= 4. Akhir Dari Putus Asa =

39 17 5
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


*

"Gue gak tau seberapa berat masalah lo. Jangan pernah mati dengan bunuh diri, tapi matilah dengan takdir."

— Mitany Akeela —

***


"Anjing! Siapa yang suruh lo lompat!" Mita menarik keras bahu Yasa agar menghadapnya. Ia khawatir, tetapi ia merasa kesal karena dibohongi oleh gadis berponi ini.

Ia tak tau harus bagaimana jika Yasa benar-benar mengakhiri hidup di jembatan gantung ini setelah diantar olehnya. Entah alasan apa yang yang ia keluarkan saat berada di rumah nanti, lagi-lagi jika gadis itu benar-benar jatuh. Untungnya pemuda yang tak ia kenal itu menyelamatkan Yasa.

"Lo kalo ada masalah bilang! Gak usah lompat-lompat! Nyawa lo cuma satu anjing!" Mita tak bisa mengendalikan dirinya, ia merasa sangat kesal. Sementara Yasa hanya diam sambil menunduk, begitupula dengan pemuda yang juga masih diam di samping Yasa.

"Gue gak tau seberapa berat masalah lo. Jangan pernah mati dengan bunuh diri, tapi matilah dengan takdir." Kali ini Mita merendahkan suaranya, meski masih syok, ia berusaha menetralkan emosinya. Terlebih lagi ia tau bahwa Yasa sedang tidak baik-baik saja.

"Gue anter kalian pulang." Intrupsi dari pemuda itu mengalihkan atensi Mita dari Yasa. "Rumah kalian di mana?"

"Gak perlu, dia cuma butuh tenang dulu. Nanti gue bisa bawa dia pulang," jawab Mita tak ingin merepotkan lebih jauh. Lagipula malam-malam begini membawa seorang laki-laki pulang bersamanya adalah hal yang buruk. Ayahnya pasti akan mengira ia telah berbuat tidak-tidak di luar sana.

"Gimana, Yasa? Apa lo gak perlu dianter?" Pemuda itu beralih bertanya pada Yasa, berusaha menatap manik coklat gadis itu yang setia menunduk.

"Mari duduk dulu," ucap pemuda itu merasa tak ada tanggapan dari Yasa.

Mita segera mendudukan Yasa di sampingnya. Lantas menatap selidik pada pemuda yang kini sibuk mengais isi tasnya. "Lo ... kok kenal Yasa?"

Bukan hanya pemuda itu yang menoleh, tetapi Yasa pun mulai mengangkat wajahnya. Melihat pemuda di samping kanannya.

"Gue kenal Yasa, tapi gue gak tau Yasa kenal gue atau gak," jawab pemuda itu sambil mengalihkan wajahnya. Kembali mencari sesuatu dalam tasnya.

"Nih, diminum." Pemuda itu menyerahkan dua botol air ke arah Mita dan Yasa.

Mita menerimanya, lantas mulai meneguknya sampai tersisa setengah. Ia mengembuskan napas dengan kasar, menelan kembali umpatan yang ingin ia utarakan.

Berbeda dengan Yasa yang tak membuka maupun meminum airnya. Gadis itu hanya bisa diam, tak tau harus mengatakan apa. Sebab, ia sama syoknya karena tak jadi jatuh bebas.

"Sa, lo ... kenapa mau mati?" Pemuda di sampingnya membuka obrolan, mengundang atensi Mita.

"Lo ngapain tanya dia kayak gitu? Jelaslah dia putus asa makanya mau mati, entah gimana berat hidupnya," sahut Mita sinis. Ia benar-benar tak bisa menahan sumpah serapahnya.

"Gue gak tanya lo, yang gue tanya si Yasa."

Belum sempat Mita menyahut, Yasa lebih dulu bersuara. Membuat keduanya menatap Yasa.

"Bener kata Mita, aku udah putus asa sama keadaan. Aku gak punya tujuan kecuali untuk mati. Aku lelah memikirkan gimana supaya aku benar-benar bahagia, tapi sejauh apa pun aku berpikir, gak ada hal yang membawa aku ke arah bahagia." Yasa mulai menangis, ia tak pernah sebebas ini mengutarakan perasaannya. Dari dulu, ia hanya bisa menahannya dan menguatkan diri bahwa hal itu akan berlalu. Namun, ia tak sadar, hal-hal sakit yang ia tahan malah menjadi boomerang untuknya.

Mita menghela napas pelan, tangannya menarik Yasa dalam dekapan. Mencoba menenangkan gadis itu, perlahan merasa iba dengan keadaan penumpang asing yang hendak ia usir.

"Gak apa-apa, nangis aja. Kata orang, nangis adalah hal paling beruntung yang dimiliki wanita untuk menyalurkan segala perasaannya." Mita mengelus lembut rambut putri masa depannya itu.

"Gue minta maaf ya, karena gue gak tau lo punya masalah berat. Andai lo bilang dari awal, gue bakal terima lo berada di rumah gue," lanjut Mita, kini beralih menepuk pelan bahu si gadis.

Sementara itu, pemuda tanpa identitas itu tersenyum tipis melihat keduanya. Setidaknya, di tahun ini pun ia berhasil mencegah Yasa jatuh dari ketinggian. Ya benar, setidaknya gadis itu tidak mati dulu.

***

.

.

.

.

Epilog

"Sial!" Seorang pemuda bergegas menghampiri kerumunan di tengah jalan tersebut. Ia mencoba melihat korban jatuh dari ketinggian beberapa menit lalu. Kini polisi dan tim medis datang berbondong-bondong untuk melakukan tugasnya.

Begitu melihat korban, pemuda itu mengembuskan napas panjang. Merasa lega, bahwa orang yang jatuh bukanlah orang yang ia duga. Kemudian matanya mencari ke segala penjuru jembatan gantung. Ia berhasil mendapati keberadaan gadis itu. Berdiri dengan tangan menggenggam besi pembatas.

Pemuda itu lantas bergegas, hendak menghampiri gadis itu. Namun, tiba-tiba gadis itu sudah tak ada di tempatnya.

"Ke mana dia?" Netranya bergerak gelisah kala tak mendapati gadis itu lagi.

Pemuda itu mencoba meniti setiap sudut jembatan tersebut, mencari si gadis berponi rata yang akhir-akhir ini membuatnya khawatir.

"Ah, itu ...."

Pemuda itu melangkah pelan, mulai mengikuti gadis itu yang duduk di trotoar jalan. Seolah tak terusik dengan suara sirine di bawah sana. Masih menghadap kerumunan itu.

"Untuk berjaga-jaga, portalnya harus dibuka." Pemuda itu menekan sebuah gelang di tangannya, sembari mengikis jarak agar lebih dekat dari posisi gadis itu.

Cukup lama pemuda itu menunggu, si gadis masih melamun dengan air mata yang tak kunjung reda. Seperkian detik, pemuda itu ikut berdiri setelah melihat si gadis yang tiba-tiba naik ke besi pembatas.

Pemuda itu berlari, sambil sesekali melongokkan kepalanya ke bawah. Di sana sudah tak ada kerumunan, semuanya sudah bubar beberapa waktu lalu. Menyisakan garis polisi dengan mobil putih penuh darah.

Sementara gadis itu sudah melepaskan pegangannya, meluncur lepas tanpa sempat bisa diraih oleh si pemuda itu.

"Sialan, sejak kapan dia terjun?" Pemuda itu mengumpat panik, segera menyusul agar gadis itu tak bersinggungan dengan aspal dingin di bawah sana.

"Lain kali lo harus berhati-hati, Nona," ucapnya sebelum benar-benar menyentuh aspal dan membuat punggungnya terasa retak. Sayang sekali gadis itu tak mendengarnya karena sudah pingsan terlebih dulu.

"Tahun 1999, beri gadis ini pelajaran berharga!" teriaknya, sebelum akhirnya pandangannya menjadi gelap.

***


Let's Forget Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang