Chapter 6: Everything At Its Place

14 8 3
                                    

Hari Jum'at, pukul 4:00 WIB. Bukan karena dering nyaring alarm Gilang terjaga. Ia bahkan bangun satu menit sebelum alarm berbunyi. Ini karena kebiasaan yang terus diulang setiap hari tanpa henti selama hampir dua dekade.

Dengan telaten ia membereskan kasur sebelum mengambil sapu untuk membersihkan kamarnya yang tampak sekilas sudah bersih bersinar. Tiap sudut tak terlewat, setitik debu pun tiada yang boleh menghuni ruangan itu.

Hari ini jadwalnya memasak ayam kukus jahe. Ini makanan kesukaannya sebulan sekali. Setiap hari Sabtu, minggu terakhir di setiap bulannya adalah jadwalnya makan daging ayam. Hari-hari lain? Beragam olahan tahu-tempe dan sayur-mayur jadi favoritnya.

Cukup tiga potong paha ayam, untuk masing-masing makan di sarapan, makan siang dan terakhir makan malam. Ayamnya sudah dimarinasi sejak kemarin sore, mengukusnya dibarengi dengan menanak nasi di rice cooker agar tak banyak wadah yang harus di cuci.

Camilan hari ini adalah puding. Kemarin malam sudah dibuat, dimasukkan dalam wadah-wadah kecil supaya bisa di bawa.

Sambil menunggu makanannya matang. Gilang menyiapkan wadah bekal dan kantong bekalnya. Botol air minum setengah liter ia masukkan, tak lupa susu kemasan siap minum kesukaannya dari kecil hingga dewasa, dan puding. Makan siang akan dimasukkan tepat sebelum berangkat kerja.

Tepat pukul 04:20 WIB, sepuluh menit lebih cepat dari perkiraan, semuanya sudah beres. Saatnya mandi dan merawat diri.

Kuku-kuku dicek, setiap detail anggota tubuhnya dipastikan bersih. Aroma yang menguar serupa antiseptik, daripada bebauan lain untuk sabun, Gilang lebih suka aroma antiseptik yang samar supaya ketika memakai cologne baunya tak bercampur jadi aneh.

Hari ini hari Jum'at, jadwalnya memakai kemeja biru dongker yang dipadu dengan celana krem pas badan. Gilang suka melipat lengan kemejanya hingga sebawah sikut, tapi ia tak suka memakai kemeja berlengan pendek.

Pukul 6:00 WIB tepat, tak kurang tak lebih, Gilang sudah siap. Makanannya sudah matang, tetapi agar tak mudah basi nasi untuk bekal didinginkan dulu di suhu ruangan bersama dengan ayam kukusnya yang kaldunya melimpah. Ia sisihkan satu porsi untuk sarapan, ditemani air putih bersuhu ruangan.

Setelah makan, Gilang merapikan bekalnya ke dalam tas bekal. Ia kemudian menyiapkan beberapa barang yang harus dibawa ke kantor seperti beberapa blueprint desain. Hari ini ada monitoring, dia harus menjelaskan beberapa desain ini pada atasannya.

Mentari kini telah menyingsing di ufuk timur, malu-malu bersama burung yang indah berterbangan ke sana-kemari mencari makan. Gilang duduk di meja kerjanya sambil mengeluarkan tablet pintar miliknya.

Pukul 7:01 WIB, lebih lama satu menit dari pada yang diperkirakan. Ini adalah waktunya mengulas jadwalnya hari ini dan besok. Berhubung ini hari Jumat, jadwal untuk besok agak lebih santai dan dia mengosongkan waktu untuk hal-hal yang menghibur seperti berkumpul di cafe atau sekadar main badminton bersama koleganya. Hal-hal yang mendadak ditoleransi di hari Sabtu dan Minggu.

Hari ini juga bukan hari yang panjang. Setelah presentasi di depan atasan terkait progress pekerjaannya, Gilang hanya perlu mampir di satu proyek yang sedang dikerjakan dibawah asistensinya sebagai arsitek. Sudah sembilan puluh persen, sisanya akan ia bagi pekerjaan dengan desainer interior. Setelah itu kembali ke kantor untuk menerima calon klien yang tertarik dengan portofolionya, lalu pulang tepat pukul lima jika si calon klien tidak memakai jasanya. Jika si calon klien akhirnya menjadi klien, maka selambat-lambatnya ia akan pulang pukul delapan malam.

Rutinitas yang telah dilakukan selama hampir enam tahun sejak Gilang merintis karirnya dan pindah dari Bandung ke Jakarta. Rutinitas yang terus diulang sampai kalau boleh jujur Gilang bosan dengan hidupnya.

Apa yang sedang ia cari sekarang? Kemana arah tujuannya? Akhir-akhir ini Gilang bertanya demikian pada dirinya sendiri. Mengingat dan menimbang bahwa rutinitas yang ia lakukan sama semua, diulang-ulang, tanpa ada banyak masalah, tanpa ada gebrakan yang baru.

"Makanya nikah, Lang! Nunggu apa lagi, sih? Duit udah punya, hidup udah mapan." Begitu kata rekan dan sanak saudara yang kadang diabaikan Gilang.

"Ceweknya belum ada." Itu jawaban Gilang yang singkat, padat dan jelas.

Agak dilematik sejujurnya untuk memasukkan orang lain dalam rutinitas hariannya. Ada rasa takut bahwa semuanya akan kacau di masa adaptasi karena Gilang harus menyesuaikan waktu dengan orang asing yang tentu berpotensi pada sebuah perselisihan pelik yang mengganggu sistem hidup Gilang.

Di sisi lain. Gilang berpikir mungkin keberadaan orang lain dalam hidupnya bisa memberikan warna pada rutinitas yang monoton. Tidak akan segitu-gitunya, mungkin bisa lebih mengeksplorasi.

Kuncinya satu. Apakah Gilang bisa menemukan orang yang tepat? Ini adalah hal yang harus dipilih dengan kehati-hatian tingkat tinggi.

Pukul 7:30 WIB, Gilang melangkahkan kakinya ke balkon. Ini rutinitas hiburannya untuk melihat orang-orang berlalu-lalang mengisi pagi. Gilang menyukai kegiatan ini yang setidaknya punya hal-hal berbeda yang tidak itu-itu saja.

Dari balkon kamarnya, samar ia melihat Keumala. Si gadis yang tak bisa mengerjakan pekerjaan domestik. Pontang-panting berlari ke arah halte dengan rambut berantakan dan baju yang kurang disetrika rapi.

Gilang tertawa kecil. Dari jauh saja gadis itu tampak cantik. Elok rupanya, molek lekuk tubuhnya. Gilang sempat berpikir untuk menjadikannya target sasaran untuk dicoba dengan hubungan yang serius, tetapi urung dia lakukan karena si gadis itu payahnya bukan main.

Tepat pukul 8:00 WIB. Gilang mengambil tas ransel dan tas bekalnya. Mengunci pintu balkon dan pergi meninggalkan unit apartemen sederhananya.

Hari ini hari Jumat. Waktunya mencuci baju di laundry self-service yang ada di lantai dasar apartemennya. Gilang berharap menemukan Keumala untuk sekadar menghibur pandangnya yang monoton menjadi sedikit lebih berwarna.

~**~

Sesuai harapan Gilang, mereka bertemu lagi di laundry self-service di lantai dasar apartemen mereka. Kali ini, Gilang berkesempatan untuk mempresentasikan jadwal hidupnya yang monoton sebagai sebuah pencapaian di depan gadis super serampangan di hadapannya.

"Aku nyuci baju setiap hari Jumat jam sembilan malam." Gilang menunjuk bagian pada Google Calendar-nya yang ditandai dengan label berwarna biru muda bertulis 'Laundry Time'.

"Untuk lap dapur, keset, celemek semacamnya itu sebulan dua kali di hari Kamis minggu kedua dan minggu keempat." Gilang lagi menjelaskan pada Keumala yang mengamati dengan takjub jadwal Gilang yang padat dan tertata itu.

"Kalau seperangkat alat tidur seperti sprei, sarung bantal dan sebagainya itu sebulan sekali di hari Rabu minggu ketiga setiap bulannya."

"Kalau terlalu sering dikeringkan dengan dryer baju kadang rusak, jadi biasanya aku cuci saja lalu kujemur di balkon. Setiap Sabtu malam aku menyetrika pakaian untuk satu minggu ke depan." Jelas Gilang sambil memperlihatkan setiap jadwal yang disebut.

Keumala menatap takjub. Gila, ada orang yang lebih teratur daripada ibunya. Bahkan Ibu tak sedetail ini dalam membuat jadwal.

"Apa aku ganggu jadwal, Kakak?" tanya Keumala pelan, "maksudku karena aku jadi pekerjaan Kakak lama selesai."

"Gak masalah, masih sesuai waktunya, kok," balas Gilang yang membuat Keumala tersenyum lebar.

"Kamu mau aku ajari menyetrika?" tanya Gilang yang tentu dibalas anggukkan semangat oleh Keumala.

"Mau!" jawab Keumala.

"Aku besok kosong jam sembilan sampai jam sebelas," kata Gilang sambil memasukkan jadwal itu ke Google Calendar-nya.

"Tapi, Kak ... aku baru ingat ...." Keumala berucap ragu-ragu.

"Kenapa?" tanya Gilang penasaran, "kalau ada hambatan mending diomongin bareng-bareng biar ada solusinya."

"Aku gak punya setrika," jawab Keumala malu-malu yang dibalas tawa kecil oleh Gilang.

Lo[ve]undryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang