"Udah, uncle. Aku kenyang." Kana memalingkan wajahnya ketika Edward kembali menyodorkan bubur. Edward mengangguk, menurut menaruh mangkuk berisi bubur tanpa rasa itu ke atas meja.
Kana menatap Edward yang terlihat menyedihkan. Wajah kuyu, kusut, kantong mata begitu hitam, bibir kering dan pucat. Kana mengusap pipi Edward yang tirus.
"Uncle sayang Kana?" Tanya Kana pelan sembari menatap mata Edward.
Tanpa ragu Edward mengangguk cepat, "Sayang banget, uncle ga akan pernah bisa bayangin gimana hari-hari uncle tanpa kamu." Ucapnya.
Edward menunduk, memeluk perut Kana, menenggelamkan dirinya dalam tubuh kecil Kana. Tangan Kana mengusap kepala Edward perlahan.
"Meskipun aku bukan Kana? I mean, meskipun aku bisa kapan aja berubah." Lirih Kana, matanya juga melirik ke arah Kalandra yang duduk memperhatikan dari sofa.
"Kana tau? Sejak uncle memutuskan buat merawat kamu, itu artinya uncle harus siap dengan segala kemungkinan tentang kamu. Kamu anak baik, ga pernah neko-neko, meski uncle menyesalkan kenapa uncle engga luangin waktu buat sekedar nanya 'bagaimana hari ini?' ke kamu, mungkin kamu engga akan merasakan semua ini." Balas Edward, dia kembali duduk dengan tegak, mengambil tangan Kana yang terbebas dari infus. Menggenggamnya erat.
"Maafin uncle, apa yang terjadi udah ga bisa dikembalikan lagi. Tapi bisa kan kita mulai semuanya dari awal? Izinkan uncle buat memahami kamu. Uncle selama ini engga bener-bener mengenal kamu, uncle engga bisa memutuskan rasa sayang apa yang uncle rasain sekarang. Tapi selama kamu menjadi diri kamu sendiri, di situ uncle akan terus menyayangi kamu, selama itu kamu, Kana."
"Orang itu gampang salahnya dan manusia memang adalah tempatnya salah. Kalau kamu salah langkah, tugas uncle adalah membawa kamu kembali. Begitupun dengan uncle. Bagaimanapun kamu, uncle sayang."
Edward mengecup kening Kana sebentar sebelum kembali merengkuh Kana untuk meluapkan lega yang akhirnya bisa dia raih dan kembali membuatnya hangat.
Edward tidak berbohong, dirinya benar-benar tidak akan bisa membayangkan hari-harinya tanpa Kana. Tanpa anak yang sudah dia putuskan untuk menjadi pusat dari dunianya. Layaknya orangtua Kana, Edward melakukan hal serupa.
Kana kembali mengusap rambut Edward pelan, "Makasih, aku sayang uncle, banget." Lirihnya.
Kana mendongak, menatap Kalandra yang juga tengah memperhatikannya. Kana memberikan senyum hangatnya, mereka yang telah lama tak melihat senyum itu lantas tertunduk lega.
Cein melangkah mendekat, ikut merengkuh Kana. Kemudian disusul yang lainnya, semua orang memeluk Kana dengan erat. Tak lama mereka semua tertawa bersama, merasa lucu dengan tindakan mereka sendiri.
"Kana, janji sama aku, kita semua harus bahagia bersama." Ucap Hazel berbibik di telinga Kana.
Kana menoleh, dia tersenyum dan mengangguk, lantas masuk ke dalam rengkuhan Hazel yang merentangkan tangannya. Hazel menaruh dagunya di pundak Kana, tersenyum mengejek ke arah Cein yang kebetulan mengalihkan pandangannya ke arah mereka membuat Cein mendatarkan wajahnya.
Hari itu, ruang rawat Kana penuh dengan canda tawa dari semua orang. Untuk pertama kali sejak Kana datang ke dunia ini, dia akhirnya mampu tertawa tanpa beban, tanpa khawatir akan hari esok atau segala ketakutan yang selama ini mengikatnya.
Kalandra seolah mendapatkan kebahagiaan baru yang melengkapi kebahagiaan mereka. Isabella menyandarkan kepalanya di dada Rajen, tatapan keduanya begitu teduh melihat anak-anaknya bahagia di depan sana. Terlebih Hazel, binar putra bungsunya itu benar-benar hidup dan menyala terang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Figuran : Just Call My Name
Teen FictionKana Elzatta tidak menyangka jika dirinya masuk ke dalam sebuah novel dengan genre family dan menempati tubuh figuran yang memilih nama serupa dengannya. Kana yang tidak tahu harus berbuat apa dibuat semakin kebingungan ketika kakak dari karakter ut...