Bab 6 - UM

9 1 0
                                    

Siapa sebenarnya Dava?

Kenapa dia selalu bisa menyempatkan waktu untuknya?

Dan ... sebenarnya apa pekerjaan lelaki itu?

Adalah pertanyaan yang nyaris setiap saat Glory pikirkan. Ada banyak hal lain yang ingin sekali Glory cari. Baik diri lelaki itu sendiri maupun lingkungannya. Seolah ada magnet besar yang memang lelaki itu siapkan hanya untuk Glory. Rasa penasarannya kian menguat setiap Glory melihat wajah putih khas Asia itu. Seperti ada satu hal yang seharusnya Glory tahu, namun tak kunjung ia temukan.

"Masakanku nggak enak?"

"Hah?"

Glory mengangkat kepalanya linglung. Wajah bingungnya sama sekali tidak bisa ia tutupi apalagi saat melihat Abraham yang menatapnya tak kalah bingung.

"Kenapa kamu nggak makan?" tanya lelaki itu lagi sebelum kembali menyuapkan satu potong daging ke dalam mulutnya. "Ada sesuatu yang lagi kamu pikirin?"

"Ah, nggak."

Bohong!

Otak Glory rasanya akan pecah memikirkan semua mengenai lelaki itu. Bukan tanpa alasan ia memikirkan sosok Dava di saat dirinya bersama dengan Abraham. Lelaki yang sejak seminggu lalu tidak pernah absen mengantar jemput dirinya itu seolah tahu apa yang sedang ia butuhkan dan ia lakukan. Tak jarang makan siang yang sering Glory pesan sudah lebih dulu datang padahal Jessica belum sempat membelinya.

"Ada yang menganggu pikiran kamu?"

"Nggak ada, Abra," kata Glory yang akhirnya mulai menghempas jauh-jauh pikirannya. Tidak. Ini adalah waktunya dengan Abraham. Ia harus bisa menikmati waktunya bersama dengan sang kekasih seperti biasanya. Karena sebulan ke depan, Glory tidak yakin bisa bertemu dengan Abraham dan menghabiskan waktu bersama dengan lelaki itu.

"Kamu tahu kalau aku nggak suka saat kamu bohong, kan?"

Glory memutar bola matanya malas. "Aku nggak mikirin apapun. Aku cuman capek aja. Kamu jelas tahu sebanyak apa jadwal aku hari ini?"

"Tapi, dari tadi kamu terus diem. Kalau memang dari awal kamu nggak berniat untuk—"

Glory menghempas alat makannya ke atas meja. Helaan napas kasar ia keluarkan begitu Abraham yang terdiam di depan sana. Wajah lelaki itu tampak tidak baik. Sama halnya dengan Glory yang kesal, Abraham juga terlihat marah. Rautnya yang datar dan tatapannya yang mulai menajam membuat Glory melihat ke arah lain. Enggan melihat wajah Abraham yang mungkin akan semakin membuat amarahnya memuncak.

"Kamu mau terus bahas ini?" tanya Glory yang mulai jengah.

"Bahas apa? Sejak kamu datang, kita nggak bicara apapun. Kamu yang datang ke sini dengan mobil lain aja seharusnya menjadi pembahasan kita, kan? Tapi, kamu justru lebih banyak diam dan nggak jawab pertanyaan aku. Saat aku tanya kenapa, kamu mengelak dan bilang nggak ada apa-apa."

"Karena memang nggak ada apa-apa! Apa yang harus aku bilang?"

Abraham yang tahu jika keduanya memang sedang lelah dengan pekerjaan dan hari yang kian larut, membuatnya memilih untuk mengalah. Mungkin ini waktunya untuk istirahat. Memperdebatkan semuanya menjadi lebih besar juga bukan hal yang bisa dilakukannya.

"Kamu sudah selesai makan?" tanya Abraham dan bangkit. Ia mengambil jaket yang ada di belakang kursi, mulai mengenakannya. Membuat wajah Glory semakin mengernyit dalam. "Biar aku antar pulang."

"Kamu kenapa, sih?!"

"Bukannya aku yang harus nanya kaya gitu sama kamu?" tanya Abraham balik. Ia urungkan niatnya untuk pergi.

Unexpected MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang