Evans tak ingat apa-apa.
Ia tidak tahu kenapa ia bisa terikat di atas ranjang sialan ini atau mengapa ia hanya memakai kaus putih dan celana jins lusuh.
Hal yang terakhir ia ingat adalah bertarung dengan Marco di padang salju. Hal berikutnya yang ia ingat adalah terbangun di tempat gelap dan dingin ini tanpa pakaian yang layak.
Kedua tangan dan kakinya diikat dengan tali kulit di pergelangan, sangat ketat sampai-sampai tangannya membiru kekurangan darah.
Ruangan tempatnya berada sangat gelap, nyaris tidak ada cahaya yang meneranginya kecuali lampu meja yang berada beberapa meter di sebelah kiri. Kesunyian yang ada juga menambah kengerian yang ia alami. Seolah-olah terbangun di tempat gelap sendirian belum cukup mengerikan.
Evans mencoba membuka paksa tali yang menjerat tangannya, namun semakin keras ia melawan, semakin erat jeratan tali tersebut.
Ia tidak melihat benda apapun yang bisa ia jadikan alat untuk memotong tali itu, atau paling tidak melonggarkannya sedikit.
Udara di ruangan itu kotor, seperti percampuran antara daging busuk dan serbuk mesiu. Kombinasi itu tidak pernah berakhir dengan baik.
Ia menggerakkan tubuhnya ke kiri, ke arah lampu meja. Ranjang tempatnya terbaring perlahan demi perlahan bergeser, menimbulkan suara layaknya kucing sekarat setiap inci ranjang itu bergerak.
Begitu ia sudah cukup dekat dengan lampu itu, ia mendorongnya ke lantai dengan kepalanya. Cahaya dari lampu itu kini tertuju pada satu titik, sebuah pintu.
Sekarang ia masih harus memikirkan cara untuk lepas dari ranjang terkutuk ini. Jujur saja, tangannya mulai mati rasa.
"Selamat datang," sambut sebuah suara.
Evans tidak tahu mengapa tapi suara itu membuatnya merinding sejadi-jadinya. Suara itu lembut dan menenangkan, namun itulah yang mengerikan.
"Aku Lisa," sambung suara itu.
Suara barusan terdengar sangat dekat, seperti berasal dari dalam ruangan yang sama dengan Evans. Namun dengan jarak pandang yang sangat terbatas, ia tidak bisa melihat apapun kecuali kegelapan yang hitam pekat.
"Siapa namamu?"
Evans mulai merasakan sesuatu menyentuh kakinya, mencengkramnya dengan mantap dan kuat. Saking kuatnya sampai-sampai ia merasa kakinya akan ditarik hingga putus.
"Kenapa kau tidak menjawab?"
Sensasi ditarik itu naik dengan cepat, merambat ke atas perutnya, ia merasa seolah-olah sesuatu sedang merobek perutnya. Rasa sakit yang ia rasakan begitu nyata, ia nyaris pingsan karenanya.
"Lisa, sayang. Hentikan."
Suara kedua datang menyahut suara perempuan yang pertama, suara bernada rendah yang terdengar tegas dan lembut pada saat bersamaan.
Bersamaan dengan suara itu, rasa sakit yang dirasakan Evans sejak tadi kini hilang tak berbekas. Begitu juga dengan tali kulit yang mengekang tangan dan kakinya, hilang.
Kini Evans dapat bergerak bebas, namun kegelapan masih menjadi sebuah masalah. Ia harus bisa melihat, itu kunci pertama jika ia ingin tahu apa yang ada di ruangan ini.
Ia mencoba mengambil lampu meja, namun entah mengapa lampu itu tidak bisa ia angkat dari tempatnya menempel. Seolah-olah lampu itu hanyalah sebuah dekorasi semata.
Mengikuti instingnya yang biasanya jitu dan tepat sasaran, Evans melangkah menyusuri ruangan gelap itu. Lantai ruangan tersebut sepertinya ditutupi dengan benda lunak dan berair yang mengeluarkan bunyi menggelikan setiap kali ia mengi jaknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Inside [ON REVISION/REWRITE]
Mystery / ThrillerSemua orang yang bernafas di muka bumi ini mengenakan topeng dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Topeng yang digunakannya untuk menutupi kegelapan yang bersarang di dalam hatinya. Sampai kapan kau bisa menyembunyikan 'dirimu' dari dunia? Seber...