Cein tersenyum tipis usai keluar dari kamar Kana, perasaan bahagia begitu membuncah dalam dirinya. Tak menyangka kini seseorang yang begitu menarik perhatiannya berada dalam satu atap dengannya, begitu mudah Cein jangkau.
Senyum Kana selalu berhasil membuatnya lupa diri, begitu candu hingga Cein ingin terus melihatnya sepanjang hari, sepanjang detik dalam hidup keduanya berjalan.
Mata hitam legam Kana yang akhir-akhir ini terlihat tak bernyawa sebenarnya cukup membuatnya khawatir, apalagi tentang kejadian tenggelamnya Kana beberapa waktu lalu. Cein tak buta, dia melihatnya sendiri, Kana menjatuhkan dirinya tanpa beban meskipun dia tahu mungkin saja dia akan mati.
Seharusnya Cein lega karena Kana sekarang ada dalam jangkauannya, tetapi mengapa hatinya begitu resah? Cein berdiri termangu di depan pintu kamarnya, sesekali kepalanya menoleh untuk menatap pintu kamar Kana yang tertutup rapat.
Ada rasa khawatir datang menyergapnya, memeluk hatinya dalam kedinginan yang panjang. Bahkan ketika Cein memaksakan matanya terpejam, mengira mungkin tidur sebentar akan sedikit mengurangi kacaunya.
"AAAAAAA"
Cein terduduk dengan reflek saat mendengar teriakan kencang itu. Kakinya terburu melangkah keluar kamar, menoleh ke kanan kiri mencoba mencari asal suara hingga pandangannya menatap pintu kamar Kana yang terbuka lebar.
Cein melangkah cepat, masuk semakin dalam ke kamar Kana. Lantas pandangannya terkunci begitu saja pada Jenia yang terduduk syok di depan ranjang Kana.
Cein merasa seluruh dunianya runtuh dalam sekejap. Ada pukulan yang begitu telak menghantam dadanya, menghadirkan rasa sesak yang membuatnya begitu kesulitan untuk menarik setiap napas.
Cein memangku kepala Kana, menatap wajah pucat yang seolah telah kehilangan seluruh darahnya. Cein tidak peduli pada kemeja putihnya yang ternoda, dia menggenggam tangan penuh darah milik Kana dengan pelan, takut menghancurkan luka-luka yang terlihat begitu mengerikan.
"Panggil yang lain, Jenia." Bisik Cein lirih tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya dari Kana.
Jenia sebisa mungkin merangkul seluruh kesadarannya, melangkah tertatih keluar kamar dengan bibir pucat pasi dan keringat dingin, mencari siapa saja.
Cein mengusap pipi pucat Kana, setetes air mata jatuh ke atasnya. Cein tidak mengusapnya, dia membiarkan tetesan demi tetesan mengalir begitu saja membasahi pipi Kana.
"Mengapa? Mengapa kamu selalu berusaha membunuh dirimu sendiri, Kana?" Suara Cein begitu tercekat, dirinya nyaris tak sanggup bersuara.
Cein menunduk, mengecup kening yang terasa sangat dingin. Lalu sekarang Cein begitu merasa takut. Cein guncang cukup kendang pundak Kana, berharap gangguan kecil itu setidaknya mampu membuat Kana tersadar lantas berkata bahwa dirinya baik-baik saja.
Tetapi darah yang bahkan belum berhenti mengalir dari lengan Kana memberi Cein jawaban, menampar dirinya dengan begitu keras hingga raungan tak terima dia layangkan begitu saja. Cein terisak keras, untuk pertama kalinya.
"Kana, ku mohon sadarlah..."
Cein mendekap tubuh yang terasa semakin dingin, merengkuhnya seerat mungkin berharap hangat dari dirinya mampu menghangatkan Kana yang kedinginan.
Suara langkah kaki terdengar mendekat dengan tergesa. Tak lama Rajen dan seluruh Kalandra datang dengan raut pias. Pun Edward yang tak lagi mampu menopang tubuhnya, terjatuh dalam rangkulan Rajen yang mencoba menahan kesadarannya.
"Papa, bilang ke Kana buat bangun. Pranknya engga lucu, papa...ku mohon..." Cein menatap Rajen dengan raut putus asa.
Isabella sudah pingsan dalam dekapan Maximilian, begitu juga Hazel yang berada di ambang batas sadar dalam rangkulan Niel yang hanya bisa mematung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Figuran : Just Call My Name
Teen FictionKana Elzatta tidak menyangka jika dirinya masuk ke dalam sebuah novel dengan genre family dan menempati tubuh figuran yang memilih nama serupa dengannya. Kana yang tidak tahu harus berbuat apa dibuat semakin kebingungan ketika kakak dari karakter ut...