= 11. Bagai Tombak dan Perisai =

20 13 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


*

"Baru kali ini aku melihat ayah tertawa lepas. Entah mengapa rasanya menyakitkan saat mengetahui bahwa tawa itu bukan karena diriku."

— Kallen Pujarsta —

*

"Ibuku tersenyum manis saat bersama laki-laki itu. Apakah tujuanku untuk memisahkannya dari ayah adalah hal yang benar?"

— Liyasa Asmira —

***

"Kok lo sendirian? Kallen mana?"

Baru saja berhasil menyusul Mita dan Yasa, Anggara malah disambut pertanyaan. Ia menghela napas pelan, lantas menggeleng.

"Maksud lo?" Dahi gadis itu berkerut, dengan sorot mata yang yang meminta penjelasan.

"Dia gak—"

"Lo cari gue?"

Suara di belakang Anggara membuat ketiganya menoleh. Tidak lain adalah Kallen, melangkah mendekat ke arah mereka.

"Kangen, Mit?" goda Kallen yang mendapat delikan dari Mita. Tak hanya itu, Yasa pun memelotot, mengode agar Kallen tidak bermacam-macam pada ibunya.

"Iya Yasa, jangan cemburu gitu," kekehnya membuat Yasa mengumpat pelan.

Sementara Anggara dan Mita terkejut melihat gadis itu. Mita yang tak pernah mendengar Yasa berkata kasar, tentu saja membuatnya terkejut. Berbeda dengan Anggara yang menilai dari wajah dan sikap saat pertama bertemu tadi, ia mengira Yasa bukan tipe yang mudah terpancing. Namun, saat keduanya menoleh ke arah Kallen yang cengengesan, akhirnya menggeleng kompak. Benar, siapa pun akan terpancing jika berhadapan dengan Kallen.

"Jadi gimana? Kalian udah selesai diskusi tentang baju?" tanya Yasa, mengalihkan suasana awkward, serta mencoba merendam kekesalannya pada Kallen.

"Tanya aja Anggara, gue mah ngikut," jawab Kallen menunjuk pada Anggara.

Tentu saja laki-laki itu gelagapan, sebab tak ada kesepakatan yang terbentuk antara mereka berdua. Hanya saja, Anggara pikir dengan bersama laki-laki itu, ia bisa menyelidikinya. Dan berharap ada jawaban atas pertanyaannya.

"Anggara? Gimana?" Mita mengulangi pertanyaannya, karena melihat Anggara yang hanya diam.

Mendengar itu, Anggara mengangguk. "Dia yang bakal beli sendiri seragamnya, termasuk punya Yasa."

Dua perempuan itu mengangguk-angguk, sedangkan Kallen memelotot. Hei, sejak kapan gue bilang gitu?

"Eh, kamu ada uang, Kallen?" tanya Yasa menyadari raut Kallen yang seperti tidak terima.

"Oh, tentu. Gue kan holkay," ucap Kallen menyombongkan diri, padahal dalam hati meringis pelan. Menyayangkan uangnya habis begitu saja.

"Nah, udah beres kan? Sekarang kita pergi ke pusat perbelanjaan yuk, gue yang traktir," ujar Anggara diiringi senyuman manisnya. Merasa puas melihat wajah masam Kallen tadi.

Mita dan Yasa segera mengekori, membuat Kallen mendecak pelan. Sial sekali dirinya bertemu sang ayah. Ternyata lebih mengesalkan dari yang di masa depan.

Namun, sesuatu baru saja terlintas di kepalanya. Netranya menatap heran ketiga punggung yang mulai menjauh itu.

"Ayah tadi senyum 'kan?"

***

Keempat anak manusia itu akhirnya tiba di pusat perbelajaan. Anggara memandu ketiganya sebagai penunjuk arah. Awalnya tempat pertama yang mau mereka kunjungi adalah toko baju, tetapi Kallen menolak. Ia bisa pergi bersama Yasa lain kali. Sehingga tujuan mereka jatuh pada arena bermain.

"Lo ada apa sama Yasa? Dari kemarin lo mencurigakan," tanya Mita tak tahan untuk diam dan tak ambil pusing.

"Spesial banget loh, kayak martabak," jawab Kallen bercanda.

Mita mendengus, memang tidak ada gunanya bertanya pada Kallen. Lantas ia menoleh pada Yasa yang berada di depannya, bersama dengan Anggara yang mengajak Yasa mengobrol.

Mita memperhatikan punggung keduanya  sambil terus mengekori. Ia merasa ada kecocokan di antara dua orang ini. Terlebih lagi memang sama-sama pintar. Ia kemudian melirik ke arah Kallen yang sudah sibuk celingak-celingukan, membuatnya menggeleng pelan. Gak cocok, bisa-bisa Yasa naik darah kalo sama Kallen, gumamnya dalam hati.

Berbeda dengan barisan belakang, di depan malah sibuk membahas tentang praktik minggu depan. Yasa mendengarkan dengan seksama setiap penjelasan Anggara. Dan tak sekali ia merasa kagum pada laki-laki itu. Ia tersenyum simpul, merasa bahwa Anggara adalah orang yang tepat untuk pengganti papanya.

Gadis itu masih punya kesempatan, sebelum sang mama turun magang dan bertemu dengan sang papa. Setidaknya ia punya tujuan pasti kali ini, meski dirinya belum memberitahu Kallen.

"Nah, nanti lo bisa jelasin ke Kallen," ucap Anggara setelah selesai menjelaskan.

Yasa mengerjap, ia meringis pelan, tak mendengarkan penjelasan terakhir tadi dengan serius. Sebab, ia terpikirkan tujuannya untuk menyatukan Anggara dan Mita.

"Nanti bisa diulang gak, Anggara? Aku masih belum paham penjelasan yang terakhir," tanya Yasa merasa tak enak.

Anggara mengernyit, "Terakhir?"

Yasa mengangguk pelan, meski tak tau apa penjelasan terakhirnya.

"Oke deh, nanti gue bahas ulang juga pas sama Kallen. Sekarang lo santai aja, kita main dulu sebelum stres melanda." Anggara mengulas senyum, lalu menarik tangan Yasa untuk masuk ke arena bermain.

Tentu saja tindakan Anggara tak luput dari tatapan dua orang di belakangnya. Dua orang itu lantas mengekori masuk ke arena bermain.

Anggara memilih bermain basket. Membuat Mita yang melihat itu langsung berseru. Menantang Anggara untuk berduel.

"Siapa takut?" kekeh Anggara lalu mengambil posisi.

Sementara Kallen dan Yasa hanya berdiri tak jauh dari permainan itu. Memperhatikan keduanya yang mulai bermain.

"Gue gak tau kalo lo akrab sama Anggara." Kallen membuka suara, tetapi pandangannya masih pada dua orang di sana.

"Gak juga. Tapi aku punya tujuan sekarang," jawab Yasa yang juga tak mengalihkan tatapan.

Kallen tak lanjut bertanya. Entah mengapa ia merasa mood-nya turun. Terlebih lagi melihat dua orang di depan sana yang tertawa riang.

Berbeda dengan Yasa yang merasa senang melihat sang mama tertawa bahagia di sana. Membuat ia semakin yakin untuk mencapai tujuan itu.

"Sa, kita pergi aja, mau?"

Sontak Yasa menoleh ke arah Kallen. "Kenapa?"

"Gue ... gak tau. Gue ngerasa kecewa?" ucap Kallen, ragu.

"Ayo!" Yasa menyetujui, meski sebenarnya bingung. Namun, melihat raut Kallen yang tidak biasa, membuat Yasa yakin pasti ada sesuatu.

"Lo gak apa-apa ninggalin ibu lo sama Anggara?" tanya Kallen memastikan.

Yasa menggeleng, tidak masalah. Lagipula ia tau bahwa kedua orang itu telah berteman dari lama. Jadi ia tak perlu khawatir.

Kallen tersenyum, ia mengangguk lantas menarik lembut tangan Yasa untuk pergi dari sana. Tak mengetahui jika Yasa tiba-tiba merasa aneh pada dirinya akibat perlakuan Kallen tersebut.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Let's Forget Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang