01. Identitas Baru

1K 101 6
                                    

Winter keluar dari ruang rapat sekolah dengan langkah berat. Di tangannya, ia menggenggam sebuah surat pemberitahuan yang baru saja ia terima dari kepala sekolah. Surat yang berisi keputusan pahit: Tim baseball putri akan dibubarkan.

Matanya masih terpaku pada tulisan-tulisan formal di atas kertas itu, seakan berharap kata-kata itu akan berubah jika ia membacanya berkali-kali. Tapi tidak ada yang berubah. Kalimat-kalimat tegas itu tetap ada, seolah memukul harapannya berkali-kali tanpa ampun.

Sudah setahun Winter mengabdikan diri untuk tim baseball putri sekolahnya. Ia dan teman-temannya melatih diri dengan keras—bahkan sering datang lebih awal sebelum matahari terbit dan pulang ketika langit sudah gelap. Mereka semua punya impian yang sama: membawa nama sekolah ke kejuaraan nasional.

"Kok bisa dibubarin gitu aja?" Winter bergumam, suaranya yang lirih hampir tak terdengar.

Di dalam hatinya, amarah dan kecewa bercampur menjadi satu. Ia tahu, tidak semua orang di sekolah mendukung tim baseball putri seperti mereka mendukung tim putra. Tapi ia tidak menyangka bahwa impian mereka bisa dihancurkan begitu saja tanpa peringatan.

Di lapangan baseball, para anggota tim sudah berkumpul dengan wajah cemas. Winter berdiri di tengah-tengah mereka, mencoba mengendalikan emosinya. Ia tahu, sebagai kapten, ia harus kuat di depan mereka. Tapi tatapan mata teman-temannya membuat dadanya semakin sesak.

"Jadi... ini bener, ya, Win?" tanya Nagyung, yang selalu menjadi pelempar andalan tim.

Winter mengangguk perlahan, tidak sanggup menatap mata Nagyung yang mulai berkaca-kaca.

"Apa alasan mereka? Kita udah latihan keras, bahkan nunda banyak kegiatan lain buat tim ini," sahut Soyeon dengan nada getir. Soyeon selalu menjadi pemain yang paling bersemangat, tidak pernah absen sekalipun dari latihan.

Winter menarik napas dalam.

"Kata mereka, dana sponsor sekolah terbatas. Mereka memilih fokus di tim putra karena mereka pikir punya peluang lebih besar," jawabnya pelan, sambil berusaha menahan amarahnya sendiri.

Keheningan menyelimuti mereka, hanya terdengar suara angin yang menggesek pepohonan di pinggir lapangan. Mereka semua tahu betapa tidak adilnya keputusan ini. Mereka punya mimpi, punya semangat, tapi dunia seperti tidak memberi mereka kesempatan.












**












Rintik hujan mulai turun, membuat jendela kaca di ruang tamu dipenuhi tetesan kecil yang mengalir perlahan.

Di sofa ruang tamu, Winter duduk sambil bermain ponsel. Ia sedang sibuk mencari informasi tentang Liga Baseball Nasional tingkah sekolah bulan depan.

Ayahnya, Pak Sehun Astawijaya, duduk di sebelahnya. Wajahnya terlihat serius, tapi penuh dengan kasih sayang. Sudah beberapa hari ia mencari waktu yang tepat untuk bicara dengan putrinya. Akhirnya, hari ini tiba—hari ketika ia harus menyampaikan kabar yang akan mengubah banyak hal.

"Winter," panggil Pak Sehun dengan nada lembut, berusaha mencari perhatian putrinya.

Winter menoleh, tersenyum kecil. "Ada apa, Yah?"

Pak Sehun menarik napas dalam. "Kamu tahu kan, kerjaan Ayah sebagai Pegawai Negeri Sipil sering buat kita harus siap dengan perubahan?"

Winter mengangguk pelan. Memang sudah biasa baginya mendengar cerita tentang ayahnya yang harus bepergian jauh untuk pekerjaannya. Namun, kali ini nadanya berbeda, lebih serius.

"Ayah barusan nerima kabar kalau Ayah harus pindah tugas ke kota lain. Ini bukan hanya untuk beberapa minggu atau bulan seperti biasanya, tapi dalam jangka waktu yang lama," lanjut Pak Sehun.

She Not BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang