9. Dia yang Malang

283 91 127
                                    


Seru banget part ini! Nggak baca sampe akhir, aku kecewa berat..
────୨ৎ────

Kemarin bukan milik kita untuk pulih.

Besok juga bukan milik kita untuk menang atau kalah.

Bahagia bukan karena segala sesuatu baik, tetapi karena mampu melihat hal baik dari segala sesuatu.

₊✩‧₊˚‧。⋆˚🦋˚⋆。‧˚₊✩‧₊

Setelah istirahat, sebagian siswa-siswi kembali ke kelas dengan wajah ceria, sebagian lagi kembali ke kelas dengan langkah berat, seolah beban di hati mereka lebih berat dari pada tas yang mereka bawa.

Namun peristiwa di kantin masih membekas di benak gadis itu dan berusaha untuk tetap baik-baik saja dihadapan orang lain. Di ruang kelas, Dista terlihat cemas, mengingat bagaimana Vanya tidak menghabiskan makanan yang dipesannya.

Vanya duduk terpaku disebelah Dista, matanya kosong menatap papan tulis, sementara ingatan akan kejadian sengit di kantin masih terbayang jelas.

"Van? Udah, nggak usah dipikirin. Aku emang nggak tau apa yang mereka semua katakan dan nggak ngerasain juga yang mereka lakuin. Tapi..." Ujar Dista buka suara yang berhasil memecahkan keheningan antara mereka berdua.

"Ngapain juga dengerin omong kosong nggak berguna dari mulut orang-orang yang otaknya konslet," lanjut Dista.

"Nggak usah terlalu mikirin orang lain, orang lain juga belum tentu mikirin." Tambah Dista lagi. Vanya hanya mengangguk paham dengan senyum simpul sendu yang dia paksakan untuk mengembang.

Memang benar yang dikatakan cowok itu, mungkin saja Vanya butuh waktu untuk menenangkan diri, meresapi, dan memahami apa yang dikatakan teman di sebelahnya.

Suasana menjadi hening kembali, untuk mendapatkan topik baru juga tidak mudah.
Hingga pada akhirnya ada seorang yang datang memanggil Dista sebagai ketua osis. Dengan mengetok pintu sebelumnya.

"Permisi, maaf mengganggu waktunya sebentar, saya mau manggil kak Dista." Ucap murid dari perbatasan pintu yang mampu didengar oleh seluruh penghuni kelas itu. Dista yang mendengarnya mengangguk-angguk paham.

"Van, gue mau pergi bentar, ya. Ada yang manggil. Nggak lama kok kayaknya. Udah jangan dipikirin terus." Ucap dista sebelum berdiri dan beranjak pergi. Vanya mengangguk paham dengan apa yang harus dilakukan cowok itu. Dista, orang yang paling sibuk seantero sekolah.

"Ada apa?" Kata Dista.

"Disuruh manggil kak Dista untuk nemuin pembina osis di ruangannya. Sekarang kak."

Setelah menyampaikan pesan, murid itu segera pergi dari hadapan Dista untuk masuk ke kelasnya karena sudah terdengar bel jam pelajaran selanjutnya. Dista bergegas pergi memenuhi panggilannya.

***

Vanya duduk di bangkunya, menatap kosong ke papan tulis yang penuh dengan tulisan yang tidak pernah bisa ia cerna. Apakah ini takdir yang harus dijalaninya? pikirnya, suara hatinya berbisik penuh keraguan. Kenapa hidupnya harus terasa sekelam ini, terjebak dalam rutinitas yang membosankan dan kesepian yang menyakitkan?

Ia sering bertanya-tanya, mengapa semua orang tampak begitu mudah bergaul, sementara ia merasa seperti bayangan yang melintas tanpa jejak. Setiap kali melihat teman-teman sekelasnya tertawa dan berbagi cerita, hatinya dipenuhi rasa cemburu dan kesedihan. Kenapa harus seperti ini? desahnya dalam hati.

"Mohon perhatiannya sebentar, untuk mapel biologi disuruh belajar sendiri dulu. Kalian bisa mempelajari bab yang menurut kalian belom paham. Gurunya sedang ada rapat. Sekian, terimakasih." Pengumuman dari sekretaris di kelas itu.

Confession: Makes! |On Going Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang