Ini sudah tiga hari Gika tidak keluar dari kamarnya. Bahkan makan saja Gika membawanya ke kamar, itupun tidak habis. Gauri khawatir dia sakit, tapi tidak juga. Kondisinya baik-baik saja, sudah kesal pada Gauri karena terus di panggil-panggil. Tapi Gika ini aneh, kenapa dia tidak keluar kamar juga tidak kemana-mana selama tiga hari ini?
Dia mungkin ada masalah, dan Gauri tidak lupa kalau Gika susah berbagi kalau soal masalah.
"Gika! Kamu nih kenapa sih? Jangan bikin mama khawatir deh!" Tapi hari ini sudah ada kemajuan, Gika tidak lagi mengunci kamarnya. Jadi Gauri bisa langsung masuk, ia mendapati Gika hanya berbaring di kasurnya yang berantakan, kamarnya juga berantakan. Gika sepertinya bahkan belum mandi kendati ini sudah jam sebelas siang.
"Aku enggak papa ma, cuma males aja." Dan juga risau, tapi Gika tidak berani mengatakan pada mamanya bahwa ia baru saja melakukan tindakan bodoh. Ponselnya kembali berbunyi, mungkin untuk ke seratus kalinya.
Itu masih Aric, yang padahal sudah Gika jelaskan berulang kali bahwa dia baik-baik saja. Tidak terjadi apa-apa setelah insiden kebodohannya waktu itu.
Dimana sebenarnya itu juga seperti kalimat yang berusaha Gika ulang untuk menenangkan dirinya sendiri.
"Mama mau temenin papa. Ada acara di luar kota, kamu mau ikut." Gika menghela nafas. Ayolah! Dia ini dua delapan tahun, kenapa masih di perlakukan seperti anak-anak?
"Enggak ma, aku males ngapa-ngapain sekarang." Tepatnya setelah ia diantar Aric pulang hari itu, dimana Gauri memarahinya karena pulang pagi-, Gika menjadi sangat malas dan belum selesai mengutuk betapa bodohnya dia.
Kalau saja ada ajang perlombaan orang terbodoh sedunia, Gika pasti menang.
"Yaudah, rapihin ini kamar kamu. Berantakan banget kayak sarang tikus!" Gika mendengus, kamarnya yang ia desain sendiri ini masa di samakan sarang tikus?
"Emang mama pernah liat sarang tikus?" Gauri menghela nafas, menatap Gika dengan kejengkelan.
"Rapihin kamar kamu!" Ucapnya penuh penekanan lalu keluar dari kamar Gika.
Baru beberapa langkah, tapi Gauri kembali masuk, Gika yang sudah duduk di tepi kasurnya menatap bingung.
"Yang anterin kamu pulang pagi itu siapa? Aric?" Gauri sudah bertanya apa alasan Gika pulang pagi, anaknya itu menjawab bahwa dia ketiduran di pesta Bara. Dan Gauri tentunya meminta konfirmasi Bara dan ternyata itu di benarkan oleh Bara.
Gauri memang hanya tidak tau kalau Gika sudah melobi Bara mati-matian.
"Iya, kita enggak sengaja ketemu waktu mobil aku mogok di jalan." Kebodohan Gika yang lain adalah, dia kalah tegas dari Aric waktu itu, yang kukuh ingin mengantarnya pulang. Alhasil mobilnya sampai sekarang masih di apartment Aric. Gika sungguhan tidak sanggup bertatap muka dengannya. Dia bahkan sudah kehabisan akal bagaimana membujuk Aric agar tidak perlu kemari dan menemuinya. Pria itu mau bersabar tiga harian ini, tapi bujukan Gika agaknya sudah tidak mempan sekarang, Gika khawatir Aric akan datang, tapi Gika syukuri orang tuanya berencana pergi hari ini.
"Terus mobil kamu gimana sekarang?" Gika menggaruk kepalanya yang sudah pasti tidak gatal.
"Di bengkel, nanti aku ambil." Gauri menatap curiga, tapi Gika yakin aktingnya sudah bagus.
"Yaudah" Gauri sudah benar-benar keluar ketika Gika menghela nafas leganya. Ponselnya berbunyi lagi, dan itu masih Aric, Gika mematikannya lagi.
_____
Untuk hanya pagi ini, Aric menatap layar ponselnya. Empat belas panggilan hanya untuk pagi ini, Aric tidak hitung sudah berapa kali dia menelpon Gika sejak tiga hari lalu. Ia cukup sabar selama itu karena Gika mengancam tidak ingin bertemu dengannya lagi kalau sampai nekat.
Tapi sudah cukup kesabarannya, Aric beranjak dari duduknya, keluar dari apartemen dan mengendarai mobilnya menuju rumah Gika. Dalam hati ia sangat berharap dapat menemui orang tua Gika. Dan ia akan mengakui apa yang telah terjadi, dan sangat amat bersedia untuk bertanggung jawab. Mungkin ia licik karena memanfaatkan situasi dan kelemahan Gika. Tapi apa lagi yang bisa ia lakukan agar Gika tetap menjadi miliknya?
Tidak ada, sebut Aric brengsek karena malam itu memang ia membujuk Gika dengan segala rayuan yang membuat perempuan itu akhirnya terbuai, tapi Aric tidak mau menepis fakta bahwa Gika tidak menolaknya.
Rumah Gika sepi di pukul dua siang, Aric mengetuk pintunya berkali-kali dan sengaja tidak mengabari Gika soal kedatangannya.
Gika membuka pintu dengan matanya yang melotot, perempuan yang masih ia cintai hingga hari ini itu-, memakai piyama berlengan pendek juga celana pendek.
Menatap wajahnya mengingatkan Aric pada kejadian yang sungguh sangat ia syukuri malam itu.
"Ngapain kamu kesini?" Suara Gika bergetar, gugup karena wajah pria yang terlibat dalam kebodohannya sedang sangat dekat dengannya. Gika akui malam itu dia yang datang sok pemberani dan terkalahkan oleh akal sehat dan hatinya sendiri, untuk kemudian dia menyesal. Gika takut pada konsekuensinya.
"Orang tua kamu ada?" Gika keluar, menutup pintu rapat dan mendorong Aric menjauh dari pintu masuk, meskipun rasanya ia gemetar ketika kembali menyentuh pria itu.
"Kamu udah janji untuk enggak kesini!" Aric tidak pernah benar-benar berjanji. Ia lakukan itu karena takut ancaman Gika yang ingin pergi jauh.
"Kalau kamu takut untuk jujur, biar saya yang__
"Apaan sih! Aku udah bilang lupain aja__
"Enggak bisa! Dan saya yakin kamu juga enggak!" Memang tidak. Sudah tiga hari ini Gika nyaris tidak tidur karena memikirkan itu.
"Aku baik-baik aja, apa sih yang kamu__
"Perbuatan kita salah dan saya bersedia untuk bertanggung jawab." Iya, Aric sadar ia salah. Mereka salah. Tapi tidak ada penyesalan dalam dirinya
"Aku enggak hamil, aku baik-baik aja. Jadi mending kamu pergi dari sini." Ucap Gika dengan berusaha secara baik-baik.
"Belum. Bukan enggak." Pria itu terdengar yakin, Gika memukul kepalanya sendiri karena mengingat mereka melakukannya tidak sekali. Bodoh memang!
"Jangan di pukul" Aric menahan kedua tangan Gika yang masih memukuli kepalanya sendiri.
"Aku bego banget kan?" Ujarnya terdengar putus asa
"Enggak, kamu enggak boleh nyalahin diri kamu sendiri." Aric memeluknya. Satu lagi kebodohan karena Gika tidak menghindar, justru, wangi harum yang menguar dari tubuh Aric membuatnya nyaris lupa kalau ia sedang gelisah.
"Enggak akan terjadi apa-apa selama saya disini." Ucapan pria itu masih dapat Gika dengar meski sekarang dia seperti berbisik
"Aku takut, gimana kalau mama ngusir aku? Enggak mau lagi anggap aku anaknya?" Meski usianya sudah dewasa, Gauri tetap saja akan kecewa Gika gagal menjaga diri.
Dengan Aric pula!
"Enggak sayang, enggak akan kayak gitu." Gika membalas pelukan itu dengan kesadaran penuh, juga tidak menolak Aric mengecupi kepalanya. Dia memang sangat butuh dukungan untuk saat ini, dan ia jujur saja merasa tenang dan aman Aric mau berusaha tetap di sisi nya.
"Biar saya yang ngomong ke orang tua kamu, saya janji kita baik-baik aja." Aric merenggangkan pelukan itu, merangkum wajah Gika dan menatap kedua bola matanya yang meredup.
"Mama sama papa enggak dirumah, besok baru pulang." Aric mengangguk, ia ingin membawa Gika ke apartment tapi dia pasti akan menolak. Aric juga tidak mau memaksa Gika
"Kamu sendirian, mau saya temenin?" Aric sedang tidak bercanda, tatapannya serius. Namun ucapannya membuat Gika mendorongnya menjauh.
"Aku bukan anak kecil" ucap Gika, mereka bertatapan dalam diam hingga nyaris satu menit.
"Kamu pulang aja" ucap Gika selagi kewarasannya masih ada
"Gika. Jangan berusaha mengelak dari saya lagi. Kamu enggak capek membohongi diri kamu sendiri? Saya ada disini dan akan menjadi milik kamu selamanya, begitu juga kamu ke saya. Jadi tolong, berhenti menghindar dan menjauh dari saya." Ucapan Aric barusan dengan nada lembut, namun pancaran matanya membuat Gika tidak mampu membalas kalimatnya sepatah kata pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE
ChickLitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower