Hello, My Ex~4

1.5K 197 30
                                    

Malaam👐

3100++ kataa
Vote yaa👐

Typo? Kasih tahu aku!

Happy reading👐

~

"Kalau ada keluhan lain, segera beri tahu kami, ya, Bu."

Gendhis menatap kantong cairan infus yang baru saja diganti. "Terima kasih, Sus."

"Sama-sama, Bu. Saya permisi dahulu."

Sepeninggal suster, Gendhis hanya sendiri di ruangan. Pertama kalinya Gendhis rawat inap di ruang VVIP. Ruangan yang luasnya tiga kali luas kamar Gendhis itu diisi oleh beberapa barang elektronik. Kulkas, televisi, dispenser, dan tentu saja kamar mandi super lega.

Gendhis meringis membayangkan bayaran yang harus dia bayar di akhir nanti. Duh! Sebenarnya siapa yang memasukkan Gendhis ke kelas ini? Bu Chika? Ah, beliau-

Ceklek!

Gendhis menoleh cepat ke arah pintu, mata wanita itu menyipit menatap siapa yang baru saja masuk ke ruang perawatannya.

"Kenapa Anda? Mana bu Chika?"
Ada apa dengan wajah kusut penuh kesedihan itu? Gendhis berusaha merubah posisi untuk duduk.

"Pelan-pelan." Sada bergerak cepat, berusaha membantu Gendhis.

"Saya bisa sendiri!" Masih sama seperti tadi, Gendhis menepis tangan Sada.

Hening, kedua manusia itu terdiam, berperang dengan pikiran masing-masing. Gendhis menatap atap ruangan yang berwarna putih, dia sedang menyusun kepingan memori yang acak. Dia pingsan, bangun, lalu tidur karena pengaruh obat. Eh, sebentar! Sebelum tidur karena obat, Gendhis sempat siuman! Ya, siuman di ruang gawat darurat. Bahkan, seingatnya, dia juga menjawab beberapa pertanyaan yang dokter lontarkan.

Mata Gendhis membola ketika dia akhirnya ingat percakapannya dengan tenaga medis di ruang penanganan.
Dengan gerakan pelan, Gendhis menoleh pada Sada yang tak mengalihkan pandangan darinya. Lelaki itu menatap Gendhis dengan sorot mata penuh kesedihan.

"Kenapa kamu sembunyikan semua ini?"
Mata tajam yang dulu membuat Gendhis jatuh hati itu memerah.

"Saya tidak tahu maks-"

"Kamu masih mau menyembunyikan semua dari aku?"
"Anak kita, kenapa kamu enggak bilang kalau dia pernah ada di antara kita?"

Gendhis memejamkan mata, pada akhirnya semua yang dia simpan rapi-rapi diketahui oleh lelaki ini.

"Kenapa Anda begitu percaya diri? Bisa jadi itu anak saya dengan lelaki lain." Bibir Gendhis berkedut, rasanya terlalu sakit untuk membicarakan janin kecilnya.

"Aku yakin itu anakku! Anak kita!" Air mata Sada tak bisa ditahan, sejak mengetahui fakta menyakitkan ini, sulit untuknya mengendalikan emosi.

Gendhis tertawa lirih, wanita itu menoleh pada Sada yang berdiri menjulang di sampingnya. "Mungkin dia tahu, ayahnya tidak akan senang jika mengetahui kehadirannya."

"Apa?" Bahu Sada merosot, bagaimana bisa Gendhis mengatakan hal itu?

"Harusnya sejak awal saya sadar, lelaki seperti Anda tidak mungkin jatuh hati begitu saja pada gadis rendahan macam saya."

"Gendhis! Apa yang kamu bicarakan?" Sada mengusap pipinya yang basah, ditatapnya Gendhis yang tenang, duduk di atas ranjang pasien.

"Sudahlah! Kita sudah menutup kisah kita sejak lama. Tidak perlu membahas masa lalu, biarkan itu jadi pembelajaran untuk kita berdua."
Di lubuk hati terdalam, Gendhis merasa bersalah pada janin kecilnya. Dia terpaksa menyembunyikan kehadiran malaikat kecilnya, dan dia masih saja tak bisa berterus terang di hadapan ayah dari janinnya.

Short Story: Our World IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang