Nizar mematut diri di depan cermin fullbody lemarinya. Ia sejenak menyingkap bajunya hanya untuk mengamati luka lebam di perut. Ia sadar jika itu akibat dari pukulan Julian tadi pagi. Tak heran luka itu menciptakan bekas kebiruan karena kulitnya memang terkadang sensitif pada benturan. Kini Nizar hanya berharap jika itu tak menimbulkan kondisi yang lebih serius.
Nizar menuntun kakinya keluar kamar, berniat untuk mengambil minum. Hari sudah cukup larut. Lampu di lantai bawah bahkan telah dimatikan. Ia rasa adiknya pun sudah tidur, sementara ayah bundanya dalam perjalanan kembali dari luar kota. Rumah sangat sepi, tetapi Nizar menolak saat beberapa jam lalu eyangnya meminta ia untuk menginap saja.
Langkah Nizar memelan begitu sampai di bawah tangga. Ia menajamkan telinga usai mendengar bunyi grasah-grusuh. Jantungnya lekas berpacu lebih cepat. Daripada hantu, Nizar lebih takut kalau itu maling. Ia berjalan hati-hati dan mengambil sebuah sapu yang teronggok di lorong bawah tangga.
Nizar mengikuti arah datangnya suara itu selagi mengumpulkan keberanian. Lampu dapur menyala dan Nizar segera mengintip dari balik tembok. Ia nyaris mengumpat saat melihat figur adiknya yang tengah menghidupkan kompor. Padahal tadinya ia sudah berpikir macam-macam.
"Lagi ngapain sih kamu?"
"Allahu Akbar!" Aidan tersentak kaget mendengar suara tiba-tiba dari belakangnya. Ia lekas berbalik, menatap abangnya dengan raut panik dan satu tangan memegangi dada. "Untung aku nggak jantungan! Kasih aba-aba dulu kek, ngagetin aja!"
Nizar menghela napas. Ia meletakkan sapu dan berjalan mendekati adiknya. "Untung itu sapu belum melayang ke kamu. Kirain tadi maling."
"Cakep gini disangka maling." Aidan melanjutkan kegiatannya yang tengah membuat mie instan. Ia menuang bumbu ke mangkuk selagi menunggu air mendidih.
Nizar tertawa mengamati adiknya yang membuat mie saja harus mengenakan celemek. "Kenapa nggak panggil Abang aja, sih? Kasihan banget kelaperan," tanyanya seraya mengurangi air di panci yang Aidan isi nyaris penuh.
"Kirain udah tidur. Niatnya emang sembunyi-sembunyi juga sih. Jangan bilang Ayah sama Bunda loh, ya!"
"Iya iya, tapi Abang minta. Punya berapa kamu, Dek?"
"Dua, tapi niatnya mau bikin satu aja. Itu masih satu di meja. Ambil aja kalau Abang mau."
Nizar lekas mengambil mangkuk dan mie lain yang Aidan letakkan di meja bar. Ia membuka bungkusnya dan mengeluarkan bumbu. Kebetulan perutnya memang sedang minta diisi meski tengah malam seperti ini.
"Mau pakai telor sama sayur nggak, Dek?" tanya Nizar usai membuka kulkas dan mendapati telur dan sayur yang bisa mereka campur dalam mie.
"Mauuu!" Aidan membalas dengan senang. Jika ada abangnya, ia bisa memakan mie instan yang enak. Ia tak sepandai abangnya dalam meracik mie dengan bahan lain.
Kakak beradik itu menghabiskan waktu beberapa menit hingga akhirnya mie siap dihidangkan. Nizar tak sabar untuk menikmati mie yang masih mengepulkan asap itu. Sangat nikmat hanya dari baunya saja.
Nizar dan Aidan membawa mangkuk masing-masing menuju meja bar. Mereka duduk bersisian dan siap menyantap makanan yang jarang bisa mereka nikmati jika di rumah. Paling hanya sesekali jika ayah bundanya sedang tidak di rumah, seperti saat ini.
"Sebulan ini Abang udah makan mie berapa kali?" tanya Aidan yang masih mengaduk mienya agar tercampur rata.
"Baru ini."
"Serius? Aku udah empat kali."
Nizar sampai tersedak kuah usai mendengar pengakuan adiknya. Ia menatap anak itu seraya geleng-geleng kepala. "Dimarahin Bunda tau rasa kamu. Makan di mana aja itu, nggak pernah lihat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Selaksa Kasih
JugendliteraturKatanya, anak sulung adalah pilar yang kokoh. Maka untuk setiap kelemahan yang ia punya, Nizar begitu membencinya. Katanya manusia memang tidak ada yang sempurna, tetapi Nizar hidup di sekeliling orang yang utuh tentang segalanya. Berjalan di palin...