Keumala adalah orang yang mudah jatuh cinta, mudah menentukan kalau orang yang ia temui adalah jodohnya. Berpuluh lelaki sudah masuk ke daftar orang yang ia sukai dan kini bertambah satu gara-gara laundry.
Setelah kemarin Keumala tergila-gila pada sosok Mas Fajar, ketua divisinya yang memuji lipstick barunya, ada lelaki baru yang masuk ke daftar gara-gara mengajari Keumala untuk mencuci, melipat dan menyetrika. Katanya senyumnya manis, tingginya pas, aroma tubuhnya seperti pakaian yang baru dibuka dari plastik laundry, dia adala lelaki soft-spoken.
"Ganteng banget tahu!" Dalam teleponnya Keumala mencoba meyakinkan Denisa dan Maryam, kedua sahabat seperjuangannya sejak SMA.
"Terus dia, tuh, perhitungan banget. Orangnya perfeksionis, pokoknya keren, deh, asli!" Keumala melanjutkan lagi.
"Aku, tuh, lemah banget sama cowok soft-spoken!" Ini adalah intinya.
Keumala besar dengan penuh bentakan dari sang ayah. Ayahnya kasar bukan main. Sumpah-serapah adalah hadiah untuk Keumala bila nilainya tidak sempurna. Jadilah dia begitu, dikasih lelaki sopan sedikit meleleh hatinya, seakan menemukan oasis di padang tandus.
"Apalagi Kak Gilang serba bisa, dewasa banget pokoknya." Dasar Keumala yang kasmaran buta dia akan banyak hal yang mencurigakan dari Gilang.
"Mal aku cuma mau ngingetin aja, pemain violoncello yang kamu tonton konsernya sampai puluhan kali dan kamu kasih bunga, tuh, ternyata suami orang. Inget gak?" Setelah sekian lama mendengar Keumala si tukang bucin ugal-ugalan, Denisa buka suara.
Ya, ini kejadian beberapa bulan lalu. Sejak tahun lalu, Keumala getol menonton konser orkestra dari salah satu kelompok orkestra di Kota Bandung. Di mana pun mereka manggung, sudah pasti Keumala akan memesan tiket paling depan tepat di depan barisan para pemain violoncello karena satu alasan. Ya, dia menyukai salah satu pemain violoncello-nya.
Seorang lelaki berambut agak gondrong dengan kacamata besar menghiasi muka. Kalau boleh jujur, bagi Denisa lelaki itu tampak membosankan, tetapi bagi Keumala lelaki itu menakjubkan dan paling mencolok di antara pemain violoncello lainnya.
Karangan bunga demi karangan bunga Keumala berikan pada lelaki itu hingga Keumala mendapat tiket gratis konser solo sang pemain violoncello. Hal ini adalah awal dari malapetaka dan kehancuran hati Keumala dalam sesaat.
"Inget gak waktu kamu datang ke konser solo si mas-mas violoncello ternyata dia menghaturkan terima kasih pada istri dan anak tercinta?" tutur Denisa terus mencoba mengingatkan.
"Iya ... iya ... aku ingat, kok! Cuma, kali ini pasti beda, aku yakin Kak Gilang belum menikah soalnya dia gak pakai cincin," ujar Keumala penuh keyakinan pada setiap kata yang terucap demi mempertahankan opini awalnya pada Denisa yang terus ada di sisi kontra.
"Kamu yakin dia bukan agen asuransi, 'kan, Mal?" Kali ini Maryam yang buka suara. Si manusia paling tenang di antara dua temannya.
"Yakin banget! Soalnya udah beberapa kali ketemu bahkan aku dilihatin tabletnya bukan promo premi asuransi. Kayaknya, sih, arsitek atau desainer interior gitu, soalnya sekilas aku liat di hp-nya, tuh, ada semacam tulisan 'ketemu klien', 'monitoring proyek rumah Bapak siapa gitu', gitu!" Keumala yakin walau faktanya dia belum benar-benar tahu apa profesi Gilang.
"Malah Kak Gilang nawarinnya pengharum sama detergen buat nge-laundry-"
"Berarti sales detergen itu!" Denisa menyela Keumala.
"Affiliator kali?" Maryam ikut nimbrung. Kini Denisa dan Maryam terkikik geli karena berhasil menggoda Keumala.
"Ih, kalian mah!" Keumala merengek kesal yang dibalas tawa terbahak oleh Maryam dan Denisa.
"Eh!" Ketika melihat jam, Keumala mengingat sesuatu.
Minggu pagi. Sekarang waktu menunjukkan pukul 9:23 WIB. Keumala baru mengingat janjinya dengan Gilang untuk belajar menyetrika hari ini.
"Girls, aku ada janji sama Kak Gilang, ini udah telat, bye!" Tanpa menunggu jawaban teman-temannya, Keumala memutus panggilan grup mereka.
Keumala buru-buru mengambil tas laundry-nya, lalu bergegas ke unit apartemen Gilang. Mereka ada di tower yang sama, yang membedakan hanya lantai. Keumala berada di lantai yang lebih tinggi daripada Gilang.
Unit 517. Pukul 9:31 WIB. Keumala memamerkan senyum canggung dengan rasa bersalah yang membuncah ketika Gilang membukakan pintu untuknya.
"Lain kali jangan telat, ya?" Gilang memberikan peringatan dengan nada yang lembut dan sopan.
"Iya, Kak. Maaf, ya ...." Keumala berujar yang disambut senyum tipis oleh Gilang.
Gilang mempersilakan Keumala masuk ke unitnya. Sesaat setelah masuk, Keumala dibuat takjub bukan main. Segala-galanya rapi dan bersih, tiada cela untuk debu dan kotoran sedikit pun. Di tengah ruangan sudah ada meja setrika lesehan lengkap dengan setrika dan pelicinnya.
"Wow!" Keumala tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya.
Kamar laki-laki. Ini bukan kali pertama Keumala masuk ke kamar laki-laki. Teman kuliahnya kebanyakan laki-laki dan mereka sering mengerjakan tugas kelompok bersama di salah satu kamar kos temannya itu.
Aroma kamar laki-laki itu khas, seperti bau keringat yang bercampur dengan cologne dan asap rokok. Belum penataannya juga serba gelap dengan tambahan lelampuan di beberapa sudut yang tetap saja remang-remang. Namun, unit apartemen Gilang berbeda, tak seperti kamar anak lelaki yang Keumala tahu.
Mulai dari aroma. Kamar Gilang aromanya wangi, seperti abu kekayuan yang manis dipadu bebungaan kering khas pewangi dari toko perabot asal Swedia. Segar, menenangkan, dengan sirkulasi udara dari pintu balkon dan jendela-jendela yang dibuka lebar. Kipas angin tanpa baling ada di pojok ruangan, menambah hawa sejuk ruangan ini.
Penerangannya pagi ini memanfaatkan sinar mentari yang jor-joran di Jakarta ini. Terang benderang ruangan. Tirai-tirai yang menghias warnanya muda, dilipat rapi tak sedikit pun menghalangi cahaya dari luar sama sekali.
Perabotan tertata rapi. Kesannya minimalis dengan barang-barang yang tidak banyak. Hanya ada meja kerja kecil di sudut ruangan. Kasur yang diberi alas kayu hanya setinggi sepuluh sentimeter dengan ukuran pas hanya untuk satu orang.
Menakjubkan. Ternyata ada laki-laki yang sempurna seperti Gilang.
Keumala mengedar pandang, mencari clue tentang hubungan romantis Gilang yang mungkin saja sedang terlaksana. Tiada foto berdua dengan gadis. Tak ada aroma perempuan, tak ada pesan-pesan yang suka perempuan berikan tertempel di dinding dekat meja belajar.
"Ayo, mulai belajarnya," ajak Gilang pada Keumala yang masih melongo takjub di pintu masuk.
Keumala patuh, dia kemudian melangkah masuk ke ruang yang menakjubkan itu. Duduk bersila di depan meja setrika dan siap menerima pembelajaran.
"Bagian kerahnya ada di sebelah kiri ya. Yang pertama di setrika bagian depannya dulu. Baru bagian belakang. Lalu lipat kayak yang aku ajarkan kemarin malam. Setiap melipat, digosok searah lipatan, ya!" Gilang menjelaskan dengan seksama.
"Kayak gini," ujar Gilang sambil memberi contoh.
Fokus! Fokus! Keumala terus meneriakannya di dalam hati sebab dia ingin terus melirik pada Gilang yang duduk di sebelahnya.
"Sekarang giliran kamu. Diulang-ulang terus pasti bisa," ujar Gilang sambil memberikan setrika pada Keumala dengan senyum yang meyakinkan.
Keumala menerima setrika itu dan mulai menyetrika bajunya. Perlahan dengan penuh kehati-hatian. Satu per satu dengan telaten.
"Itu ternyata kamu bisa," puji Gilang sambil mengacak rambut Keumala.
"Aku pernah liat ART-ku menyetrika, sih, tapi ini pertama kali aku menyetrika sendiri," tutur Keumala.
"Omong-omong, Kakak jago banget ngurusin urusan rumah tangga begini. Kenapa bisa gitu, Kak?" Keumala bertanya.
"Oh, karena aku gak punya ibu," jawab Gilang santai sambil menjatuhkan diri ke atas kasur.
Sementara itu, Keumala tercekat tak bisa berkata-kata. Merasa bersalah, tetapi penasaran kenapa Gilang bisa sesantai itu mengatakannya.
"Kalau kamu penasaran, ibuku kabur waktu aku kecil."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lo[ve]undry
Fiksi UmumKeumala Hayati, dan pengalaman pertamanya tinggal sendirian di Jakarta. Menjadi budak start-up tanpa uang lembur ternyata bukan masalah besar sebab permasalahan hidupnya ada yang jauh lebih besar yaitu mencuci baju sendiri. Terbiasa menjadi anak yan...