*
"Saat tidak ada tempat yang menerimamu, maka pergilah. Pergilah sampai tidak ada yang menyadarinya."
— Liyasa Asmira —
***
Gadis berponi rata itu membiarkan waktu berjalan begitu saja, tanpa berniat bangun dari posisi berbaringnya. Ia hanya menatap kosong langit-langit kamar barunya dengan pikiran yang melalang buana.
Sebenarnya jauh di lubuk hatinya, ia masih tak menyangka akan terdampar di abad 20. Terlebih lagi di waktu yang bersamaan dengan zaman ibunya masih muda. Ia tak habis pikir dengan penampilan dan peringai sang ibu yang terkesan berbeda dari abad 21, di mana sang ibu berpenampilan mencolok dan elegan. Oh, jangan lupakan pula sikap perfeksionis dan situasi sibuk wanita itu. Entah bagaimana bisa berbeda dengan sekarang.
Tak hanya sifat ibunya, tetapi juga alasan dirinya bisa tiba-tiba berada di tahun ini. Padahal ia pergi untuk mati, bukan untuk hidup di masa lalu. Jadi, apakah ia harus memikirkan alasannya?
Liyasa, gadis yang kerap disapa Yasa itu mengubah posisinya menjadi duduk. Ada sesuatu yang perlu ia perhatikan lagi. Gadis itu mulai bangkit, mengambil kertas dan bolpoin di atas nakas. Mulai menuliskan isi pikirannya. Pun mencoba menebak berbagai alasan yang sejalan dengan apa yang ia alami saat ini.
"Tunggu! Jika mama saja ada di tahun 1999, maka pasti papa pun demikian, 'kan?"
Gadis itu mengernyit, menatap tulisannya lamat-lamat. Kembali berpikir.
"Ck, dipikirkan berulang kali pun, aku kesulitan menemukan jawaban atas pertanyaanku. Apakah ada seseorang yang bisa menjelaskan tentang hal ini? Tapi bagaimana jika saat aku bertanya, aku dianggap gila?" Yasa berdecak, frustrasi dengan pikirannya sendiri.
Gadis itu mengacak rambutnya, merasa semakin bingung saat semakin mencoba menemukan jawabannya. Namun, tiba-tiba ia melebarkan mata, sebuah fakta terlintas di benaknya.
"Eh, bukankah aku memang bertujuan mati?" Gadis itu mengangguk-angguk, "benar, sekalipun aku mati, tidak akan ada yang sadar. Lagipula identitasku tidak ada yang tau."
Yasa tersenyum, ia sudah punya tujuan sekarang. Jadi, ia tak perlu memikirkan hal rumit lagi. Hal yang perlu ia pikirkan adalah tempat untuk bunuh diri terbaik.
"Baiklah, aku harus bertanya ke bi Rais untuk hal yang satu ini." Yasa beranjak keluar kamar. Mencari keberadaan bi Rais, tetapi wanita paruh baya itu tak ada di rumah. Sehingga Yasa memilih keluar, sekedar melihat apakah bi Rais ada di halaman.
Begitu keluar, Yasa dikejutkan oleh perempuan yang dirinya gadang-gadang sebagai ibunya, versi muda. Perempuan itu mendecih, seperkian detik menarik Yasa untuk duduk di gazebo. Yasa pasrah saja, meski sebenarnya merasa sungkan. Apalagi perempuan itu masih menampilkan wajah tak bersahabatnya.
"Kenapa lo belum pergi?" Suara ketus itu mengundang perhatian Yasa. "Gue kan udah suruh lo buat pergi, karena gue gak suka ada penumpang asing di rumah gue."
Yasa meringis mendengar penuturan Mita, setiap katanya terdengar penuh penekanan dan rasa tak suka. Yasa tak bisa bohong bahwa kalimat itu menyakiti hatinya. Terlebih lagi, yang berbicara adalah ibunya. Rasanya menyedihkan diusir secara gamblang seperti ini.
"Lo gak punya mulut?" Mita melirik Yasa dari ekor matanya, "apa lo gak punya tujuan karena kabur dari rumah?"
Yasa buru-buru menggeleng pelan, meski memang benar ia kabur, tetapi ia tak ingin mengakui. Lagipula ia sudah punya tujuan sekarang.
"Aku punya tujuan kok. Jadi aku mau nanya jalan ke kamu," ucap Yasa setelah menelan pahit yang ia rasakan. Ia juga tak ingin lama-lama berada di sini, sebab dengan melihat wajah ibunya saja mengingatkan dirinya akan keluarganya yang hancur.
"Apa?"
"Jembatan gantung udah ada kan?"
Mita mengernyit, "Rumah lo di situ?"
Yasa menggeleng, "Bukan, tapi itu titik awal aku bisa pulang. Kamu mau gak bantu aku untuk pergi ke sana?"
Mita mengangguk, ia bisa saja mengantar penumpang asing ini agar cepat pergi dari rumah ini. "Kapan lo mau pergi?"
"Nanti malam aja, sekarang pasti kamu lelah, baru pulang sekolah," jawab Yasa menyadari Mita masih menggunakan seragam sekolahnya.
"Oke, cari aja gue di rumah ntar malem," ucap Mita menyetujui, kemudian beranjak pergi. Menyisakan Yasa yang tersenyum tipis di tempatnya.
***
Malam tiba dengan cepatnya, si gadis berponi rata itu sudah berada di depan rumah Mita. Rumah yang berada berseberangan dengan rumah bi Rais. Hanya terpisah halaman luas.
Yasa mengetuk pelan pintu rumah tersebut, berharap tidak ada orang lain selain Mita di dalam sana. Sebab, ia tak ingin menjelaskan ke mana ia akan pergi. Ia juga bersyukur bahwa malam ini bi Rais sedang ada arisan di dusun tetangga, jadilah ia bebas dari pertanyaan.
"Oh, udah jadi lo?" sambut Mita begitu membuka pintu.
Yasa mengangguk, "Bisa tolong anterin aku sekarang aja? Takutnya nanti bi Rais pulang," ucapnya seraya melirik ke rumah yang kini gelap.
"Oke, ayo."
Mita memasang sendalnya, lantas berjalan lebih dulu. Membuat Yasa segera mengekori.
Kedua remaja tanggung itu mulai keluar dari jalan setapak menuju jalan raya. Mita sempat kesal karena tak mendapati angkutan umum yang lewat, tetapi ia kemudian meminta Yasa untuk berjalan kaki. Dengan alasan, jarak yang mereka tempuh tidak terlalu jauh.
"Ma, suka jalan kaki kah?" tanya Yasa di sela-sela mereka berjalan.
"Bukan suka, cuma ya deket aja. Hemat ongkos lah," sahut Mita tanpa menatap sang lawan bicara. Ia sibuk mengamati sekitar yang gelap. Hanya ada lampu jalan sebagai penerangan, itupun tidak terlalu terang.
"Memang ongkos angkutan umum biasanya berapa, Ma?" tanya Yasa lagi, seolah tak ingin ada keheningan di dalam langkahnya.
"Gue mau jawab, tapi gue risih dipanggil 'Ma'. Lo typo apa gimana dah? Nama gue Mita, bukan Mata," cetus Mita, melirik sinis si gadis berponi di sampingnya.
"Maaf," cicit Yasa sambil menunduk.
Mita menghela napas dengan kasar, tak ingin memperpanjang. Ia kemudian mengalihkan tatapannya pada jembatan gantung yang mulai terlihat dari tempatnya.
"Tuh, lo tinggal nyebrang," tunjuk Mita pada jembatan di seberang.
Yasa melebarkan matanya, lantas mengangguk-angguk. Ia tak menyangka jembatan gantung di 2024 ternyata sama dengan jembatan gantung saat ini. Hanya warna besinya yang berbeda.
"Makasih ya, Mita," ucap Yasa sambil tersenyum tulus. Lalu mulai melangkahkan kaki untuk mendekat ke arah jembatan.
Sementara Mita mulai berbalik, pergi meninggalkan Yasa. Tanpa mau tau apa yang akan dilakukan gadis berponi itu.
"Ck, dia mau ngapain lagi?" Seseorang secara tiba-tiba mengambil atensi Mita. Orang itu berlari melewatinya sambil menyeru.
"Liyasa!"
Mita yang tadinya ingin melanjutkan perjalanan pulangnya, seketika berbalik mendengar orang tadi menyerukan nama Yasa. Netra perempuan itu melebar, tanpa kata segera menghampiri Yasa yang sudah bersiap terjun dari jembatan gantung. Bersamaan dengan orang tadi yang juga meraih tangan Yasa dengan cepat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Forget Me!
Fantasia= Time Travellers = * Bagaimana jadinya jika seseorang yang jatuh dari ketinggian, bukannya mati, tiba-tiba berada di akhir abad 20? Itulah yang dialami Liyasa Asmira, gadis yang berharap mati karena lelah dengan beban hidupnya. Namun, justru berada...