapan akan selesai?

Ponselnya tergeletak di atas meja, tak ada lagi pesan yang masuk. Olla sudah berhenti mencoba membujuknya untuk di antar, sementara pesan dari Chika tetap tidak terbalas.

Ara berharap Chika tahu tentang keberangkatannya.

Rasa bersalah sudah cukup menenggelamkannya - dia tidak sanggup membayangkan melihat Chika lagi.

Tiba tiba suara langkah kaki terdengar samar mendekat.

Ah, ternyata itu bunda, bundanya muncul dari dapur, membawa secangkir teh hangat dengan wajah yang entah bahagia atau sedih.

"Kamu yakin, nggak mau di temenin bunda ke bandara, kak?" Tanya sang bunda lembut, matanya penuh kekhawatiran. Bagaimana tidak, cuaca saja seperti tidak mendukung sang anak untuk pergi.

Ara menggeleng pelan "nggak usah, bund. Ara bisa sendiri. Lagipula, cuma sebentar lagi kok, bunda disini aja" tersenyum hangat, memberikan keyakinan agar sang bunda tak khawatir akan keberangkatannya yang di percepat.

Sebenarnya, Ara akan berangkat satu Minggu lagi, tapi karena Ara tak sanggup dn benar benar ingin segera pergi, sang bunda tak bisa menahan.

I'm expecting you [BELUM DI REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang