Bu Desi ternyata sangat bisa diandalkan. Kerjanya super cepat, dia juga bisa membereskan unit apartemen Keumala dengan kecepatan kilat. Sat! Set! Semuanya beres bahkan sebelum mentari menyingsing tinggi.
Sayangnya, ada harga yang harus dibayar untuk itu semua. Dalam sekali Keumala merogoh kocek, hingga seratus lima puluh ribu untuk unit apartemen bertipe studio yang tak terlalu besar ini. Sangat menguras tabungan yang dijadikan modal hidupnya sebelum mulai mendapat gaji bulan depan.
Walau begitu, bisa tersenyum lebar si gadis ketika menyambut sang ibu. Semuanya rapi, sempurna, tanpa cela dan noda sedikit pun.
"Uang kamu habis berapa buat ini?" tanya Ibu yang membuat Keumala merinding disko.
Sialan. Keumala mengumpat dalam hati. Bertanya-tanya tentang bagaimana Ibu bisa tahu kalau Keumala membayar orang untuk merapikan ini semua. Ya, katanya hati dan pikiran antara Ibu dan anak itu terhubung. Keumala tak pernah percaya sampai hari ini Ibu bisa menebak dengan tepat.
Ibu melotot. Keumala menunduk sambil duduk bersimpuh dengan kedua tangan di atas paha. Tak buka suara si gadis ini, terlalu takut karena Ibu jarang marah dan sekalinya marah bahkan gunung vulkanik yang erupsi pun kalah menyeramkannya.
"Tuh, kan, kata Ibu juga apa," ucap Ibu memulai sesi ceramahnya, "kamu tuh belum siap hidup sendiri!"
"Kamu tuh harus bisa manage rumah, biar kamu bisa manage uang. Kebutuhan rumah, tuh, harus dipikirin Mala!" Ibu terus memberi nasihat, "kalau kamu belum bisa manage tempat tinggal kamu, kamu belum bisa manage uang."
"Tuh, sekarang lihat! Buat makan hari-harimu beli di luar. Nyuci ke laundry. Bebersih cari orang buat bantu kamu. Rumah kamu sekarang itu cuma sepetak, Keumala Hayati Kutianyie! Harusnya kamu bisa lebih hemat!"
Ibu benar-benar tak habis pikir. Si anak cerdas kebanggaannya tak bisa mengurus rumah, bahkan tidak dengan mengurus diri. Pertanyaan tentang kenapa Ibu tahu jawabannya sangat jelas, barang-barang tak tertata sesuai aturan rumah.
Kalau Keumala sudah dewasa dan mengerti seharusnya dia membawa nilai-nilai dari sebuah rumah dan estetikanya. Ditambah, kebiasaan-kebiasaan Keumala di rumah tak terlihat di sini, seperti susunan sepatu di rak, cara memamerkan panci, tempat tidur yang tidak menempel dengan tembok, tak ada signature Keumala dalam menata ruangan ini.
Ibu memijat pelipisnya dan duduk di kasur lesehan milik Keumala. Keumala terus menunduk masih belum berani berkata-kata.
"Resign. Cari kerjaan yang remote saja. Jadi, kamu kerja dari rumah-"
"Kalau aku gak belajar buat mandiri sekarang, sampai kapan pun aku gak akan mandiri, Bu." Keumala menyela dengan nada yang rendah diusahakan senetral mungkin.
"Bikin program aplikasi saja ada gagalnya. Kalau gak gagal dulu, aku gak akan tahu mana yang benar. Sama kayak aku yang mau mandiri." Keumala menambahkan ketika keberaniannya sudah berkumpul bersatu-padu untuk menyanggah opini Ibu.
"Ini juga aku lagi belajar mengatur waktu, belajar cuci baju sendiri, belajar untuk mandiri. Kasih aku kesempatan, Bu!" Keumala dengan sepenuh hati mencoba meyakinkan Ibu.
Ibu menghela napas. Wanita lima puluhan itu memijat lagi pelipisnya. Apa yang dikatakan putrinya memang benar, tetapi gaya hidupnya itu yang berantakan sekali.
"Gimana kalau kita buat perjanjian?" tawar Ibu yang membuat Keumala menelan ludah. Membuat perjanjian dengan seorang notaris sama saja dengan menjerumuskan diri ke lubang yang paling dalam, kegagalan 99% ada di depan mata.
"Perjanjian apa, Bu?" tanya Keumala hati-hati.
"Kalau dalam satu bulan hidupmu masih berantakan, kamu harus pulang. Mau ambil S2 di ITB lagi atau kerja remote terserah, yang penting kamu pulang dan ibu akan ajarkan gimana caranya ngatur rumah." Ibu menyampaikan kesepakatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lo[ve]undry
General FictionKeumala Hayati, dan pengalaman pertamanya tinggal sendirian di Jakarta. Menjadi budak start-up tanpa uang lembur ternyata bukan masalah besar sebab permasalahan hidupnya ada yang jauh lebih besar yaitu mencuci baju sendiri. Terbiasa menjadi anak yan...