00| PROLOG
Lilly tidak mengerti mengapa hidup selalu berusaha memberikan kepahitan dalam kisahnya. Dia seperti melayang di antara kobaran api rumah tangganya yang hancur. Membakar kulit, melelehkan tulang-tulangnya oleh rasa sakit.
"Lilly!" Suara Drey meneriakinya dari dalam rumah lalu mengejarnya dengan bertelanjang kaki melintasi pekarangan rumah mereka yang luas.
Sementara Lilly terus melarikan diri menuju mobil yang terparkir di jalanan. Dia menoleh ke belakang dengan panik melihat Drey terus mengejarnya.
Lilly mengunci pintu saat berhasil masuk ke dalam mobil tepat ketika Drey tiba di dekat mobilnya dan mengetuk-ngetuk kaca dengan keras, menyuruhnya lekas membuka pintu.
"Jangan pergi! Aku akan menjelaskan padamu!"
"Enyahlah Drey!" teriak Lilly marah. "Aku bersumpah aku membencimu!"
"Lilly, aku bilang keluar dan kita bicara."
"Fuck off!"
"Lilly!"
Lilly membuka kaca mobil hanya untuk melempar test pack ke muka Drey kemudian menutupnya lagi. Drey mengambil benda itu dan dia segera membeliakkan mata.
Usai melihat ekspresi terkejut Drey, Lilly menginjak gas, meskipun dia masih sempat melihat seorang perempuan keluar dari dalam rumahnya dengan keadaan setengah telanjang. Sama seperti Drey, yang hanya mengenakan celana pendek dan dada penuh ruam.
Iblis jahanam! Mereka berzina di rumah mereka.
Lilly bertambah marah. Tidak ada yang bisa menghentikannya lagi ketika dia melaju dengan kecepatan tinggi. Melalui pandangan mata yang kabur akibat air mata dan dadanya yang sesak, dia tidak bisa terima dengan keadaan yang menimpanya.
Mengapa harus Drey di antara semua orang? Mengapa harus pria yang menemaninya dari nol? Mengapa harus pria yang bersumpah akan menjaga kesetiaannya dengan ikatan pernikahan? Mengapa harus suaminya?
Lilly menangis tersedu-sedu melintasi jalan raya. Tidak tahu akan kemana dengan keadaan kacau begini. Selama ini hanya Drey tempatnya pulang. Karena dia tidak punya siapa-siapa.
Orangtuanya? tidak. Itu bukanlah pilihan yang benar dalam situasinya saat ini. Keluarganya kacau karena hidupnya juga berantakan karena hubungan yang tidak sehat antara dia dan orangtuanya.
Tidak ada kedamaian yang tersisa sampai dia bertemu Drey, menikah dua tahun lalu. Dan kini Drey pun memutuskan untuk meninggalkannya. Lebih tepatnya, meninggalkan kepercayaan yang telah dia tanamkan pada Lilly di saat Lilly tidak dapat mempercayai siapapun.
Kehadiran janin yang dia kandung seharusnya mampu mengatasi betapa sakit hatinya saat ini. Namun menyadari 'mereka' kini tinggal sendirian, dia pun berpikir tidak lagi ada gunanya jika Drey menghianatinya, 'kan? mungkin apabila dia mati, Drey akan menyesal telah melakukan itu kepadanya.
Lantas, di tengah jalan raya yang ramai itu, dalam detik-detik ketika dia tidak dapat berpikir jernih, keputusan bodoh dia ambil ketika tangannya melepas kemudi.
Dengan cepat mobil yang dikendarainya kehilangan kendali, menghantam mobil di depan dan di belakangnya, dan beberapa lainnya, hingga mobilnya jatuh terguling-guling dan hancur.
Dengan cepat pula, keadaan kacau dan yang tersisa adalah desisan mesin-mesin, keramaian orang, suara klakson, dan tetesan-tetesan beraroma bensin.
Tidak ada satupun yang dapat menggambarkan kengerian di jalan raya tersebut. Seseorang menelepon ambulan, dan beberapa orang yang terluka ringan turun dari mobil yang lecet untuk menyaksikan dua mobil yang terguling akibat perbuatan satu orang. Di antara dua mobil tersebut, Lilly berada di mobilnya dalam keadaan terbalik. Dan hal yang dia pikirkan sebelum kehilangan kesadaran adalah suara anak bayi yang menangis, dan itu berada di alam bawah sadarnya.
-o0o-
"Dia sudah sadar."
"Ya."
Theo melihat melalui kaca pada pintu dan menyaksikan wanita berambut cokelat itu sedang diperiksa oleh dokter. Tampak dari mata birunya, dia tidak sabar untuk berbicara padanya langsung walaupun adiknya sudah mengingatkannya.
"Dia amnesia, dan tidak akan mengingat apapun."
"Apa dokter memberitahumu?" tanya Theo.
"Ya. Aku mendengar pembicaraan dokter dan perawat tadi. Jadi percuma saja."
"Tapi dia harus tau kebenaran akibat perbuatannya."
"God, Theo. Percuma! Dia tidak akan mengerti apapun yang kau katakan. Marah padanya juga tidak akan bisa memperbaiki keadaan. Lagipula dia amnesia, apa kau tidak dengar apa kataku?"
Theo masih mengepalkan tangan. Namun dia mencerna ucapan adiknya dan mencoba mengembalikan kewarasannya untuk tidak mengamuk pada wanita itu.
Lantas, Theo mendudukkan diri di bangku ruang tunggu hanya untuk membenci dirinya sendiri. Dia mengusak rambutnya. Astrid yang melihat kakaknya seperti itu hanya bisa ikut bersedih. Theo bukanlah pria yang gampang menangis. Namun saat ini Astrid tau Theo sedang berusaha keras untuk menahan air mata di pelupuknya.
Tak lama dokter keluar dari ruangan itu membuatnya segera menghapus air mata. Theo ikut berdiri.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Astrid.
"Dia sudah lebih baik. Tapi dia akan sangat kebingungan."
"Apa yang terjadi?" Astrid pura-pura tidak tahu.
"Amnesia. Dia mengalami cidera di bagian otak. Membuat ingatannya terganggu."
"Kami mengerti."
"Berapa lama ingatannya akan kembali?" tanya Theo. Astrid mengerutkan dahi. Mencoba membaca apa yang akan dilakukan Theo.
"Tergantung. Untuk sementara kami tidak bisa memastikan sebelum pemeriksaan lebih lanjut."
Dokter tersebut memandangi keduanya bergantian. "Apa kalian keluarganya?" karena dua orang ini sejak kemarin selalu datang kemari.
Astrid akan menjawab tapi Theo lebih cepat.
"Ya."
"Kau siapanya?"
Beberapa saat Theo menatap Astrid. Adiknya menunggu dengan cemas seperti berusaha membaca pikirannya. Dan dia melihat ekspresi terkejut adiknya saat dia menjawab,
"Aku suaminya."
Astrid ternganga.
"Apa aku boleh bertemu dengannya?"
Pria berjubah putih itu segera memberi izin dan Theo pun masuk ke ruangan, meninggalkan kebingungan Astrid di depan pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT MY HUSBAND
General FictionBe wise: 18+ Keluarga Winehouse seharusnya sudah melaksanakan pernikahan salah satu putra mereka, Theodore James Winehouse. Namun hal itu tidak pernah terjadi karena mempelai wanita Eve, tewas dalam suatu insiden kecelakaan yang melibatkan Lilly Ang...