Di sebuah tanah lapang yang begitu luas dengan banyaknya bunga bermekaran indah, Kana duduk termenung. Kedua tangannya terikat oleh tali yang tak berujung, berwarna merah pekat selayaknya darah dan apabila Kana memaksa bergerak maka dirinya akan menerima satu goresan entah di bagian tubuh mana saja.
Walaupun luka itu akan segera menutup hanya dalam hitungan detik, tetapi sakit yang dia bawa tak main-main. Wajah tanpa rona itu hanya terus memandang ke depan dengan tatapan tanpa binar, benar-benar kosong. Rasanya jiwanya seolah terbang entah kemana. Tubuhnya beberapa kali terlihat berkedip, kemudian terlihat transparan dan kembali lagi seperti semula, berulang kali....seperti itu.
Entah sudah berapa lama Kana berada di tempat asing ini, hanya ada dirinya. Tak ada malam, matahari senantiasa bersinar terang di atas sana. Begitu hangat, mendekap erat dirinya yang kedinginan.
Saat ini wujud Kana kembali seperti semula dengan pakaian yang terakhir kali dia kenakan sebelum kecelakaan itu merenggutnya.
"Arkana Elzatta."
Angin terbang pelan membawa kelopak bunga ke hadapannya, berputar dan membentuk seseorang di sana. Bibir dengan lengkungan tak asing itu membuat Kana tersadar.
"Arkana, maaf menahan kamu dengan cara seperti ini." Ucapan lembut itu datang dari Kana Elzatta sang figuran. Sosoknya muncul di hadapannya, beraroma mawar yang begitu pekat hingga nyaris membuat Arkana mual.
Arkana Elzatta adalah nama aslinya di kehidupan pertama, selama ini orang-orang lebih suka memanggilnya Kana. Kemana saja Arkana pergi, dia juga mulai memperkenalkan dirinya dengan nama Kana.
Arkana menatap wajah hangat Kana yang tersenyum ke arahnya. Jemari Kana menyentuh tali yang mengikat tangan Arkana, tak lama tali itu menghilang dan butirannya terbang bebas bersama angin.
Kana mengusap pipi dingin tanpa rona Arkana dengan gerakan pelan, bibirnya tersenyum miris. Netra legam Arkana terlihat tidak fokus, mengingatkannya pada memori kehidupan Arkana yang dia lihat sebelum membawa Arkana bersamanya di sini.
Kehangatan yang Arkana kecil dapatkan tak bertahan lama setelah perusahaan ayahnya berkembang pesat juga karir ibunya sebagai model melejit kencang.
Arkana tumbuh besar sendirian, tak ada lagi pelukan hangat dari ibu, usapan lembut dari ayah dan canda tawa yang mengisi rumah pun lenyap bersama mereka yang mulai sibuk menghabiskan waktunya di luar, menyisakan Arkana yang terus menanti tanpa kepastian.
"Arkana." Kana menangkup wajah Arkana, memaksanya untuk melihat dirinya.
Kedua netra yang begitu mirip itu saling bertemu, menyadarkan Arkana untuk kembali dari lamunannya yang tak berujung dan hanya membawanya semakin tenggelam dalam jurang gelap berisi seluruh memorinya.
"Kana..." Bisik Arkana.
Kana mengangguk senang, dia mengusap rambut Arkana perlahan, "Iya aku Kana."
"Kana di sini?" Kembali bisikan itu keluar dari bibir pucat Arkana.
"Iya, aku mau jemput kamu." Balas Kana dengan senyum manis, namun dirinya mati-matian menahan air matanya yang siap tumpah.
Arkana itu...dia benar-benar kehilangan kesadarannya.
Kana menggigit bibirnya, menatap wajah Arkana yang ekspresinya serupa anak kecil, begitu polos. Kembali Kana mengusap rambut Arkana, agaknya pemuda itu menikmatinya.
"Arkana dengar?" Tanya Kana kemudian.
Arkana mengangguk kecil, pandangannya kali ini terfokus sepenuhnya pada Kana.
"Arkana engga boleh lukis tangannya lagi ya? Kalau Arkana ngerasa ga enak, nanti langsung ngomong ke uncle Edward bisa?" Pinta Kana perlahan.
"Aku mau di sini aja." Balas Arkana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Figuran : Just Call My Name
Novela JuvenilKana Elzatta tidak menyangka jika dirinya masuk ke dalam sebuah novel dengan genre family dan menempati tubuh figuran yang memilih nama serupa dengannya. Kana yang tidak tahu harus berbuat apa dibuat semakin kebingungan ketika kakak dari karakter ut...