Mesin-mesin cuci berjejer beserta mesin pengeringnya, jumlahnya ada lima masing-masing, diberi kode A sampai E. Tiga mesin cuci sedang menggiling cucian sementara mesin pengering yang aktif hanya dua.
Dalam ruang berpenerangan remang yang suhunya panas ini, beberapa orang terlihat duduk di kursi tunggu. Aroma khas laundry menguar dari sana menenangkan dan begitu manis.
Rp 2.857,-/kg. Apakah harga ini asli atau hanya teknik marketing saja? Pertanyaan ini akan segera terjawab ketika Keumala menimbang pakaian kotornya di depan kasir.
Timbangan menunjukkan berat cucian Keumala hanya lima kilogram saja. Kalau dihitung berarti seharusnya ia hanya mengeluarkan uang Rp 14.285,- saja.
"Dua puluh ribu!" Jadi, Keumala kaget ketika si kasir menyebutkan harganya. Lebih mahal lima ribu lebih daripada yang dihitung Keumala.
Keumala tak banyak tanya ketika melihat wajah si kasir yang masam. Si kasir juga terlihat galak dan tak suka pada Keumala yang masih bingung tentang harga laundry yang ternyata lebih mahal walaupun kalau dihitung masih lebih murah dari laundry di tempat lain.
Keumala mengeluarkan uang dua puluh ribu satu lembar. Kemudian menyodorkan tas laundry-nya ke si kasir tepat ketika si kasir menyodorkan dua koin pada Keumala.
"Ya, kerjain sendirilah!" bentak si kasir yang membuat Keumala bingung.
Jantung Keumala berdebar. Ia melihat ke arah ruang tunggu lalu menyadari kalau orang-orang di sana melihatnya bagaikan orang bodoh yang melakukan kesalahan. Sial, Keumala malu sekali, tetapi kalau ia bertanya si kasir pasti memarahinya lagi.
Keumala mengambil koin yang disodorkan oleh si kasir dan beranjak masuk ke ruang cuci. Orang-orang masih menatapnya dengan aneh, mungkin sedang menunggu Keumala melakukan kesalahan lagi. Sial memang, padahal ia hanya ingin mencuci.
"Sini!" Sebuah suara setengah berbisik memanggil Keumala.
Pandang mata Keumala kemudian bersibobrok dengan seorang lelaki yang masih berjongkok di depan salah satu mesin. Lelaki itu melambai tangan pada Keumala, mengajak si gadis untuk mendekat ke arahnya.
Keumala semula ragu-ragu. Ia mengedar pandang ke seluruh ruang untuk memastikan bahwa si lelaki benar-benar memanggilnya. Ia juga menatap lekat si lelaki sambil menimbang apakah orang itu benar bisa dipercaya atau tidak.
Setelah beberapa saat berpikir, barulah Keumala mendekati si lelaki yang tengah mengeluarkan cuciannya dari mesin cuci ke keranjang. Si lelaki menyambut Keumala dengan sebuah senyum dan menyuruh Keumala memasukan pakain kotornya ke dalam mesin dengan isyarat tangan.
"Di sini, laundry-nya self-service, jadi kamu harus masukin bajunya sendiri, masukin detergen dan pewangi sendiri, ngeringin sendiri, sampai lipat bajunya juga sendiri," jelas lelaki itu.
Keumala mengangguk mengerti sambil berjongkok memasukkan baju-bajunya ke dalam mesin cuci.
"Nah, bajunya jangan terbalik, yang bagian luar harus ada di luar, karena itu bagian kotornya." Lagi, lelaki itu memberi instruksi dengan suara yang pelan dan sopan.
Keumala mengangguk lagi. Dua puluh tiga tahun hidup di dunia, dia baru tahu tips mencuci seperti ini. Dengan berusaha cepat ia mengikuti instruksi si lelaki berkacamata yang masih berjongkok di sebelahnya.
"Sekarang tutup pintunya sampai klik."
Patuh pada instruksi, Keumala melakukannya dengan hati-hati.
"Terus masukin deh detergen sama pewanginya," kata lelaki itu sambil membuka 'laci' yang ada di sisi kanan atas mesin cuci. Di sana terlihat sebuah instruksi untuk memasukkan detergen cair ke wadah sebelah kanan dan pewangi ke wadah sebelah kiri.
Kali ini Keumala diam sambil menatap lelaki yang dengan sukarela membantunya itu. Keumala tersenyum canggung memamerkan gigi-giginya yang rapi.
"Aku gak bawa detergen sama pewangi, gimana dong?" tanya Keumala yang membuat si lelaki tertawa kecil.
"Tuh ambil di dispenser. Satu gelas kecil itu isinya 40 ml, kalau aku sih biar bersih pakai dua gelas, 80 ml. Pewanginya juga sama." Si lelaki menjelaskan sambil menunjuk dispenser sabun yang berada di kasir.
"Harganya seribu per 40 ml, jadi kalau kamu pakai 80 ml untuk masing-masing detergen dan pengharum kamu cukup bayar empat ribu. Harus uang pas, kalau nggak Bu Yani suka ngamuk gak ada kembalian." Dengan tenang lelaki itu menjelaskan. Ketika ia melihat Keumala menatap horor meja kasir, si lelaki tertawa kecil.
"Sebenarnya boleh banget bawa detergen sama pewangi sendiri, itu jatuhnya lebih hemat, sih," ujar si lelaki, sebuah info baru lagi yang diterima Keumala.
"Bisa bayar pakai QRis gak, ya?" tanya Keumala khawatir sebab uang disakunya hanya ada seratus ribu. Pasti marah si ibu kasir yang baru diketahui namanya Bu Yani itu, sebab akan repot menghitung kembaliannya.
"Bisa," jawab si lelaki sambil tersenyum.
Keumala beranjak dari tempatnya jongkok tadi dan berlari kecil ke arah kasir. Ia menyiapkan tekad hanya sekadar untuk beli detergen dan pewangi.
"Bu, beli detergen 80 ml sama pewanginya 80 ml," kata Keumala, "bayarnya pakai QRis, ya?"
Tanpa bicara, Bu Yani menyodorkan QRis untuk pembayaran beserta baki yang berisi empat gelas kosong untuk pewangi dan pengharum.
"Jangan tumpah." Bu Yani memperingatkan dengan galak yang hanya dibalas anggukkan oleh Keumala.
Keumala dengan hati-hati mengambil sabun dan pewangi menggunakan gelas dan baki yang telah disediakan sebelum dengan perlahan berjalan menuju mesin tempat bajunya akan dicuci. Si lelaki membantunya untuk memasukkan detergen dan pewangi ke tempat yang telah disediakan.
"Nah sekarang, masukin koinnya satu aja. Terus tekan tombol start."
Ini adalah penjelasan terakhir untuk sesi mencuci dari si lelaki. Setelah Keumala menekan tombol start, si lelaki menepu-tepuk bangku di sebelahnya agar Keumala duduk di sana.
"By the way, aku Gilang." Akhirnya si lelaki memperkenalkan diri, ia menyodorkan tangannya pada Keumala untuk berjabat sambil tersenyum sopan.
Keumala membalas jabat tangannya walau curiga dalam hatinya tetap ada. Orang ini baik, mau menolong Keumala, Keumala juga baru ingat dia mengikuti Gilang tadi untuk menemukan laundry ini. Namun, hatinya berkata, bisa jadi Gilang ini baik karena dia agen asuransi yang sedang mencari mangsa.
"Keumala." Pada akhirnya, Keumala menyebutkan namanya juga. Tak apalah kalau Gilang ini agen asuransi, dia bisa menolak dengan halus bahwa dia sudah punya asuransi saat ini.
"Cuci aja atau cuci kering?" tanya Gilang yang membuat Keumala bingung.
"Kalau gitu, nanti kamu masukkan bajunya ke keranjang yang itu. Biar gampang keranjangnya simpan di atas kursi. Nah, setelah itu baru masukkan ke dalam mesin pengering. Masukkin koin, tinggal tekan start, deh." Sekaligus Gilang memberi instruksi tentang mesing pengering.
"Udah ngerti, 'kan?" tanya Gilang yang dibalas anggukan oleh Keumala.
"Kalau ngeringin gak ribet, cuma gitu doang. Hati-hati tangannya kena panas, ya," jelas Gilang sambil bangkit dari tempat duduknya.
"Kak Gilang mau ke mana?" tanya Keumala ikut bangkit dari tempat duduknya.
"Mau tidur," jawab Gilang sambil tertawa kecil. "Aku sudah selesai nyucinya, jadi duluan, ya!" pamit Gilang sambil melambai.
"Iya, hati-hati, Kak. Makasih atas bantuannya!" balas Keumala sambil menundukan kepala sekejap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lo[ve]undry
General FictionKeumala Hayati, dan pengalaman pertamanya tinggal sendirian di Jakarta. Menjadi budak start-up tanpa uang lembur ternyata bukan masalah besar sebab permasalahan hidupnya ada yang jauh lebih besar yaitu mencuci baju sendiri. Terbiasa menjadi anak yan...