07. Rasa Khawatir

407 67 2
                                    

Winter merasakan tenggorokannya kering, dan kata-kata seakan enggan keluar. Dengan cepat, ia mencoba merangkai alasan yang masuk akal.

"Oh, ini jadi..." ia tertawa kecil, gugup. "itu, Ningning... dia nitip. Katanya lagi malas keluar rumah, jadi gue sekalian beliin aja."

Mata Minju melembut, dan ia tersenyum tipis. "Oh, gitu. Baik banget, lo. Ningning pasti beruntung punya sahabat sebaik lo, Minjeong."

Winter tersenyum lega, meski hatinya masih berdegup kencang. "Ah, ya... cuma bantu teman," jawabnya pelan.

Berusaha menguasai kegugupannya, Winter memasukkan barang-barangnya ke dalam keranjang. Kejutan pertemuan dengan Minju membuatnya ingin cepat-cepat menyelesaikan belanjaannya. Namun, sebelum ia bisa melangkah menjauh, Minju membuka percakapan dengan senyum lebar.

"Ngomong-ngomong, Minjeong, kok bisa belanja disini? Biasanya kan jarang ketemu lo di minimarket ini," ujar Minju, nada suaranya penuh rasa ingin tahu. Winter menelan ludah, mencoba mempertahankan ekspresi tenang di wajahnya.

"Oh, gue emang belum lama pindah ke daerah sini,"

Minju terkekeh ringan, lalu menunjuk ke rak di belakangnya.

"Gue tinggal di sekitar sini juga, makanya sering belanja ke minimarket ini. Btw, rumah gue nggak jauh dari sini. Jadi kita tetanggaan, dong!" katanya sambil mengedipkan mata.

Winter terperangah sesaat, tak menyangka akan menemukan fakta bahwa Minju ternyata tinggal tak jauh dari rumahnya.

"Serius? Aku nggak nyangka! Rumah gue juga di kompleks sebelah sini,"

"Wah, berarti kalau begitu kita bisa sering ketemu di luar sekolah, ya?" Minju berkata sambil tersenyum lebar. Winter hanya bisa mengangguk sambil merasakan jantungnya berdegup lebih cepat.

Tanpa menunggu, Minju menyarankan, "Gimana kalau kita belanja bareng? Toh, kayanya kita punya cukup banyak waktu pagi ini."

Winter mengangguk setuju, dan keduanya mulai berjalan berdampingan, menjelajahi lorong minimarket sambil memilih barang-barang yang mereka butuhkan. Suasana yang semula canggung berubah menjadi lebih akrab.

Minju bercerita tentang kesibukannya di rumah dan hobinya memasak saat liburan, sementara Winter mendengarkan dengan seksama sambil tersenyum. Sejenak, ia merasa lega karena kebersamaan ini menghapus batas-batas kecanggungan yang biasanya ada di antara mereka.

Setelah selesai memilih barang-barang yang mereka butuhkan, Winter dan Minju berjalan bersama menuju kasir. Mereka berdua tertawa kecil sambil membicarakan hal-hal ringan seputar sekolah dan teman-teman mereka.

Sesaat kemudian, antrian bergerak maju, dan tiba giliran Minju untuk membayar. Minju menyerahkan keranjang belanjaan ke kasir, lalu merogoh tasnya untuk mengambil kartu ATM.

Dengan senyum yakin, ia menyerahkan kartu itu ke kasir, namun saat mesin pembayaran berbunyi tiga kali sebagai tanda bahwa transaksi gagal, ekspresi wajah Minju berubah. Ia mencoba lagi, namun hasilnya tetap sama. Sedikit panik, ia memeriksa isi dompetnya dan menyadari bahwa ia tidak membawa uang tunai.

"Hell... masa kartu ATM gue bermasalah," bisiknya dengan suara rendah, wajahnya sedikit memerah karena malu.

Winter yang berdiri di sebelahnya memerhatikan situasi itu dengan bingung. Ia ingin menawarkan bantuan, tetapi ragu untuk melakukannya. Sebelum Winter sempat berbicara, kasir menatap mereka dengan tatapan menunggu, membuat situasi semakin canggung.

"Jangan khawatir, biar gue yang bayar," kata Winter tiba-tiba, suaranya lembut namun tegas. Tanpa menunggu jawaban, ia segera menyerahkan kartunya ke kasir.

She Not BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang