17. Orang Dalam

115 21 1
                                    




Jungie terbangun dengan tubuh tak terbalut sehelai benang pun, serta kaki yang terasa mati rasa. Pegal menyeruak pada kaki Jungie.

"Argh!" erang Jungie dengan pelan, namun tampak seperti sebuah desahan.

Jungie turun dari kasurnya, meski tanpa tubuh tak berkain. Langkah-langkahnya membawanya sampai pada kamar mandi dalam ruangan tidur miliknya. Langkah yang sedikit tertatih karena keram menyelimuti.

"Sshh!" desah Jungie saat menyadari sedikit luka pada bibirnya yang terpantul di cermin kamar mandi.

Mengabaikan luka bibir, Jungie memutar keran pada wastafel untuk mencuci wajahnya. Pandangan Jungie tak lagi mengarah pada cermin, tapi menunduk guna lebih gampang membersihkan wajah.

Saat sedang membasuh wajah, Jungie menggeliat kecil karena merasakan geli pada sekitar punggung hingga pinggangnya. Seseorang yang sama-sama tidak berkain memeluk tubuhnya.

"Bisakah suatu saat nanti kita lebih brutal daripa semalam, hm?" bisik seseorang tepat di telinga Jungie—Victori orangnya.

Semalam tepat setelah pertengkaran, dan tepat setelah mereka saling meminta maaf, hal intim terjadi pada tubuh mereka. Namun, tidak seintim itu sampai bisa membuat Jungie hamil.

"Kau sedang apa, Ahjusi!" Bukan maksud marah kembali, tapi Jungie hanya terkejut saat tangan Victori diam-diam masuk untuk meraba punggungnya, dan melepas tali bra yang melilit dada besar Jungie.

"Mungkin saya meminta maaf dengan cara ini. Dan jangan lupakan fakta kita belum membahas eksekusi."

Setelahnya Victory menggendong tubuh Jungie dan sedikit membanting tubuh itu ke kasur. Tak lupa Victory juga mengunci pergerakan tubuh Jungie di kasur itu. Tak adanya tanda-tanda perlawanan yang Victory terima dari Jungie, membuat Victory memasang smirk pada wajah yang tampak kelaparan akan nafsu.

"Let's play, Honey. Ini enggak akan sakit."

Jungie terkejut bukan main mendapatkan respons itu. Mungkinkah malam ini keperawanannya akan benar-benar hilang? Lantas bagaimana janji dengan unboxing saat kasus sudah selesai?

"Ahjussi, kita baru akan melakukan ini setelah kasus terpecahkan! Jangan melanggar janji!" ujar Jungie sedikit tinggi. Meski ujarannya nampak garang, tapi percayalah Jungie sedang mati-matian menahan gugup saat ini.

"Ya,saya ingat. Tenanglah, saya bisa memberikan eksekusi tanpa menghilangkan keperawananmu."

"Tapi ka-hmmphh"

Belum sempat Jungie membalas perkataan Victory, dirinya terpaksa bungkam karena bibir yang secara brutal menyentuh bibirnya. Bibir itu bahkan tak lagi mencium, tapi mulai melumat bahkan gigitan-gigitan kecil mulai Jungie rasakan. Perih dan nikmat seolah menjadi satu pada bibir yang sedang bercumbu.

Victory terus melumat sampai akhirnya dia berhenti sendiri ketika menyadari Jungie sedang kehabisan napas. Victory yang melihat Jungie tampak mengatur napas itu mau tak mau membuatnya sedikit menjauhkan bibir itu.

Sedikit adegan vulgar terjadi saat Victory sedang menjauhi bibirnya. Tangannya yang sedang memopang tiba-tiba kehilangan keseimbangan membuat tubuhnya mendarat di atas Jungie. Kedua dada mereka saling bertabrakan membuat Victory merasakan seperti ada dua gundukan bola di dada Jungie yang mengenai dadanya.

Victory lantas membaringkan tubuhnya tepat di samping Jungie, dan memutar balikan tubuh Jungie agar menghadap ke arahnya.

"Mianhae, apakah tubuhmu sakit?"

"A-ani. Gwenchanayo." Jungie masih tergugup.

Jawaban itu membuat Victory yang terbaring langsung mengambil posisi duduk. Dengan posisi itu, Victory menatap dalam Jungie dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun, satu yang kentara dari tatapan itu. Cinta.

"Jangan seperti itu. Kamu terlalu pasrah. Ini terkesan seperti kamu korban pelecehan."

"Bukankah itu fakta, Ahjussi." Jungie memakan rasa gugupnya dan langsung mengambil posisi duduk. Tangannya dibuat melipat ke arah dada dan menatap Victory sedikit arogan.

"Ini eksekusi, Sayang. Lagi pula saya melakukan ini sebagai balasan karena kamu menyalahkan pernikahan kita, ingat? Ini juga bonus karena saya berhasil membuat Robert berbicara saat di ruangan tadi. Mana antusiasmu dalam hal ini?"

"Belum selesai kasus, maka belum ada antusias." Jungie berujar mantap.

"Arasseo. Saya tidak akan paksa kalau begitu."

Pada akhirnya Victory memilih mengalah atas apa yang telah Jungie putuskan. Pandangan Victory beralih pada jendela yang tertutup gorden di kamar itu.

Gestur yang diberikan Victory membuat Jungie tiba-tiba merasa tidak enak. Sudahlah Victory sempat mendengar keluhan Jungie tentang kesalahan pernikahan, merasakan pertikaian juga. Kini, Victory harus mendapatkan penolakan dari eksekusi yang harusnya Jungie berikan.

Jungie bangkit dari tempat duduknya dan melepaskan semua pakaian miliknya, hingga tubuhnya tak terbalut helai benang sedikit pun. Lantas tubuh yang sudah bugil itu membuatnya berdiri tepat di depan wajah Victory.

"Omo. Apa yang kamu lakukan? Kupikir kamu masih belum siap untuk hal itu." Victory berujar setenang mungkin demi menahan rasa gugupnya saat melihat Jungie dalam keadaan bugil.

"Mwo? Jika cara meminta maafmu adalah eksekusi, maka inilah yang saya lakukan, Ahjussi."

Gairah Victory turut terpancing saat mendengar penuturan Jungie. Victory yang tanpa pikir panjang tentu langsung berdiri dan melepaskan pakaiannya juga tepat di hadapan Jungie. Dengan gerakan kilat, Victory kembali meletakkan Jungie di kasur tepat setelah semua pakaian itu terlepas.

"Ingat jangan sampai hamil." Jungie memperingati.

"Jangan khawatir. Saya masih mengingat janji itu."

Malam itu mereka melakukan adegan panas. Memainkan dada satu sama lain, dan menyentuh area bawah tubuh mereka yang bersifat vital. Tangan itu merasakan sensasi vagina dan batang yang disentuh pada tangan. Desahan demi desahan kian mereka lontarkan. Bibir mereka kembali berkecumbu, saling menggigit dan melumat. Malam itu terjadi.

"Bisakah suatu saat nanti kita lebih brutal dari semalam?" Victory mengulangi pertanyaannya.

Jungie jelas paham kebrutalan apa yang dimaksud Victory. Itu adalah brutal yang sampai menghilangkan keperawanannya.

Jungie berbalik badan untuk menatap Victory. Dalam tatapan itu Jungie melihat kondisi bibir Victory yang juga sama terlukanya. Bahkan, kelihatan lebih lecet daripada miliknya.

Alih-alih menjawab pertanyaan Victory, Jungie justru mengusap bibir itu dan menatapnya dengan sedikit bersalah.

"Maaf, ya. Apakah semalam saya terlalu kasar melakukannya?"

Entah kenapa Victory merasa gemas sendiri dengan perkataan Jungie. Romantisnya wanita tomboy ternyata bisa terkesan sangat imut.

"Jungie." Victory memanggil sembari memegangi tangan Jungie yang sedang mengusap bibirnya. "Jangan seperti ini, kamu membangunkan adik saya."

Reflek Jungie langsung menjauhi Victory. Bisa-bisa ada reka adegan dari kejadian semalam lagi.

"Bisakah suatu hari nanti kita lebih brutal dari semalam? Untuk ketiga kalinya Victory menanyakan tanya yang sama."

"Bisa. Kita pasti bisa. Syaratnya adalah kasus ini harus selesai terlebih dahulu. Kita pasti bisa memenuhi syarat itu."

Berbicara soal kasus membuat Victory terdiam. Pikirannya tiba-tiba berorasi pada sesuatu. Ada seseuatu yang mulai janggal dalam benaknya.

"Berbicara soal kasus, sepertinya saya baru saja menyadari sesuatu."

Alis Jungie terangkat saat perkataan itu lolos begitu saja dari Victory. Mulutnya bungkam, tapi alisnya syarat akan pertanyaan. Mulut tak berbicara, maka gestur yang menjelaskan. Sedikit dari sifat yang Jungie dapat tertular dari Victory.

"Jika kita lihat polanya, ada beberapa momen di mana kita menggunakan cara yang tidak biasa. Namun, pelaku ini masih saja mendapatkan celah untuk tidak ketahuan."

Alis yang sudah terangkat, semakin terangkat menandakan bukan kejelasan yang didapatkannya, tetapi kebingungan yang bertambah. Sekali lagi mulut Jungie tak berbicara, tetapi gesturnya yang bertindak. Jungie benar-benar terbawa sedikit sifat Victory.

"Ini seolah-olah seperti pelaku sudah hapal gerak-gerik Kepolisian."

Kini Jungie memberikan gestur berupa anggukan kepala. Arah pembicaraan Victory mulai jelas ke arah mana. Keputusan ini seperti mengarah pada suatu hal. Namun, dapatkah keputusan itu menjadi penjelas pada kasus yang masih belum lama terpecahkan?

"Mungkin lebih spesifiknya, pelaku hapal gerak-gerikmu? Karena para Polisi lain bekerja di bawah perintahmu, Ahjussi. Mereka bertindak atas perintah Kepala Kepolisian yang tidak lain kamu. Pelaku mungkin menebak bagaimana polanya. Tapi ketimbang menebak, pelaku sudah hapal." Jungie yang mulai paham memberikan ujaran.

Percakapan mulai ekstrem di antara pasutri itu. Mereka yang semula berujar mesra menyuarakan kebrutalan yang mereka lakukan semalam, kini beralih topik dengan ujaran serius. Menjadi bagian penting dalam hukum cukup mengambil waktu mesra mereka.

"Mungkin juga karena pelaku hapal gerak-gerikmu, Jungie. Kamu yang lebih sering bahkan selalu menemani tindakan saya dalam beroperasi. Lebih sering daripada para petugas lainnya. Secara tidak langsung pikiranmu juga menyertai dalam pencarian ini. Mungkin pelaku juga mengenali tutur pikiranmu."

Hening. Pernyataan terakhir Victory membuat keheningan dalam perbincangan mereka. Namun, hening tak benar-benar menyelimuti mereka. Hening hanya perihal mulut, bukan pikiran. Untuk kesekian kalinya riuh kembali mendeskripsikan pikiran.

"Saya rasa Irene bisa menjadi petunjuk. Irene yang dengan ambisinya ingin membuat kita pisah dengan melibatkan Robert, saya rasa Irene tidak benar-benar dalang."

Kini alis Victory yang terangkat. Kini giliran Victory yang mulai mempertanyakan ke mana arah pembicaraan yang sedang Jungie bawa. Ini masihlah dalam konteks kasus, tapi pada pembicaraan apa?

"Maksudmu, Irene hanyalah bagian dari wayang pelaku sesungguhnya?" Victory mencoba menebak arah yang Jungie bawa.

"Ya. Irene memang memiliki motif kuat untuk melakukan penyerangan. Tapi Irene bukanlah orang yang bekerja lama dengan kita sehingga dia hapal dengan gerakan kita." Jungie memberikan penjelasan tambahan.

"Ah, sepertinya saya mulai mengerti. Ada orang lain yang memiliki motif yang sama dengan Irene."

Smirk tercetak jelas di wajah Jungie. Tangannya bersidekap dada, sembari langkahnya tertuju pada Victory. Langkah-langkah itu memotong jarak hingga inci tipis tercipta.

"Dan saya menduga orang itu berkolaborasi dengan Irene untuk menghancurkan pernikahan kita."

Garis kesimpulan mulai terbangun. Victory mulai menemukan satu kesimpulan dari pernyataan yang Jungie ucapkan. Pola pelaku seolah terbentuk jelas secara tidak langsung.

"Tapi tidak mungkin orang yang berkolaborasi itu juga seorang wanita, bukan? Jika motif mereka sama untuk menghancurkan pernikahan kita, satu gender tidak akan bekerja sama karena jika benar perceraian terjadi, mereka akan kembali bertikai untuk memperebutkan saya. Ah, shibal, terkesan menggelikan untuk saya katakan."

Jungie mengetuk-etuk pelan dagunya sebagai pertanda dirinya sedang berpikir kembali. Sepertinya benang kesimpulan juga mulai Jungie raih. Sepertinya pula benang kesimpulan itu senada dengan pikiran Victory.

"Maka itu berarti pelakunya seorang pria yang menyukai saya."

"Maka itu berarti pelakunya seorang pria yang menyukaimu."

Dua kalimat itu keluar bersamaan dari dua mulut. Bersama-sama pasutri itu menyuarakan kecurigaan mereka. Jungie yang menduga ada seseorang yang menyukainya, dan Victory yang menduga ada seseorang yang menyukai istrinya.

"Saya mulai berpikir satu orang dalam yang sangat berpotensi sebagai penusuk dari belakang, Jungie. Hanya dia yang sangat hapal dengan cara kerja ini."

***

Di tempat lain di bagian Seoul, di depan rumah kumuh yang menjadi gudang tak terpakai, seorang pria duduk dengan mematik dan mematikan korek di tangannya.

"Ekhem."

Dehaman singkat dari seseorang membuat pria yang sedang memainkan korek api menoleh. Nampak seorang wanita bermata sembab sedang tersenyum ceria sambil memandang ke arahnya.

"Sudah lebih baik?" tanya pria yang memainkan korek api.

Alih-alih menjawab pertanyaan pria itu, sang wanita memilih mengambil tempat duduk di sebelah sang pria.

"Jangan mati seperti Irene," ucap wanita itu dengan nada parau—meski senyuman pada bibirnya masih melekat.

Taukah kamu bagian apa yang membuat sesak pada dada selain sebuah penyakit? Itu adalah ketika kamu mencoba baik-baik saja di saat hati sedang rapuh. Menyesakkan ketika kehilangan membuat semua tidak baik, tapi harus menutupi itu dengan sebuah senyuman.

"Saya tidak akan mati seperti Irene. Kenapa berbicara seperti itu?"

"Irene suka Victory."

Bola mata sang pria melebar saat mendengar pernyataan dari sang wanita. Terkejut? Tentu saja itu sangat mengejutkan.

"Irene memiliki niat jahat untuk pernikahan mereka. Tapi sebelum itu terlaksana, Irene meninggal dengan pembunuhan."

Mendapatkan informasi itu justru membuat sang pria keheranan mengapa dirinya diberitahukan akan hal itu. Bukan bermaksud jahat, tapi dari banyaknha orang yang bisa dituju, tapi mengapa harus dia? Apakah ini bagian dari penyelidikan yang harus dicari?

Pria yang menjadi lawan bicara wanita di tempat itu menoleh untuk manatap. Bulir air mata jatuh setetes secara refleks dari wanita yang diajak bicara.

"Maaf jika saya tidak sopan."

Tepat setelah kalimat yang dilontarkan pria, tubuh wanita itu mendapatkan pelukan hangat. Rasanya seperti penenang di saat sedang tidak baik-baik saja. Apakah memang seharusnya dia melepaskan topeng yang menutupi kerapuhannya?

"Menangislah. Saya tau kamu masih berkabung."

Pecah! Kalimat itu berhasil membuat retak pada hati yang bersedih. Tangis yang sedari tadi ditahan akhirnya pecah juga. Dua orang berbeda gender itu sedang saling berpelukan.

"Irene sahabat saya," rintihnya mulai racau.

Kalau boleh jujur, pria yang sedang memberikan pelukan itu merasa tidak enak karena menganggap ini tidak pantas. Tapi pria itu tidak mungkin hanya berdiam diri melihat seorang wanita sedang menangis.

"Sebenarnya, saya tidak enak menanyakan ini. Tapi saya ingin bertanya, kenapa kamu memberitahukan soal Irene kepada saya? Apakah karena ini menjadi bagian penyelidikan baru kita?" Pria itu bertanya hati-hati setelah merasa wanita dalam pelukannya sedikit tenang.

Jawaban dari pertanyaan pria itu tak langsung dijawab, melainkan mendapatkan gestur dari wanita berupa melepaskan pelukan. Tatapan wanita itu yang semula sendu seolah menandakan maksud tersirat. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan membuat orang yang melihat tatapan itu kebingungan.

"Jangan mati seperti Irene yang mencoba mengacaukan pernikahan. Saya tau kamu menyukai Jungie, Mingyu."

POLICE LOVE CUFFS (TAEKOOK'GS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang