Malam ini Gilang mencuci sendiri. Sepi, tiada ocehan dari si gadis tukang merengek yang dikenalnya sebulan terakhir. Lewat pesan singkat gadis itu bilang bahwa ia mencuci sore tadi karena malam ini harus menyiapkan arena peperangan sebelum besok pagi.
Dramatis sekali memang Keumala itu. Arena peperangan itu adalah unit apartemennya. Lawan perangnya adalah ibunya. Demi mempertahankan karirnya yang ideal, dia harus menghadapi sang ibu yang menantangnya untuk beres-beres unit apartemen sendiri.
Gilang tertawa kecil mengingat Keumala. Sumpah, Keumala itu dramatis sekali. Menata dan membersihkan apartemen yang cuma sepetak saja seperti dapat tantangan melatih Manchester United untuk menang liga Inggris. Seharusnya jadi hal yang mudah, tetapi gadis itu tak terbiasa maka sulit baginya.
Elok, rupawan, tetapi tidak bisa melakukan pekerjaan domestik. Buat apa? Itu kiranya kata ibu-ibu yang punya anak lelaki kalau anak lelakinya didekati Keumala. Namun, melihat Keumala yang punya pekerjaan tetap, mudah baginya juga untuk mendapat pekerjaan di sana-sini karena prestasi dan almamaternya, Gilang mendapat sebuah ide.
Kalau jadi bapak rumah tangga saja, gimana? Pikirnya dalam hati dengan pose menopang dagu menggunakan tangan dan mengangguk-angguk serius.
Tidak. Tidak. Untuk meraih gelar sarjana dari program studi arsitektur ITB saja dia sudah setengah mati. Ditambah sekolah profesi yang membuatnya hampir gila. Dilanjut dengan sertifikasi profesi oleh organisasi keprofesian arsitek. Mengerjakan ribuan proyek sebagai drafter, lalu mengambil program magister di ITB lagi. Jalannya menuju karirnya kini sebagai arsitek itu jatuh-bangun, sayang gelar kalau Gilang berakhir hanya menjadi bapak rumah tangga.
Gilang tertawa sendiri. Lagi pula, memangnya Keumala mau menafkahinya. Jauh sebelum itu, memangnya Gilang yakin akan menikah dengan Keumala.
"Kak Gilang!" Seruan namanya membuat Gilang menoleh ke pintu masuk. Ia mendapati Keumala, gadis yang ada dipikirannya sesaat lalu, menjadi nyata berdiri di sana dalam balut piama merah muda yang menggemaskan.
"Makan, yuk!" ajak Keumala tanpa basa-basi sambil melangkah ke arah Gilang lalu menarik tangan pemuda itu.
Dasar software engineer, urusannya ada pada keyboard dan touchpad, tak pernah melakukan pekerjaan kasar hingga jemarinya yang lentik dan ramping terasa begitu lembut ketika menarik tangan Gilang. Ada sensasi yang tak bisa dijelaskan ketika mereka bersentuhan, tetapi Gilang bisa menyembunyikan segalanya di balik wajah yang ramah itu.
"Makan, yuk! Makan! Makan!" oceh Keumala sambil menggelayut di tangan Gilang.
"Mau makan di mana?" tanya Gilang.
"Pecel lele," kata Keumala menjawab sambil menunjuk ke arah kedai pecel lele yang ada di sana.
"Kakak udah makan belum?" tanya Keumala kali ini ketika mereka sudah duduk di salah satu meja tenda pecel lele yang remang itu.
"Udah. Kamu aja makan, aku temani," balas Gilang yang membuat Keumala senang.
Setelah memesan makanannya, Keumala kembali ke meja, duduk berhadapan dengan Gilang. Wajahnya ditopang kedua tangan, mengamati Gilang yang ada di seberang meja.
"Gimana beres-beresnya?" tanya Gilang sambil tersenyum seperti biasa.
"Aman ... sudah beres semua ditata, aku juga sudah menyapu, mengepel, mengganti sprei, pokoknya semua aman," ujar Keumala tersenyum lebar sambil memperlihatkan foto di ponsel pintarnya pada Gilang.
Foto itu memperlihatkan sudut-sudut unit apartemen milik Keumala. Bersih-bersih yang belum sempurna kalau menurut Gilang, tetapi ini sudah lebih baik kalau hitungannya Keumala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lo[ve]undry
General FictionKeumala Hayati, dan pengalaman pertamanya tinggal sendirian di Jakarta. Menjadi budak start-up tanpa uang lembur ternyata bukan masalah besar sebab permasalahan hidupnya ada yang jauh lebih besar yaitu mencuci baju sendiri. Terbiasa menjadi anak yan...