Chapter 10: The Day is Coming Too Soon

9 3 1
                                    

Rangkayo Renggogeni saat muda, cantiknya luar biasa. Wajah jelita dengan rambut ikal kecokelatan, tubuh molek dipadu baju-baju yang modis, serasi dengan kulit langsatnya yang mulus.

Selain cantik, dia ini cerdas. Apik dalam mengurus data, telaten untuk urusan administrasi. Orang-orang tak kaget ketika ia memilih jadi notaris, memang seharusnya begitu.

Bapak-ibunya berbangga hati, walau kakak-kakaknya pun berprestasi, tapi Rangkayo sebagai anak bungsu selalu dipandang istimewa. Gelontoran uang dari orang tuanya masuk ke rekeningnya, apalagi ketika dia dipinang oleh pemuda tampan yang bekerja sebagai jaksa.

Bagi ibu mertuanya, dia adalah aset penting untuk memperlancar hidup sebagai sosialita. Menantu cantik, berpenghasilan tinggi, yang bisa didandani sesuka hati seperti boneka Barbie. Kalau ada acara keluarga, Rangkayo yang akan berdiri di depan pintu menyambut tamu bersama ibu.

Semua urusan tentang bersih-bersih bukan untuknya. Itu untuk mereka yang tak bisa merawat rupa, dan tak punya uang untuk menjadi donatur. Kedua kriteria yang tak ada dalam diri Rangkayo.

Dari awal menikah, punya anak, hingga kini Rangkayo sudah memasuki setengah abad masa hidupnya, asisten rumah tangga selalu menyertai. Kesimpulannya, Rangkayo tak ada bedanya dengan putri semata wayangnya, Keumala Hayati.

Entah bagaimana Keumala tak minta diajari untuk mengurus rumah ketika tantangan dilayangkan. Gadis itu seketika panik dan entah apa yang dilakukannya setelah itu. Padahal, kalau Keumala menantang balik Rangkayo untuk membersihkan dan menata rumah, dia juga tak bisa.

Hari ini niat hatinya datang baik-baik untuk menengok Keumala. Dia bawa pula asisten rumah tangganya, Bi Amel, jikalau memang kamar Keumala masih berantakan seperti sebelumnya ada Bi Amel yang akan membereskan semuanya.

Perjanjian harus dibatalkan. Kemarin dia khilaf, lupa diri kalau sendirinya juga tak beda jauh daripada Keumala kecuali bisa masak makanan enak saja. Seharusnya dia memberi Keumala kesempatan untuk mandiri.

Pelajaran Keumala untuk jadi mandiri harus tetap berlanjut, hanya perjanjiannya untuk resign dan kembali ke Bandung coret alias Cimahi saja yang dibatalkan. Jadi, niat hatinya dia akan menghadiahkan beberapa barang kebersihan dan kebutuhan kerapihan untuk Keumala.

Siapa sangka Keumala sedang belanja hal yang sama. Seperti seorang yang sudah berpengalaman kalau dilihat dari pilihan barangnya, bahkan Keumala melakukannya sendirian.

Beginilah mereka sekarang. Duduk bersebelahan di dalam mobil tanpa bicara. Sama-sama menyembunyikan rahasia, gelisah tentang perjanjian yang ditandatangani tiga minggu yang lalu.

Keumala diam, takut keceplosan. Ibu dan Ayah walau terlihat serasi nyatanya tak pernah akrab dan beberapa kali mengajukan cerai. Membuat Ibu teguh tak akan minta tolong pada lelaki. Sementara, hari ini Keumala dibantu pemuda baik hati yang berpotensi membuat Ibu murka karena prinsipnya itu.

Keumala gelisah. Pekerjaannya sekarang adalah karir yang ia idam-idamkan sejak kecil. Menjadi ahli komputer dan membuat sesuatu untuk kemaslahatan umat manusia. Jatuh-bangun dia menggapai mimpinya ini, tak rela kalau harus kehilangan hanya karena ia tak bisa mengerjakan tugas domestik.

Pintu apartemen dibuka. Kapal pecah yang terpampang nyata di depan mata. Keumala menghela napas pasrah dan mengucapkan selamat tinggal pada mimpinya dalam hati. Ibu menghela napas panjang, sedikit kecewa melihat Keumala tak ada kemajuan, tetapi dia memahami bahwa dirinya pun yang jadi sumber mengapa Keumala tak bisa melakukannya.

Mengerjakan tugas domestik itu pelajarannya seumur hidup. Kakak sulung Ibu pernah berkata seperti itu waktu menegur Ibu yang ogah-ogahan mengerjakan tugas domestik waktu dia masih muda. Sekarang, Ibu mengamini kata-kata mendiang kakaknya itu.

Lo[ve]undryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang