chapter 9: The shadow of memories

51 6 0
                                    

Hari-hari setelah perpisahan itu berlalu dengan lambat bagi Sunghoon. Dia berusaha untuk merelakan semua kenangan bersama Jake, tetapi setiap sudut sekolah, setiap lagu yang diputar, mengingatkannya pada hubungan mereka yang pernah indah. Sunghoon merasa terjebak dalam sebuah lingkaran yang tak berujung, berusaha untuk melanjutkan hidup sementara hatinya tetap terikat pada masa lalu.

Sementara itu, Jake merasakan kesepian yang mendalam. Setiap kali melihat Heeseung, ia tidak bisa menghilangkan rasa bersalah yang terus mengikutinya. Heeseung berusaha bersikap normal, tetapi Jake tahu bahwa ada ketidaknyamanan di antara mereka.

“Jake, lo baik-baik aja?” tanya Heeseung suatu malam saat mereka sedang duduk di sofa, menonton film.

“Gue baik-baik aja,” jawab Jake, meskipun ia tahu itu bukanlah kebenaran.

“Gue tahu lo nggak baik. Kenapa lo nggak bicara tentang Sunghoon?” tanya Heeseung, melihat langsung ke mata Jake.

“Gue...,” Jake terdiam, memikirkan bagaimana menjelaskan perasaannya. “Gue masih mencintainya, tetapi gue nggak ingin menyakitimu.”

“Gue ngerti. Tapi lo juga harus berpikir tentang diri lo sendiri, Jake. Apa lo mau menghabiskan hidup lo dengan rasa bersalah?” tanya Heeseung, suaranya lembut.

“Gue hanya ingin semua ini berhenti. Gue ingin kembali ke waktu ketika semuanya terasa lebih sederhana,” kata Jake, suara tertahan.

Heeseung menyentuh tangan Jake, berusaha memberi dukungan. “Lo harus berani mengambil keputusan, Jake. Ini bukan hanya tentang kita, tapi juga tentang apa yang lo inginkan.”

Jake mengangguk, tetapi dalam hatinya, ia merasa bingung dan tidak berdaya. Kenangan tentang Sunghoon terus menghantuinya. Ia sering terbangun di malam hari dengan ingatan akan senyum Sunghoon, tawa yang ceria, dan bagaimana semuanya berubah dalam sekejap.

---

Kembali ke Sunghoon, ia mulai merasa lebih baik setelah menghabiskan waktu bersama teman-temannya di klub seni. Meskipun hatinya masih sakit, menggambar memberi jalan bagi emosinya untuk keluar. Ia menggambarkan momen-momen indah bersama Jake dan semua yang mereka lewati, meskipun itu menyakitkan.

Suatu sore, saat dia sedang menggambar di taman, Danielle datang menghampiri. “Hoon, lo lagi ngapain?”

“Gue cuma menggambar,” jawab Sunghoon, sambil menunjukkan kanvas yang penuh warna, meskipun ada nuansa kelabu yang mendominasi.

“Wow, itu keren! Tapi kenapa ada warna kelabu? Apa itu melambangkan perasaan lo?” tanya Danielle, mengamati dengan serius.

“Gue hanya mencoba mencurahkan perasaan,” jawab Sunghoon, tersenyum pahit.

“Lo harus berbicara tentang apa yang lo rasakan. Kadang, hal itu bisa membantu,” saran Danielle.

Sunghoon menghela napas panjang. “Gue tahu, tapi saat ini, gue lebih suka menggambar. Setidaknya, di sini, gue bisa mengontrol perasaan gue.”

Danielle mengangguk, memahami. “Tapi jangan lupakan dirimu sendiri, Hoon. Lo juga perlu untuk merawat hati lo.”

“Gue akan ingat itu, Dan. Terima kasih,” jawab Sunghoon, merasa sedikit lebih baik karena dukungan temannya.

Malam itu, Sunghoon kembali ke rumah, tetapi ketenangan yang ia rasakan seolah sirna ketika melihat pesan dari Jake di ponselnya. Pesan itu berbunyi: “Hoon, bisa kita bicara? Aku merindukanmu.”

Hati Sunghoon berdebar. Ia tahu ini akan menjadi momen yang sulit, tetapi ia juga merindukan Jake. Dengan perasaan campur aduk, ia membalas: “Dimana?”

“Di taman jam 7 malam?” tulis Jake.

Sunghoon menatap langit malam, berpikir. “Kenapa aku selalu terjebak dalam perasaan ini?” gumamnya, merasa ragu. Namun, di dalam hatinya, ada kerinduan yang dalam.

---

Ketika jam menunjukkan pukul 7 malam, Sunghoon merasa gugup. Ia tidak yakin apa yang akan terjadi, tetapi ia tahu ini adalah momen yang tidak bisa ia hindari. Ketika sampai di taman, ia melihat Jake sudah menunggu di sana, tampak gelisah.

“Sunghoon,” panggil Jake, terlihat lebih pucat daripada biasanya.

“Halo, Jake,” jawab Sunghoon, berusaha menunjukkan senyuman meskipun hatinya bergetar.

“Gue...,” Jake terdiam, mencari kata-kata yang tepat. “Gue hanya ingin bilang, gue minta maaf.”

“Gue juga,” jawab Sunghoon, suaranya bergetar. “Tapi kita sudah membahas ini, kan?”

“Gue nggak bisa berhenti memikirkan lo. Setiap hari terasa seperti siksaan tanpa lo di samping gue,” ungkap Jake, air mata mulai menggenang di matanya.

Sunghoon merasa hatinya teriris mendengar kata-kata itu. “Jake, ini bukan tentang kita lagi. Kita sudah memilih jalan masing-masing.”

“Tapi Hoon, gue masih mencintaimu. Aku ingin kita kembali seperti dulu,” kata Jake, berharap ada sedikit cahaya dalam situasi gelap ini.

“Gue ingin itu, Jake. Tapi kita harus realistis. Lo sudah memilih Heeseung,” jawab Sunghoon, merasakan sakit yang mendalam.

“Iya, dan itu membuatku merasa lebih hancur. Aku tidak bisa terus berbohong pada diriku sendiri,” kata Jake, suara penuh penyesalan.

“Lalu apa yang lo mau, Jake? Apa lo mau kembali dan menghancurkan semuanya lagi?” tanya Sunghoon, matanya penuh dengan air mata.

“Aku hanya ingin kita berdua bahagia, meskipun itu berarti kita tidak bersama,” jawab Jake, merasakan kepedihan yang mendalam.

Sunghoon menggelengkan kepalanya, “Jangan. Ini menyakitkan, Jake. Kita harus melanjutkan hidup kita. Kita tidak bisa terus terjebak dalam bayang-bayang kenangan.”

Setelah mendengar kata-kata itu, Jake merasa seluruh dunianya runtuh. “Tapi aku tidak bisa kehilanganmu, Hoon. Tidak lagi,” katanya, suaranya hampir berbisik.

“Gue juga tidak mau kehilangan lo, tapi kadang kita harus melepaskan orang yang kita cintai untuk kebaikan mereka,” kata Sunghoon, air mata mengalir di pipinya.

---

Suasana di taman itu terasa semakin berat. Di antara mereka, ada kesepian yang mendalam dan rasa sakit yang tak terucapkan. Sunghoon merasa hancur, dan saat melihat Jake dengan wajah yang penuh kesedihan, ia merasa hatinya semakin tertekan.

“Lo harus bahagia, Jake. Dan kadang, bahagia itu bukan berarti bersama,” kata Sunghoon, suaranya bergetar.

Jake merasakan hatinya teriris. “Tapi lo adalah kebahagiaanku, Hoon. Tanpa lo, hidup ini terasa kosong.”

Sunghoon menggelengkan kepalanya, “Hidup kita tidak akan pernah sama lagi. Kita sudah membuat pilihan, dan kita harus menghadapi konsekuensi itu.”

Mendengar kata-kata itu, Jake merasa putus asa. Ia tahu bahwa cinta mereka tidak dapat dipertahankan, tetapi ia tidak siap untuk merelakannya. “Jadi, kita akan terus hidup dengan rasa sakit ini?” tanyanya, air mata mengalir di pipinya.

“Aku tidak tahu, Jake. Tapi kita tidak bisa terus bertemu dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Kita harus merelakan,” jawab Sunghoon, suaranya penuh dengan kepedihan.

Dengan itu, Sunghoon mengalihkan pandangannya dari Jake. Ia tahu bahwa perpisahan adalah hal yang sulit, tetapi ia juga tahu bahwa ini adalah yang terbaik untuk keduanya. Ia mulai berjalan menjauh, dan setiap langkah terasa seperti mengiris hati mereka berdua.

Jake tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa berdiri di sana, melihat Sunghoon pergi, merasa terjebak dalam kesedihan yang tak berujung. Hatinya hancur, dan ia tahu bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang takkan pernah bisa ia dapatkan kembali.

To be continued...

A love left unspoken (Sungjake) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang