15. Menyalahkan Pernikahan

297 25 3
                                    

Jungie, Mingyu, Jimin, Rose, Lalisa, beberapa Petugas Polisi lain—termasuk Victory yang baru saja selesai membenarkan mobilnya telah tiba di tempat kejadian perkara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





Jungie, Mingyu, Jimin, Rose, Lalisa, beberapa Petugas Polisi lain—termasuk Victory yang baru saja selesai membenarkan mobilnya telah tiba di tempat kejadian perkara.

"Irene, kau bodoh sekali! Mengapa kau pergi secepat ini!" umpat Rose diirngi tangisan yang tak kuat, tapi mampu terdengar memilukan.

Di antara semua Petugas Polisi yang ada di sana, Rose-lah orang yang paling emosional. Rose adalah orang yang paling dekat dengan Irene, bahkan sebelum mereka menjadi Petugas Polisi. Rose dan Irene yang awalnya dipersatukan karena mengikuti jenjang pendidikan yang sama, semakin dekat karena jenjang karir yang sama juga. Lantas bagaimana bisa Rose tidak bersedih saat kabar kematian Irene sampai?

Lalisa—yang juga menjadi salah satu petugas terdahulu—mendekati Rose sambil berdiri tepat di sampingnya. Lalisa juga terpukul mendengar kabar kematian itu, meski dirinya tak sedekat Rose kepada Irene.

"Siapa pun yang membunuhnya harus ditangkap!" Rose begitu menggerutu dengan tangis yang masih menyertai.

"Mungkinkah kematian Irene dilakukan oleh orang yang sama dengan penyerangan pernikahan itu?" Jimin bertanya sambil melirik Victory dan Jungie—membuat yang lain turut melirik ke arah mereka.

"Bagaimana bisa? Ada sangkut paut apa antara penyerangan pernikahan dengan kematian Irene?" Mingyu turut melontarkan pertanyaan dengan sedikit argumen.

Victory dan Jungie saling menatap karena ada sesuatu yang mereka isyaratkan, lewat tatapan itu.

"Mungkinkah ini karena Robert? Irene lah orang terakhir yang bertugas mengawasi Robert, dan mungkin kah Robert mengancam Irene tanpa sepengetahuan kita." Rose yang frustrasi mulai memberikan argumen tak logis.

"Tidak mungkin. Robert bersih. Lagi pula motifnya untuk membunuh irene tidak cukup kuat. Kalaupun Robert hendak membunuh, itu seharusnya saya karena saya yang memojokkannya saat di ruang interogasi."

Penjelasan Jungie membuat semua orang di ruangan itu terdiam untuk berpikir. Tidak tau apa, dan tidak tau siapa. Entah apa motif dari semua ini.

"Siapa pun pelakunya harus ditangkap!"

Lalisa yang menyadari teriakan Rose langsung memeluknya dengan erat. Rose benar-benar dilahap rasa frustrasi. Kehilangan adalah perihal yang berat.

Lalisa membawa Rose keluar dari ruangan untuk menenangkan diri. Langkah Lalisa yang mengiring Rose, diikuti pula dengan langkah Mingyu.

"Ini keterlaluan! Berani-beraninya seorang Detektif diserang! Sungguh orang gila dengan alasan konyolnya yang tega melakukan ini!" Frustrasi Jimin.

Jimin ikut dibuat geram dengan semua penyerangan ini. Jimin adalah orang yang paling tidak terima jika ada rekannya yang diserang.

"Victory, bisakah kau izinkan saya beroperasi dengan mencari jejak pelaku di luar?" Jimin meminta izin kepada Victory yang merupakan Kepala Kepolisian.

"Jangan sendirian. Jangan gegabah. Kau sedang bertindak karena emosi, bukan? Tenangkan dulu dirimu."

Jimin mengusap kasar wajahnya. Pada akhirnya yang dilakukannya hanyalah berjalan mundar-mandir pada ruangan. Tindakan Jimin tentu langsung membuat Victory paham akan emosional yang dialaminya.

Sudah cukup lama Victory bekerja dengan Jimin. Victory adalah orang yang paling dekat dengan Jimin saat di pekerjaan. Lamanya waktu itu tentu cukup membuat Victory mengerti sedikit karakteristik Jimin.

Jimin yang paling aktif, serta pemberi ide ulung dalam setiap kasus—posisi ulung kedua setelah Victory. Jimin yang paling lihai kedua juga setelah Victory dalam membantu rekan-rekannya. Jika Jimin sudah merasa seseorang tersebut adalah rekan meski hanya sebatas kasus, maka Jimin tidak akan terima jika ada yang terluka dari rekannya. Itulah karakteristik Jimin yang Victory ketahui.

"Kami akan mencari jejak kasus ini di luar. Memeriksa beberapa pergerakan mencurigakan yang kentara menuju rumah ini." Salah satu Petugas Polisi pria terdahulu—mewakili beberapa Petugas Terdahulu lainnya—memberikan usul kepada Victory.

Usul itu seharusnya yang Jimin lakukan, tapi tak bisa karena emosinya yang belum stabil.

Victory hanya menjawab dengan memberikan anggukan pada kepalanya. Gestur Victory membuat para Petugas Terdahulu di sana langsung bergerak.

"Biarkan saya menyelidiki juga. Saya mohon. Saya sudah lebih tenang."

Victory terdiam sejenak sambil memikirkan keputusan apa yang sebaiknya diambil Jimin. Diam-diam Victory juga memperhatikan gestur Jimin yang sepertinya sudah kelihatan lebih tenang.

"Pergilah."

Tak ingin membuang waktu lama, Jimin langsung pergi dengan perizinan Victory. Kepergian Jimin membuat ruangan itu hanya tersisa Victory dan Jungie.

"Sekiya! Semua terlalu kacau!" Jungie turut frustrasi dengan kasus-kasus ini.

Victory yang sama kacaunya tidak bisa berbuat apa-apa selain diam sambil berpikir.

"Kita mencurigai orang dalam sebagai pelaku, sampai kita sempat berniat menyelidiki sendiri kasus tanpa sepengetahuan mereka. Tapi orang dalam sendirilah yang sekarang tewas." Jungie terus berbicara, mengeluarkan semua frustrasinya.

"Sekarang apa? Haruskah kita beritahu yang lain tentang semua rencana kita? Tentang Irene yang pernah kita jadikan tersangka." Jungie masih menyuarakan frustrasinya.

"Masih terlalu berbhaya untuk bicara. Jangan, karena jujur saya tidak tau siapa yang benar sekarang," ujar Victory.

Untuk pertama kalinya dalam hidup Victory, Victory menaruh curiga pada anggotanya. Ini kasus yang terlalu rumit sampai-sampai seorang Victory bisa berpikiran seperti itu. Tapi sebenarnya ini lebih pada masalah emosional.

"Mungkin masalahnya adalah kita."

Refleks Victory langsung mendekati Jungie, mengangkat sebelah alisnya, dan menampilkan raut wajah tak suka.

"Seseorang tewas di hari pernikahan kita. Sekarang sudah ada satu nyawa yang tumbang lagi. Ingat teror pesan perceraian itu? Saya rasa ini ada kaitannya dengan itu. Harusnya dari awal kita memang tidak usah menikah."

Tanpa sadar tangan Victory terkepal saat mendengar ucapan Jungie. Ada rasa tidak suka dari Victory saat Jungie mulai menyalahkan pernikahan. Namun, Victory tidak bisa meledakkan amarah itu kepada Jungie.

Victory langsung berdiri di hadapan Jungie, dan memegang kedua bahunya dengan erat, tapi masih penuh perasaan.

"Ini bukan kesalahan pernikahan. Tapi ini salah orang yang tidak senang akan pernikahan kita. Jadi jangan menyalahkan pernikahan kita, Jungie."

"Lihat. Bahkan dari kata-katamu secara tidak langsung telah menunjukkan bahwa pernikahan kita salah. Orang yang tidak suka akan pernikahan kita, tidak akan bertindak sejauh ini jika kita menikah."

"Jungie, saya mohon cukup!" Victory refleks menaikkan nada bicaranya. Victory tidak sengaja. Refleks itu muncul begitu saja saat Jungie terus-menerus menyalahkan pernikahan.

Merasa tidak enak karena telah membentak Jungie, Victory langsung menarik pelan Jungie dalam dekapannya. Memeluk tubuh Jungie dengan sangat erat, sembari menyalurkan rasa kasih sayang.

"Mianhae ." Keduanya berucap secara bersamaan.

"Mianhae. Rasa frustrasi karena kasus ini membuat saya menyalah pernikahan kita." Jungie berujar tulus.

"Saya juga, minta maaf hmm. Harusnya saya tidak membentakmu seperti itu. Jujur, yang tadi itu saya hanya refleks." Victory berujar tak kalah tulus.

Pelukan yang semula Victory berikan, mendapatkan balasan dari Jungie. Victory tidak hanya sedang memeluk, tapi Victory juga dipeluk.

Dalam harmonisasi hubungn Victory dan Jungie, ada seseorang yang diam-diam memperhatikan dari ambang yang tak mereka ketahui. Seseorang yang saat ini sedang mengepalkan tangannya, menahan gejolak kecemburuan dari emosi yang membuncah.

Pelukan itu terlepas, bersamaan dengan kepergian seseorang yang tadi mengintip mereka. Sekarang hanya benar-benar tersisa Victory dan Jungie.

"Tapi saya jadi kepikiran perkataan Jimin. Mungkinkah setelah kematian Irene ada sangkut pautnya dengan seseorang yang melakukan penyerangan di hari pernikahan kita?"

Victory terdiam sejenak guna merenungi maksud dari semuanya. Benarkah ini semua berkaitan?

"Coba kita urutkan semua kronologi ini dulu. Dari banyaknya hari untuk melakukan penyerangan, pelaku memilih menyerang di hari pernikahan kita." Victory bertanya sambil terus berpikir.

"Pasti itu kesengajaan untuk merecoki dihari sakral kita, atau benar-benar bentuk tidak sukanya." Jungie menjawab sambil turut berpikir.

"Lalu kita menemukan jejak pelaku mengarah pada Robert."

"Pasti ada maksud tersembunyi yang tidak kita ketahui. Tapi tunggu, berbicara soal Robert, bukankah waktu awal kecurigaan sempat diduga bahwa Robert mendapatkan bantuan dari orang dalam?"

"Iya, kamu benar, Jungie. Saya jadi ingat bahwa Irene adalah orang yang paling tidak terima dengan asumsi itu."

Baik Victory maupun Jungie, keduanya saling beradu pandang. Pikir mereka masih tidak berhenti pada kasus-kasus yang telah terjadi.

"Bagaimana jika kita telusuri jejak kronologi mulai dari awal penyerangan. Tapi untuk sekarang, kita mulai dengan menanyai Robert. Kita tanya lebih bagaimana kronologi dia bisa kabur dari penjara," usul Victory.

"Ayo kita mulai." Jungie mengiyakan.

***

Di sinilah Victory dan Jungie sekarang. Duduk berhadapan dengan Robert, di depan jeruji besi.

"Mwo?" Robert bertanya datar—tanda tidak suka dengan kehadiran pasutri di hadapannya.

"Jelaskan kronologi kenapa kamu bisa bebas dari penjara." Jungie langsung bertanya to the point.

"Saya tidak ingin membuang-buang waktu saya hanya untuk menjelaskan ini."

"Jelaskan kronologinya!"

"Tidak!"

"Jelaskan, shibal!"

Melihat Jungie yang tampak dalam keadaan tidak tenang, membuat Victory langsung memegangi salah satu bahunya.

Jungie terdiam, menarik napasnya guna mengontrol amarah. Jungie rasa, dia memang tidak ditakdirkan untuk berbicara yang baik-baik dengan Robert.

"Apakah Irene membantumu untuk kabur?" Itu Victory yang bertanya, menggantikan Jungie yang tersulut emosi.

Tawa Robert menggema saat pertanyaan itu keluar. Tawa yang keluar membuat pasutri di hadapannya bingung dengan maksud tawaan Robert.

"Ya, benar. Dia yang membantu saya. Katanya dia sekarang sudah mati, ya? Miris sekali nasibnya itu. Tapi saya menyukainya!" Tawa Robert semakin mengudara setelah kalimat tersebut terucapnya.

"Kamu memang tipikal orang yang tidak tau rasa malu, ya? Kabur dari penjara tentu perbuatan yang salah. Tapi kamu sedang menertawai orang yang membantumu. Di mana letak rasa malumu?" Jungie tidak habis pikir dengan Robert.

Tawa Robert yang sudah mengudara sangat keras perlahan berhenti. Robert menatap tajam Jungie, begitu pula sebaliknya. Robert dan Jungie layaknya dua orang yang tidak akan pernah bisa dipersatukan dalam situasi damai.

"Jika kamu tau, mungkin kamu akan mensyukuri kematiannya juga."

Jungie menatap Robert dengan tatapan kebingungan. Tidak hanya Jungie, Victory pun turut melakukan hal yang sama.

"Tau apa?"

"Irene membantu saya kabur dari penjara, karena dia mengetahui rencana saya yang ingin balas dendam padamu. Dia ingin membantu saya keluar agar bisa merealisasikan rencana itu, dan di saat itu dia masuk untuk merebut suamimu."

"Shibal!" Jungie refleks memberikan umpatan saat kalimat dari Robert memancing emosi.

Tampak jelas senyum Robert membentuk sebuah smirk pada kalimatnya.

"Bukankah kau harusnya bersyukur karena dia sudah mati, Nuna?" Nada meremehkan jelas kentara pada ucapan Robert.

"Sebaliknya saya berharap dia masih hidup agar saya bisa mencabik wajahnya!" murka Jungie.

"Siapa yang sebenarnya kejam di sini."

Jungie benci harus mengakui ini, tapi dia dibuat sangat geram dengan tindakan Irene sebelum meninggal. Jungie tidak bermaksud mengharapkan yang jelek pada orang yang sudah meninggal, tetapi jujur saja, siapa istri yang dengan senang hati suaminya akan direbut?

"Jangan-jangan sebenarnya kamu sudah mengetahui ini, Detektif. Tapi kamu memilih berpura-pura tidak tau, dan diam-diam menghabisi nyawa Irene."

Bugh!

Satu bogem mentah tepat mendarat di wajah Robert setelah perkataannya barusan. Robert mendapatkan bogem mentah dari Jungie. Robert telah berhasil membuat Jungie yang memang sedang dalam mood yang buruk akibat Irene, bertambah kesal dengan ulahnya.

Merasa tidak terima, Robert bangkit dari tempat duduknya dan bersiap memberikan serangan balasan untuk Jungie. Namun, belum sempat Robert lakukan, Robert sudah mendapatkan tinjuan tepat di perutnya. Pelaku yang meninju perut Robert adalah Victory.

"Hey, ini keroyokan namanya sekiya! Kalian ke sini untuk menanyai atau menyerang shibal!" teriak Robert sambil memegangi perutnya yang sakit.

Victory langsung menarik pelan Jungie untuk berdiri di belakangnya. Dalam hadapan seorang istri, Victory menatap tajam Robert yang tadi nyaris menyentuh istrinya. Tidak tau saja Victory bahwa Jungie sedang menahan rasa berdebar karena ulahnya saat ini.

"Baiklah, kita mulai tanpa melibatkan kekerasan sekarang. Jelaskan lebih lanjit tentang kronologimu kepada Irene."

Tidak tau apa yang lucu, Robert kembali mengudarakan tawanya dengan kencang. Robert memang tidak pernah jera untuk membuat pasutri di hadapannya keheranan.

"Kau pikir saya akan memberitahukannya? Jangan harap! Selamat memusingkan jawaban yang tidak akan saya beritahu."

Jungie yang berdiri di belakang Victory menggeram marah. Kedua tangannya terkepal karena emosi yang membuncah. Betapa Jungie terlalu gampang tersulut emosi jika sedang bersama Robert.

Victory yang menyadari ada hawa panas di belakangnya, langsung berbalik untuk menghadap Jungie. Diusapnya penuh sayang kepala istrinya itu.

"Tenang, Jungie. Biar saya yang selesaikan, okay?"

Perkataan menenangkan yang Victory lontarkan sukses membuat Jungie merasa sedikit lebih baik. Victory telah menenangkan Jungie, meski masih ada emosi yang Jungie rasakan.

Victory kembali menghadap Robert, memberikan tatapan tajam yang mengintimidasi. Cepat atau lambat, Victory akan mendapatkan penjelasan itu, dan itu pasti.

"Tidak apa-apa jika kau tidak ingin beritahu. Tapi jangan salahkan kami jika ini akan membuat reputasimu yang sudah hancur, semakin hancur. Jangan salahkan juga jika kau kembali mendapatkan tuduhan baru."

Alis Robert mengkerut tanda kebingungan dan kemarahan. Apa yang Victory maksud pada ucapannya? Tuduhan baru macam apa?

Victory yang menyadari raut wajah keheranan milik Robert kini membuatnya turut memasang smirk. Posisi wajah berbalik antara Victory dan Robert.

"Irene adalah orang yang terakhir bersamamu saat di ruang sandera. Kita semua tidak ada yang tau apa yang terjadi di antara kalian pada ruangan itu, hingga menyebabkan seseorang membunuhnya. Mungkinkah kau yang membunuhnya karena kesal akibat berbicara sesuatu?" Untuk pertama kalinya Victory merasa biasa saja berbicara panjang selain dengan Jungie. Ini intimidasi.

"Kau tidak bisa menyimpulkan seperti itu hanya karena saya yang terakhir bersamanya!" Robert tersulut emosi.

"Memang. Tapi saya harus apa selain menyimpulkan seperti itu selain asumsi sementara? Lagi pula kamu tidak mau menjelaskan, jadi tidak cukup bukti bagi kami untuk mengambil asumsi yang benar."

Jungie merasa kekagumannya terhadap Victory bertambah. Jungie dapat melihat jelas bagaimana Robert dilanda kebingungan antara menjelaskan atau enggan. Jungie baru menyadari Victory versi mengintimidasi ternyata cukup mengesankan.

"Hebat, Ahjussi."

Victory kembali menghadap Jungie, mendekatkan dirinya, dan membisikkan sesuatu. "Ini tidak gratis, Jungie. Bayar aku dengan eksekusi jika Robert telah menjelaskannya. Jangan lupa berikan eksekusi bonus sebagai hukuman karena kau telah menyalahkan pernikahan."



_Vie_

POLICE LOVE CUFFS (TAEKOOK'GS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang