Pilihan yang Berat

2 0 0
                                    

Arga dan Alya duduk di lantai ruang tamu Rumah Gading, cermin besar yang mengandung jiwa Sekar berdiri tegak di hadapan mereka. Kertas ritual yang mereka temukan di kotak kayu kini berada di tangan Arga. Bayang-bayang di dalam cermin sesekali bergerak, seolah mendengar percakapan mereka dan menunggu keputusan yang akan diambil.

"Jika kita membebaskan Sekar, apakah kita bisa memastikan dia tidak akan melukai orang lain?" tanya Alya dengan cemas.

Arga menatap cermin itu dengan tatapan tegas. "Aku tidak yakin, tapi mungkin kita bisa menemukan cara untuk membantunya menemukan kedamaian. Dia terperangkap dalam kemarahan dan kesedihan yang dalam, tetapi itu bukan sepenuhnya salahnya. Sekar hanya ingin balas dendam karena perlakuan yang ia terima dari keluarga dan desa ini."

Alya mengangguk, walaupun rasa takut masih menguasainya. Mereka menyusun rencana dengan hati-hati. Mereka tahu bahwa ritual ini berbahaya dan bisa mengakibatkan hal yang tidak mereka inginkan, tapi mengabaikannya bukanlah pilihan. Semakin lama jiwa Sekar terperangkap, semakin kuat kemarahannya. Arga merasa bahwa mereka harus membebaskannya untuk mencegah tragedi lebih lanjut.

Malam itu, mereka menyiapkan lilin, dupa, dan membaca mantra yang tertulis di kertas ritual. Cermin di depan mereka mulai bergetar, bayang-bayang di dalamnya tampak semakin jelas dan mengerikan. Sekar muncul dalam bentuk samar, matanya penuh dengan kebencian dan rasa sakit yang telah ia pendam selama bertahun-tahun.

"Sekar," Arga memanggil pelan, "Kami tahu apa yang kau alami. Kami ingin memberimu kedamaian."

Bayangan itu terdiam, seolah mendengarkan. Namun, alih-alih mereda, cermin mulai bergetar lebih keras, seakan menolak pelepasan yang ditawarkan. Suara bisikan lirih terdengar di ruangan itu, memenuhi ruang dengan kata-kata yang tidak mereka mengerti, dan udara menjadi semakin dingin.

Alya merasa ketakutan, namun ia tetap teguh di sisi Arga. Mereka terus melafalkan mantra itu, berharap agar Sekar bersedia menerima pelepasan dan menemukan jalan menuju kedamaian. Tiba-tiba, dari dalam cermin, muncul sosok Sekar yang menangis, tampak lebih manusiawi dan rapuh. Sekar menyampaikan pesan melalui tatapannya, seolah meminta maaf sekaligus mengucapkan perpisahan.

Saat ritual mencapai puncaknya, cahaya dari lilin di sekitar mereka redup, lalu padam. Cermin berhenti bergetar, dan keheningan yang menegangkan menyelimuti mereka. Setelah beberapa saat, bayangan Sekar lenyap, dan cermin itu hanya memantulkan pantulan ruangan tanpa ada tanda-tanda kehadiran Sekar.

Arga dan Alya saling berpandangan, merasa lega tetapi juga sedikit ragu. Apakah ini benar-benar akhir dari kutukan yang menghantui Rumah Gading? Meski cermin kini tampak kosong, mereka tahu bahwa mungkin masih ada sisa-sisa kegelapan yang tak sepenuhnya hilang.

Malam itu, Arga dan Alya meninggalkan Rumah Gading dengan harapan bahwa mereka telah membebaskan Sekar dari penderitaannya. Namun, mereka tidak menyadari bahwa keputusan ini akan membawa mereka pada serangkaian peristiwa yang tak terduga, yang akan mengguncang seluruh desa dan membuka babak baru dari misteri yang belum selesai.

Bayang-Bayang di Balik CerminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang