Pulang sekolah, langit sore berubah warna, menyelimuti kota dengan rona jingga yang perlahan tertutup awan hitam. Winter sedang membereskan barang-barangnya di loker ketika Namtan datang menghampirinya.
"Winter," panggil Namtan agak berbisik dengan nada tegas namun tidak agresif.
Winter menoleh, sedikit terkejut. "Ya? Ada apa?"
"Ayo, ikut gue," jawab Namtan singkat.
"Kemana?"
"Caffe dekat sekolah. Kita perlu ngobrol," jelas Namtan tanpa memberikan ruang untuk penolakan.
Winter menghela napas pelan. Ia tahu bahwa obrolan ini tidak bisa dihindari. "Oke," jawabnya akhirnya.
Mereka lalu berjalan keluar sekolah bersama, melewati gerbang yang mulai sepi karena sebagian besar murid sudah pulang. Namtan tidak banyak bicara di perjalanan, hanya melangkah dengan ritme yang tenang. Winter bisa merasakan ada banyak hal yang ingin Namtan katakan, tapi gadis itu menahannya sampai mereka tiba di tempat yang lebih privat.
Caffe yang mereka tuju tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung yang duduk di pojok, sibuk dengan laptop atau buku mereka. Namtan memilih meja di sudut ruangan, jauh dari keramaian, dan memesan dua minuman dingin sebelum akhirnya duduk berhadapan dengan Winter.
"Jadi..." Namtan membuka pembicaraan setelah pelayan pergi, menatap Winter dengan sorot mata tajam yang sulit diartikan. "Kenapa lo nggak bilang apa-apa ke gue waktu lo pindah?"
Winter menggigit bibirnya, merasa bersalah. "Gue tahu lo bakal tanya itu," katanya pelan.
"Dan?" desak Namtan, menyilangkan tangan di dadanya.
Winter menghela napas panjang, mencoba menyusun kata-kata. "Waktu itu lo lagi sibuk banget sama klub teater lo. Lo lagi persiapan buat pentas besar, kan? Gue nggak mau ganggu lo dengan masalah gue."
"Tapi gue sahabat lo, Winter," jawab Namtan, suaranya sedikit melembut. "Apa pun yang terjadi, gue tetap mau tahu kabar lo. Gue bisa ngelakuin dua hal sekaligus, lo tahu itu."
Winter menunduk, merasa semakin bersalah. "Gue tahu. Tapi saat itu... semuanya terjadi begitu cepat. Gue harus pindah sekolah karena situasi keluarga gue, dan gue nggak punya cukup waktu buat ngomong ke siapa-siapa. Gue minta maaf."
Namtan menghela napas, tapi kali ini ada senyuman kecil di wajahnya. "Ya udah. Gue maafin. Tapi jangan pernah lakuin itu lagi, ya. Kalau ada apa-apa, lo harus bilang ke gue. Deal?"
Winter mengangguk sambil tersenyum kecil. "Deal."
Minuman mereka datang, dan keduanya menikmati beberapa teguk sebelum Namtan melanjutkan.
"Ngomong-ngomong, gue tadi lihat lo sama cewek itu... pacar lo?" Namtan memiringkan kepala, matanya memancarkan rasa ingin tahu.
Winter terkejut sejenak, tapi ia tahu tidak ada gunanya berbohong pada Namtan. "Dia, Karina. Kapten tim cheerleader di sekolah kita."
"Lo suka sama dia?" tanya Namtan langsung, tanpa basa-basi.
Winter terdiam, lalu akhirnya mengangguk pelan. "Iya. Gue suka sama dia."
Namtan memandang Winter dengan penuh perhatian, lalu bertanya, "Lo yakin sama perasaan lo? Maksud gue... ini bukan sesuatu yang gampang. Lo tahu itu, kan?"
Winter mengangguk lagi, kali ini dengan lebih tegas. "Gue tahu. Dan gue yakin."
Namtan mengaduk minumannya perlahan, lalu berkata, "Terus... gimana lo bisa sampai di titik ini? Gue nggak inget lo pernah cerita soal suka sama cewek waktu kita di sekolah lama."
KAMU SEDANG MEMBACA
She Not Boy
FanfictionWinter Astawijaya, seorang gadis remaja yang berbakat dalam olahraga baseball, mendapati mimpinya terancam saat tim baseball perempuan di sekolah lamanya dibubarkan. Ketika pindah ke kota lain, Winter melihat kesempatan untuk kembali ke lapangan, m...