Cahaya matahari pagi yang masuk melalui celah tirai kamar perlahan membangunkan Winter dari tidurnya. Ia membuka matanya dengan malas, tubuhnya masih terasa berat setelah semalam harus menginap di rumah Karina.
Namun, ia tidak bisa menahan senyum kecil saat mengingat bagaimana Karina memohon agar ia tetap tinggal.
Tiba-tiba, suara ketukan lembut dari luar pintu kamar membuat Winter langsung duduk tegak di tempat tidur.
"Minjeong, kamu udah bangun?" terdengar suara Karina dari luar.
Winter mengusap wajahnya cepat, berusaha mengusir sisa kantuk. "Iya, udah. Ada apa?"
Pintu terbuka sedikit, dan Karina muncul dengan senyum cerah sambil membawa setumpuk pakaian. "Aku bawain baju ganti buat kamu. Ini punya ayahku, soalnya aku pikir kamu nggak bawa baju ganti."
Winter menatap pakaian itu dengan mata membesar. "Punya... ayah kamu?" ulangnya, sedikit canggung.
Karina mengangguk santai. "Iya, tenang aja, ukurannya nggak jauh beda sama kamu. Aku yakin muat," ujarnya sambil meletakkan pakaian itu di atas meja kecil di dekat tempat tidur.
"Thanks," gumam Winter sambil memaksakan senyum. Ia merasa ada sesuatu yang aneh di dadanya, tetapi ia tidak tahu bagaimana mengungkapkannya.
"Pakai aja, ya. Kalau mau mandi, kamu bisa pake kamar mandi di dalem kamar ini," kata Karina sebelum pergi, meninggalkan Winter sendirian lagi di kamar.
Winter menatap tumpukan pakaian itu dengan ragu. Kemeja lengan panjang, celana pendek, dan... sebuah boxer. Matanya berhenti di boxer itu lebih lama dari yang seharusnya.
'Gue beneran harus pakai ini?' pikirnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tapi ia tidak punya pilihan. Dengan pasrah, ia mengambil tumpukan pakaian itu dan berjalan ke kamar mandi.
Setelah mandi dan membersihkan diri, Winter berdiri di depan cermin, mengenakan handuk yang melilit tubuhnya. Pandangannya kembali jatuh ke boxer itu. Ia memegangnya dengan hati-hati, seolah-olah itu adalah benda yang sangat asing baginya.
"Ya ampun, ini benar-benar gila," gumamnya, menghela napas panjang. Dengan ragu, ia mengenakan boxer itu, merasa canggung luar biasa.
Saat berdiri lagi di depan cermin, ia menatap bayangannya sendiri. Dengan kemeja longgar dan celana panjang yang sedikit kebesaran menutup kain yang melilit bagian dadanya, ia merasa benar-benar seperti laki-laki sungguhan. Tapi matanya berhenti di boxer yang ia kenakan di balik celana.
'Ini kelewatan... gue bener-bener jadi cowok sekarang? Padahal gue cewek tulen!' pikirnya, menggigit bibir bawahnya dengan rasa tak nyaman.
Winter menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Tenang, Winter. Ini cuma pakaian. Nggak ada yang tahu lo cewek. Lagian, lo udah nyamar sejauh ini. Apa bedanya?"
Selesai berpakaian, Winter keluar dari kamar mandi dan kembali ke kamar tamu untuk merapikan barang-barangnya. Saat itu, suara Karina terdengar memanggil dari bawah.
"Minjeong, sarapan yuk! Cepetan turun!"
Winter menghela napas lagi, lalu tersenyum kecil. Hari ini pasti bakal panjang lagi.
Dengan langkah ringan, ia meninggalkan kamar, mencoba melupakan kecanggungannya dan bersiap menghadapi Karina di meja sarapan.
Winter turun ke lantai bawah dengan langkah perlahan, masih merasa sedikit canggung dengan pakaian yang ia kenakan. Namun, semua pikiran itu menguap begitu saja saat matanya menangkap sosok Karina di dapur.
Karina sedang berdiri di depan kompor, mengenakan apron berwarna pink yang sedikit kebesaran. Rambutnya yang panjang diikat ke belakang, membuat leher jenjangnya terlihat jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
She Not Boy
FanfictionWinter Astawijaya, seorang gadis remaja yang berbakat dalam olahraga baseball, mendapati mimpinya terancam saat tim baseball perempuan di sekolah lamanya dibubarkan. Ketika pindah ke kota lain, Winter melihat kesempatan untuk kembali ke lapangan, m...