Babak 5

8 2 0
                                    

'Apa aku akan menjadi jahat?'

Adnan tidak menanggapinya, ia sangat lelah dan butuh tidur. Seminggu sudah berlalu sejak insiden itu, dan para penghuni asrama percaya saja kalau Adnan disembunyikan oleh Jin atau mata mereka yang terhalang kabut dimensi lain. Adnan sendiri tidak memberi tanggapan lagi buat mereka, karena penyangkalannya bahwa ia tertidur setelah makan ramen dan tidak mendapati apa-apa di kamarnya seperti yang dikatakan Gilang.

Jems masih memandanginya curiga, karena itu tidak mungkin terjadi. Tapi dengan kejadian itu juga, yang lain jadi setuju untuk melakukan pengusiran arwah. Sayangnya seminggu berlalu dan mereka belum juga menemukan dukun yang mau dibayar murah. Adnan menyarankan memanggil ustadz atau pastor, tapi mereka tidak ada yang mau karena pasti nanti kena ceramah untuk rajin beribadah. 

"Daripada mengeluh untuk yang belum pasti, lebih baik kau memberiku ide!" gertak Adnan tidak tahan, si Arwah bertekuk lutut di ujung tempat tidurnya.

"AHHA!" Adnan setengah melompat dari duduknya lantaran Jems yang muncul di ambang pintu secara tiba-tiba, "Ngomong ama siapa lu?"

"Sejak kapan lu di situ? Nguping lu ya?" Adnan berusaha tenang walau kedengarannya tidak sama sekali, jantungnya seakan ingin melompat keluar tulang rusuknya.

"Halah, Bang! Lu jujur, deh! Lu Masih bisa komunikasi ama setan, kan? Minggu lalu itu lu pergi ke dunia lain, kan?" Jems menyerbunya.

"Lu ngomong apa, sih! Nggak usah ngadi-ngadi!" Adnan bersedekap dada, beradu tatapan dengan Jems yang menyipitkan mata memandangnya, "Em … ."

"Nah, lu pasti mau jujur?!"

"Enggak, gua mau kasih saran." Jems memutar matanya, tapi tetap menyimak saran dari Adnan, "Gimana kalau kita bikin kegiatan Baksos?"

Sambil menjelaskan sarannya, Jems cuma manggut-manggut menanggapinya. Sudah lama juga tidak ada kegiatan seperti itu yang dilakukan anak-anak asrama, maksud dan tujuan Adnan selain mempererat hubungan antar mahasiswa dan warga juga agar warga tidak lagi menganggap mereka sebagai biang onar. Tujuan terselubungnya adalah mencari ponsel si Arwah gentayangan, Adnan harus menemukannya, tapi sangat memalukan jika ia sendirian mengorek-ngorek tumpukan sampah di pinggiran sungai.

"Kok lu tiba-tiba kepikiran ini sih, Bang? Si Hizam aja males ngobrol ama Bapak-bapak Ronda di gang depan." kata Jems akhirnya.

"Makanya itu, kita harus membangun relasi lebih dulu. Gua tau, bukan cuma Hizam doang, gua juga kadang dicuekin ama mereka makanya malesin banget mau nyapa duluan. Kita harus buat perubahan agar mereka melihat kita, gitu loh!" ucap Adnan menggebu-gebu, Jester memberinya jempol tanda sangat setuju.

***

"Kenapa gak nyewa dari Distarung (Dinas Tata Ruang) aja sih, panggil mereka gitu buat angkat sampah, itukan bagian pekerjaan mereka …" protes Baim.

"Kalau gitu maksud dan tujuan kita tidak tercapai dong, nanti para tetangga mikirnya kita orang-orang yang egois. Kalian masih dua tiga tahun lagi di sini, harus bersosialisasi dan memperlihatkan citra yang baik pada para warga sekitar. Gua sih gak masalah, bentar lagi lulus." ujar Jems berbangga di kalimat terakhirnya.

"Bentar lagi lulus dari Hongkong, garap proposal aja dari tahun kapan belum kelar-kelar." cela Hizam sukses menohok Jems dan membuat yang lain terkikik-kikik.

"Baaang lihat bang, giliran saran gua bener aja gak ada yang mau denger. Lu aja yang bilangin dah!" adunya pada Adnan yang menampilkan segaris senyum terpaksa.

"Gimana ya … "

"Oke Bang! Besok kita bakti sosial, kita perlihatkan sama tuh warga-warga kalau kita adalah Mahasiswa yang baik dan berjiwa sosial!" Hizam mengacungkan tinju ke udara.

"Bang Adnan belum ngomong apa-apa … " mulut Jems dibekap paksa oleh Hizam, wajahnya merah padam karena kesal, teman-temannya cuma menjahilinya.

***

'Kenapa tidak jujur? Sampai kapan pura-pura?'

Adnan mendengkus agak jengkel, karena makin hari si Arwah makin cerewet. Itulah yang terjadi saat kau menjadi hantu yang kesepian, lalu tiba-tiba ada orang yang bisa menjadi kawanmu berbicara. Sependiam apapun, akhirnya kau akan menjadi banyak omong juga.

"Aku punya alasan." Adnan menghela napas pasrah, "Aku tidak ingin terlalu dekat lagi dengan golongan kalian." katanya sedikit menyakitkan.

'Tapi kemampuanmu itu membantu banyak orang sepertiku… ' Adnan mengabaikannya. Orang katanya, golongan mereka bukan lagi orang.

"Berdoa saja, semoga aku cepat menemukan ponselmu dan kau bisa pergi dengan tenang." kata Adnan berpaling darinya.

'Kau mengusirku?! Ini kamarku! Kau yang harus pergi!' Adnan segera berbalik menatapnya tajam, ukuran si Arwah gentayangan seakan membesar memenuhi ruangan, rasanya tidak enak, sesak, pekat dan aura yang menguar membawa kesedihan juga kekecewaan. Adnan bisa merasakan amarah terpendam itu sekarang, sekuat tenaga ia mengimbangi energi sang Arwah.

"Katamu tidak mau menjadi jahat, katamu kau ingin ini segera berakhir … " Ia kembali menyusut, Adnan tidak merasakan aura kelam itu lagi, "Aku akan menyelesaikannya, Dunia ini bukan lagi bagian dirimu, kau juga harus melepaskannya. Aku tahu kau juga takut menjadi jahat," Adnan berjalan mendekat padanya, kali ini tidak ada permusuhan di antara mereka.

'Aku akan menjadi jahat kalau berdiam di sini dengan masalah yang belum selesai.' Adnan mengangguk.

"Aku berusaha mencegah itu agar tidak terjadi. Bertahanlah, sebentar lagi ini berakhir." 

Sebentar lagi, ya semoga keberuntungan berpihak padanya. Adnan ingin segera menemukan ponsel itu dan mengungkap rahasia kematian Penghuni Kamar No. 13.

*

Kamar 13Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang