Mesin berputar-putar, menggulung-gulung pakaian kotor di dalamnya. Buih sabun menghiasi yang aromanya segar tercium hingga keluar. Memang melihat mesin cuci sedang bekerja kadang jadi hal yang menarik, yang lebih menarik daripada itu bagi Gilang adalah sesosok gadis yang berjongkok di depan mesin cuci menikmatinya seperti anak kecil.
Keumala. Nama gadis yang menarik perhatian Gilang sejak kali pertama mereka bertemu. Gadis yang anehnya tidak bisa melakukan tugas domestik ketika awam bersepakat bahwa tugas domestik itu identik dengan hukum kodrat sebagai perempuan.
Tidak. Gilang bukan bajingan patriarkis yang membuat segmen terpisah antara pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan. Sebaliknya, dia adalah jajaran manusia yang mempercayai kesetaraan gender sehingga menurutnya aneh ketika ada manusia dua puluhan lebih masih kelabakan mengurus urusan domestiknya. Bagaimana bisa? Apa yang dilakukannya dari dulu?
"Ya, hari-hariku dulu cuma disuruh belajar, belajar dan belajar. Tiba-tiba sekarang harus ngatur segalanya di luar hal belajar sendirian, ya, kelabakanlah aku."
Akhirnya Gilang mendapat jawabannya. Anak manja yang segala-gala dilayani. Kalau tidak cantik, boleh jujur Gilang pasti sebal pada tipikal manusia seperti Keumala. Namun, dia cantik, setidaknya enak dipandang berlama-lama.
Sial. Benar kata orang. Asal rupawan, dunia akan berpihak pada orang itu. Sungguh tidak adil sebenarnya.
Sekarang, malam telah larut, yang menghuni laundry di malam Sabtu ini hanya Gilang, Keumala dan Bu Yani yang terkantuk-kantuk di mejanya. Judul pertemuan kali ini, tata cara melipat baju.
Asap tipis keluar bersama hawa panas ketika pengering di buka. Dengan kecepatan penuh dan kehati-hatian menghindari luka bakar, Gilang memindahkan baju-baju Keumala ke keranjang yang sudah disediakan sebelum kemudian Gilang bawa ke salah satu meja setinggi pinggang yang ada di pojok ruangan.
"Fungsi meja ini untuk melipat baju. Pelicinnya juga udah disediakan." Gilang mulai memberi arahan. Ketika ia melihat ke samping, ia menemukan Keumala yang begitu antusias mendengar penjelasan Gilang.
"Memang masih panas, tapi kamu harus melipatnya saat panas jadi kamu gak perlu menyetrika lagi. Cara melipat baju itu gampang. Harusnya kamu juga sudah tahu."
"Pertama, kibas dulu supaya rapi. Simpan di atas meja dengan bagian belakang ada di atas. Semprot dulu dengan pelicin supaya harum. Kanan-kirinya dilipat dengan batas bagian kerah bajunya. Lipat bagi dua atas-bawahnya. Balikan. Selesai."
Gilang memberi contoh. Keumala memperhatikan dengan seksama. Terlihat mudah, Keumala ingat dia sering melihat adegan ini dilakukan oleh asisten rumah tangga di rumahnya seminggu sekali. Namun, entah apakah dia bisa melakukannya atau tidak.
"Coba, nih!" titah Gilang memberikan sebuah kaos pada Keumala.
Keumala mempraktikannya. Agak susah hingga ingin benar-benar rapi.
"Tiap dilipat, kamu gosok pakai tangan searah lipatannya supaya polanya gak berubah." Gilang mengingatkan yang segera dipatuhi oleh Keumala.
Satu, kaos. Dua, kemeja. Tiga, celana panjang. Empat, celana pendek. Satu per satu baju akhirnya dilipat oleh Keumala. Tangannya memerah karena panas, tetapi hasilnya menurut Keumala cukup memuaskan.
"Lumayan buat begginer, tapi untuk sampai target perfect masih jauh. Jadi, gimana kalau kita latihan lagi pakai baju aku?" tawar Gilang. Ini adalah kesempatan dalam kesempitan. Walau tak begitu rapi, lipatan Keumala lumayan untuk sekadar dimasukkan ke lemari sebelum disetrika ulang sebelum dipakai.
Gilang siap menerima tolakan. Namun, Keumala ternyata antusias menerima tawaran Gilang dengan mata berbinar dan senyum yang lebar. Lucu, manis, enak dipandang. Gilang merasa ia mendapat keuntungan berlebih hari ini.
"Masih nunggu lima menitan," ujar Gilang menunjuk pengering tempatnya mengeringkan baju masih menunjukkan waktu mundur lima menit.
Gilang dan Keumala memilih memasukkan pakaian Keumala yang sudah dilipat ke tas laundry sebelum duduk bersebelahan di kursi tunggu. Mereka berdua sesaat diam, sama-sama mencari topik pembicaraan.
"Dua ribu lima ratus delapan tujuh rupiah itu scam gak, sih, Kak? Kenapa gak disebutin aja kalau satu mesin sekali cuci harganya sepuluh ribu," gerutu Keumala yang memancing tawa Gilang.
"Itu namanya marketing, Neng. Mereka gak bohong, kok. 'Kan, satu mesin muat sampai tujuh kilo, kalau kamu nyuci baju dan ngeringin tujuh kilo itu jatuhnya per kilo dua ribu-an sekian," balas Gilang santai.
"Walaupun, idealnya kalau mau bersih, ya, maksimal lima kilo." Gilang menambahkan tips-tips mencuci di laundry ini pada Keumala yang menerima setiap opini Gilang sebagai sebuah informasi super penting.
"Sebenarnya hemat, loh, hitungannya kalau dibanding sama laundry biasa. Ambil aja kamu nyuci baju lima kilo sekali cuci-kering, jatuhnya jadi hanya empat ribu per kilo, 'kan?"
Benar, benar juga kata Gilang. Bahkan laundry di dekat rumah Keumala bersama Ibu harga per kilogram adalah enam ribu lima ratus rupiah. Itu sudah yang paling murah. Rata-rata di sekitar apartemen juga untuk laundry yang dikerjakan pegawai laundry cuci-kering-lipat tanpa setrika harganya tujuh ribu per kilogram, kalau dengan setrika delapan ribu, atau kalau cuci express juga delapan ribu per kilogram.
"Apa lagi kalau bawa detergen dan pewangi sendiri. Beli detergennya di grosir atau di toko online, pewanginya juga sama. Itu jatuhnya jadi lebih murah lagi daripada beli di sini," tutur Gilang memberitahu lagi.
"Kakak beli detergen dan pewangi di mana?" tanya Keumala.
"Detergennya aku beli di online, lima ribu mililiter harganya enam puluh lima ribu. Kalau sekali mencuci pakai delapan puluh mili, jatuhnya sekali mencuci cuma seribu rupiah, jadi lebih hemat seribu dibanding beli di sini."
"Kalau pewanginya lima belas ribu itu dapat satu liter setengah, jadi sekali cuci aku cuma keluar uang kira-kira delapan ratus rupiah. Lebih murah lagi dibanding beli di sini, sekali cuci harganya dua ribu."
Mendengar penjelasan-penjelasan itu, Keumala jadi mengerti perkataan Ibu. Mengatur pekerjaan domestik sama dengan mengatur keuangan. Kalau gaya hidup Keumala minimal dalam urusan cuci-mencuci bisa mengikuti gaya hidup Gilang, Keumala bisa menabung lebih banyak uang.
"Hemat, 'kan?" Gilang berkata dengan bangga sambil melirik Keumala. Keumala mengakui tanpa tapi, benar-benar hemat malahan.
"Aku minta link barangnya, dong, Kak!" pinta Keumala.
Gilang mengulas senyum, agak mencurigakan seakan dia baru menang lotre. Entah apa yang dipikirkannya, yang pasti Keumala tak menyadari itu.
"Gimana aku kirim link-nya? Nomor WA kamu aja aku gak punya," ujar Gilang, jarang sebenarnya dia basa-basi begini.
Keumala kemudian cepat-cepat membuka ponsel pintarnya. Ia kemudian memindai QRCode WhatsApp Gilang tanpa basa-basi ketika lelaki itu menyodorkan ponselnya.
"Kamu chat dulu, nanti aku kirim link-nya," kata Gilang yang dibalas anggukan oleh Keumala.
"By the way, Kak, kalau Kakak nyuci hari apa aja?" tanya Keumala, "aku mau nyamain jadwal." Tiada sungkan ia berkata, buka-bukaan kalau dia berharap bisa mencuci bersama Gilang lagi.
"Oh!" Gilang tak lantas menjawab. Ia membuka ponselnya dan memperlihatkan Google Calendar yang penuh dengan tanda warna-warni.
"Semuanya aku jadwal di sini ... dan jadwal aku nyuci baju itu ...."
Keumala melongo. Baru kali ini ia melihat orang super perfeksionis selain ibunya di dunia. Bahkan mungkin tingkat perfeksionis Gilang di atas sang ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lo[ve]undry
Aktuelle LiteraturKeumala Hayati, dan pengalaman pertamanya tinggal sendirian di Jakarta. Menjadi budak start-up tanpa uang lembur ternyata bukan masalah besar sebab permasalahan hidupnya ada yang jauh lebih besar yaitu mencuci baju sendiri. Terbiasa menjadi anak yan...