Pagi itu, udara musim gugur di Beijing terasa sejuk. Langit masih redup saat Zhou Shiyu membuka matanya, memutuskan untuk bangun lebih awal dari biasanya. Tidak jauh dari apartemennya, ada sebuah taman kecil yang mengelilingi danau buatan, tempat yang selalu ia kunjungi saat ingin melepas penat.
Meski waktu-waktu belakangan penuh dengan sorotan media dan tekanan dari publik, kini kejaran wartawan sudah mulai mereda. Pesan-pesan kebencian juga tidak lagi mengalir deras ke akun miliknya, kecuali dari mereka yang memang membenci Zhou Shiyu sejak awal.
Perasaan itu memberi Zhou Shiyu sedikit kebebasan, membantunya merasakan hidup yang lebih tenang dari sebelumnya. Dengan sepedanya, ia berangkat menuju taman yang tidak begitu jauh.
Daun-daun kuning dan merah berjatuhan di sepanjang jalan setapak, membentuk karpet alami yang indah. Udara pagi menggelitik wajahnya saat ia mengayuh pelan, melewati pepohonan dengan dahan yang mulai meranggas.
Taman itu sepi, hanya ada beberapa pengunjung yang juga memilih menikmati ketenangan pagi. Suara kicauan burung yang baru bangun dari tidurnya dan gemerisik daun yang tertiup angin menambah suasana damai di sekitar danau.
Setelah mengelilingi danau buatan sebanyak lima kali, Zhou Shiyu merasakan lelah yang menyenangkan. Dunia mulai terang, matahari muncul dari balik gedung-gedung di kejauhan, memancarkan sinar lembut yang menyentuh permukaan air.
Ia memutuskan untuk memarkirkan sepedanya di tepi danau dan duduk di sebuah bangku kayu yang menghadap ke air. Matanya terpaku pada danau yang tenang, permukaannya memantulkan warna oranye dan emas dari langit pagi.
Sekelilingnya dipenuhi pepohonan yang daunnya sudah berwarna merah tua dan kuning kecoklatan, sebagian besar telah berguguran, menghiasi tepi danau dengan lapisan warna-warni khas musim gugur.
Dalam ketenangan itu, pikirannya melayang jauh, teringat kenangan masa lalu yang membekas dalam ingatannya. Saat ia berusia 16 tahun, setahun setelah ayahnya meninggal, ibunya pernah bercerita tentang kisah rumit mereka.
Ibunya menceritakan bahwa ia dan pria yang kelak menjadi ayah Zhou Shiyu sudah saling mengenal sejak bangku sekolah. Ayahnya, Su Wei, adalah pria yang cerdas dan bersemangat.
Mereka berdua berasal dari keluarga yang tidak mampu, baik Zhou LiHua maupun Su Wei. Tapi Su Wei selalu punya impian besar. Sejak mereka lulus, Su Wei telah melamar LiHua, berjanji bahwa ia akan kuliah di jurusan bisnis dengan beasiswa dan membangun masa depan yang cerah bersama LiHua.
“Setelah aku sukses, kita akan menikah dan membangun keluarga yang akan membuat para malaikat iri” LiHua membeberkan kalimat manis yang dilontarkan oleh Su Wei.
LiHua, yang sejak awal memercayai kecerdasan dan ambisi Su Wei yakin bahwa masa depan pria itu akan berkilau. Benar saja, Su Wei lulus kuliah dengan nilai memuaskan dan langsung diterima bekerja di sebuah perusahaan besar di Beijing.
Dalam dua tahun, ia menunjukkan prestasi yang luar biasa dan segera diangkat menjadi manajer. Meski harus menetap di Beijing untuk bekerja, Su Wei selalu meluangkan waktu untuk pulang ke Zhenjiang setiap akhir pekan.
Baginya, perjalanan panjang itu tidak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan yang ia rasakan setiap kali bisa bertemu dengan LiHua. Pada suatu akhir pekan, Su Wei mengunjungi LiHua seperti biasa, tapi kali ini ia membawa sesuatu yang istimewa.
Di sebuah sudut kedai hotpot milik keluarga LiHua, ia melamar wanita itu secara resmi. Ia bahkan menemui nenek Zhou Shiyu untuk menunjukkan kesungguhannya. LiHua mengangguk menerima lamaran itu, hatinya dipenuhi harapan.
Mereka berdua merencanakan pernikahan di tahun depan, saat tabungan Su Wei sudah cukup untuk membeli rumah sederhana. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama bagi Su Wei.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harmony in the Universe: The Journey of Wang Yi and Zhou Shiyu
FanfictionZhou Shiyu, seorang gadis kelahiran 11 April 1998 yang tengah dilanda depresi berat. Ia sudah berbulan-bulan mengurung dirinya di kamar, menghindari interaksi dengan siapapun. Selama masa-masa terburuknya itu, ia menghabiskan waktu dengan menonton f...