[Lucile]
Gelap.
Aku membatin. Gelap gulita, aku bahkan tidak tahu apakah mataku yang tertutup atau tempat ini yang terlalu gelap.
Tanganku mulai mati rasa, begitu juga dengan kakiku. Nampaknya aku diikat pada sebuah kursi atau semacamnya.
Satu pertanyaan melintas di benakku. Siapa?
Siapa yang menahanku disini? Terlebih lagi, apa salahku sehingga aku ditangkap?
KRIEEKK
Suara engsel pintu disusul dengan langkah kaki seseorang yang sepertinya menggunakan sepatu boot terdengar berjalan mendekatiku.
Aroma kayu manis tercium semakin kuat setiap kali langkah kaki itu mendekat, menenangkan... namun pada saat yang bersamaan membuatku merinding.
Jari-jemari orang itu mengelus pundakku, meraba leherku perlahan demi perlahan. Menyusuri setiap incinya dengan telaten, membuatku tertawa kegelian.
"Siapa kau?" Tanyaku lembut. Sepertinya... dia orang baik baik.
Tidak ada jawaban, membuatku sedikit kecewa bercampur kesal. Namun orang itu terus meraba leherku dengan halus, sesekali menghembuskan nafasnya yang berbau mint ke telingaku.
"Hentikan..." perintahku. "Aku mulai merasa tidak nyaman."
Sentuhan di tubuhku berhenti saat itu juga. Disusul dengan sebuah tawa yang sangat mengerikan, tawa yang menimbulkan mimpi buruk bagi siapapun yang mendengarnya.
"Kau tahu, Lucile?"
Sekujur tubuhku merinding mendengar suara itu. Suara yang sudah sangat familiar bagiku, suara seorang pria yang harusnya tidak pernah kutolong.
"Kadang aku tidak mengerti jalan pikiranmu." Tawa Marco menggema, meninggalkan kesan mengerikan di benakku.
Aku mulai berteriak ngeri, tanganku mulai kugerakkan sekuat tenaga untuk melepas ikatan itu. Aku tahu benar apa yang akan dilakukannya padaku.
"Sshhh..." Marco meletakkan jarinya di bibirku, menahannya agar tidak menimbulkan kegaduhan. "Jangan terlalu berisik."
Jantungku berdebar kencang, sangat kencang, terlalu kencang sampai kukira pembuluh nadiku akan putus.
"LEPASKAN AKU!" Jeritku ketakutan, meskipun aku tidak dapat melihat apa yang sedang dilakukan Marco, kengeriannya tetap berasa. Dua kali lipat malah.
Suara dentingan besi menggema di ruangan. "Aku punya beberapa pertanyaan untukmu, Lucile sayang."
Aku dapat merasakan mata pisau itu menyentuh pipi kiriku, cukup kuat untuk meninggalkan bekas, namun tidak cukup kuat untuk merobek wajahku.
"P-pertanyaan?" Tanyaku. Keringat mulai membasahi sekujur tubuhku, bersamaan dengan kakiku yang mulai terasa lemas.
Ditekannya pisau itu sedikit demi sedikit, cairan hangat mengalir di pipiku. "Seperti..."
Dengan satu ayunan cepat, seluruh wajah kiriku mati rasa. Aku dapat merasakan bilah pisau itu merobek pipiku dengan satu irisan panjang yang mencapai bagian bawah telingaku.
"Mengapa kau meninggalkanku saat di bus?" Tanya Marco dengan nada lembut. "Kau tahu... karenamu aku kehilangan mataku."
Apa yang kurasakan sekarang terlalu menyakitkan, membuatku tak bisa berkata-kata. Jangankan berbicara, setiap kali aku menarik nafas saja wajahku berdenyut, menimbulkan rasa ngilu yang teramat sangat.
Jari-jemari Marco melepaskan kain yang menutup mataku. Memperlihatkanku kepada sebuah pemandangan yang mengerikan.
Darah. Darah menghiasi seluruh penjuru ruangan, seakan-akan Marco baru saja mengecat temboknya dengan darah. Namun, yang membuatku merinding bukanlah darah itu, melainkan tubuh seseorang yang tergantung terbalik di pojok ruangan. Tubuh itu sudah membusuk, lebih tepatnya sudah menjadi tulang belulang. Sedikit otot yang telah mengering masih menempel di tulang tersebut. Dari pakaiannya yang berupa gaun terusan panjang yang sudah koyak termakan usia--dan mungkin belatung-- dapat kusimpulkan kalau tubuh itu milik seorang perempuan... tapi siapa?
![](https://img.wattpad.com/cover/37064320-288-k786579.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Inside [ON REVISION/REWRITE]
Mystery / ThrillerSemua orang yang bernafas di muka bumi ini mengenakan topeng dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Topeng yang digunakannya untuk menutupi kegelapan yang bersarang di dalam hatinya. Sampai kapan kau bisa menyembunyikan 'dirimu' dari dunia? Seber...