chapter 5: A bitter end

88 10 0
                                    

Hari-hari berlalu, dan Jake semakin merasa nyaman dengan keputusan yang diambilnya. Ia mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Heeseung, menikmati setiap momen yang mereka habiskan bersama. Namun, meski berusaha terlihat bahagia, bayangan Sunghoon masih menghantuinya, membuatnya merasa bersalah.

Malam itu, Jake dan Heeseung duduk di taman, mengobrol sambil menikmati angin malam yang sejuk. Heeseung terlihat ceria, dan Jake berusaha untuk membalas senyumnya. Namun, di dalam hatinya, ada rasa berat yang terus menggerogoti.

“Jake, lo tau nggak? Gue bersyukur banget bisa ada di sini sama lo,” kata Heeseung dengan tulus.

Jake tersenyum kecil, meski hatinya terasa berat. “Gue juga, Hee. Lo udah bikin hidup gue lebih baik.”

“Tapi lo masih mikirin dia, ya?” tanya Heeseung, nada suaranya berubah serius.

Jake menunduk, tidak berani menjawab. Ia merasa tidak adil terhadap Heeseung. Ia tidak ingin membebani sahabatnya dengan perasaannya yang masih terikat pada Sunghoon.

“Hee, gue...” Jake terhenti, mencari kata-kata yang tepat. “Gue nggak mau nyakitin lo.”

Heeseung menggeleng. “Gue mau lo jujur sama diri sendiri, Jake. Kalo lo masih suka sama Sunghoon, kita harus bicarakan ini.”

Jake merasakan ketegangan di antara mereka. Ia tahu Heeseung berhak untuk mendapatkan jawaban yang jelas. Namun, menjelaskan perasaannya yang rumit kepada Heeseung rasanya sangat menyakitkan.

“Gue... gue butuh waktu,” kata Jake akhirnya, suaranya bergetar.

Heeseung mengangguk, meski wajahnya terlihat kecewa. “Oke, tapi ingat, gue selalu di sini buat lo.”

---

Di sisi lain, Sunghoon merasa semakin terpuruk. Setiap kali ia melihat Jake dan Heeseung bersama, hatinya terasa sakit. Ia berusaha untuk move on, tetapi bayangan Jake terus menghantuinya. Semua kenangan indah mereka berputar di benaknya, menambah rasa sakit yang sudah ada.

Suatu malam, Sunghoon pergi ke café tempat ia dan Jake biasa menghabiskan waktu. Ia duduk di pojok, memandangi tempat duduk yang dulu mereka duduki. Semua terasa kosong. Ia merindukan tawa Jake, senyum manisnya, dan semua hal kecil yang mereka lakukan bersama.

“Lo baik-baik aja, Hoon?” tanya Danielle, sahabatnya, yang tiba-tiba muncul.

Sunghoon hanya mengangguk, meski air mata mulai menggenang di matanya. “Gue nggak bisa berhenti mikirin Jake.”

“Lo harus bilang sama dia, Hoon. Jangan biarin dia pergi tanpa lo berjuang,” saran Danielle, mencoba menghibur.

“gue udah berusaha, Dan. Tapi semuanya terasa terlambat. Sekarang dia bahagia sama Heeseung.”

Danielle menarik napas dalam-dalam. “Tapi apa lo mau lihat dia bahagia tanpa lo? Kalo lo bener-bener suka, lo harus berjuang. Jangan tunggu sampai semuanya terlambat.”

Kata-kata Danielle menyentuh hati Sunghoon. Ia tahu, ia harus melawan perasaannya dan berjuang untuk cinta yang sebenarnya.

---

Keesokan harinya, Sunghoon mengambil langkah berani. Ia memutuskan untuk mencari Jake dan mengungkapkan semua yang ia rasakan. Setelah berusaha mencari tahu jadwal Jake, ia menemukan sahabatnya itu di taman sekolah, duduk bersama Heeseung.

Sunghoon merasa jantungnya berdebar kencang saat mendekati mereka. Ia tidak ingin terlihat cemas, tetapi ketidakpastian membuatnya ragu. Jake melihatnya dan tersenyum, tetapi senyumnya tampak pudar saat ia melihat ekspresi serius di wajah Sunghoon.

“Heeseung, bisa lo kasih kita waktu sebentar?” tanya Sunghoon, berusaha terlihat tenang.

Heeseung menatap Sunghoon sejenak, lalu mengangguk. “Oke, Jake. Gue di sebelah ya.” Ia beranjak pergi, meninggalkan mereka berdua.

Sunghoon dan Jake saling menatap, suasana menjadi canggung. Sunghoon membuka mulut, tetapi kata-kata seakan terjebak di tenggorokannya.

“Lo mau ngomong apa, Hoon?” tanya Jake, suaranya tenang tetapi ada nada cemas di dalamnya.

Sunghoon menelan ludah. “Gue... Gue tahu semuanya terasa sulit. Tapi Jake, gue harus jujur sama lo.”

Jake menunggu, tetapi Sunghoon merasa kata-kata itu sulit untuk diucapkan. “Gue nggak pernah berhenti peduli sama lo. Gue... gue suka sama lo. Dan saat lo mulai menjauh, gue merasa semuanya hancur.”

Jake terdiam, ekspresinya sulit dibaca. “Hoon, lo tahu situasi kita kan? Lo udah bilang... lo nggak siap.”

“Aku tahu. Tapi sekarang aku menyadari bahwa gue nggak mau kehilangan lo. Gue benci melihat lo bahagia sama orang lain,” ungkap Sunghoon, emosinya mulai mengalir.

Jake merasa hatinya bergejolak. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi semua terasa rumit. “Hoon, gue... Heeseung—”

Sunghoon tidak bisa mendengar lebih jauh. “Lo jangan bilang kalau lo bahagia sama Heeseung, Jake. Gue berjuang buat ngerasain perasaan ini, dan sekarang lo malah menjauh.”

Perasaan Sunghoon meledak. Ia merasa marah dan frustasi sekaligus. "Gue nggak mau jadi orang yang cuma bisa melihat lo bahagia dari jauh."

Jake terdiam, terlihat terjepit antara dua hati yang sangat ia cintai. “Gue... gue butuh waktu, Hoon.”

“Gue nggak punya waktu lagi, Jake!” Sunghoon hampir berteriak, hatinya pecah. “Gue tahu, ini semua salah gue. Tapi apa lo mau gue pergi dari hidup lo?”

Kata-kata Sunghoon melukai Jake. Ia tidak ingin kehilangan Sunghoon, tetapi di sisi lain, ia merasa berutang pada Heeseung.

“Lo harus memutuskan apa yang lo mau, Jake,” kata Sunghoon, suaranya mulai bergetar. “Gue nggak akan menunggu selamanya.”

---

Di dalam hatinya, Jake merasa terjepit. Ia tahu bahwa Sunghoon berjuang, dan ia tidak ingin menghancurkan hati sahabatnya. Namun, ia juga tidak bisa melupakan Heeseung yang selalu ada untuknya. “Hoon, lo tahu bahwa lo penting buat gue. Tapi gue harus memberi ruang untuk Heeseung.”

Sunghoon mengangguk pelan, tetapi air mata mulai mengalir di pipinya. “Kalau lo udah memutuskan, gue akan pergi.”

Dengan perasaan hancur, Sunghoon melangkah pergi, meninggalkan Jake yang tidak tahu harus berkata apa. Momen itu terasa seperti akhir dari segalanya—sebuah perpisahan yang tidak diinginkan, tetapi juga tidak bisa dihindari.

To be continued...

---

A love left unspoken (Sungjake) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang