Di bawah langit cerah Bandung, Chan menghabiskan hari-harinya dengan penuh semangat. Sebagai anak kuliahan yang tinggal di Bandung sejak kecil, ia terkenal ramah dan pintar. Selalu ada senyum yang mengiringi langkahnya, apalagi saat sedang bermain gitar di taman dekat kampusnya. Semua teman-teman sekelasnya mengenalnya sebagai "Bang Chan" karena jiwa kepemimpinannya yang alami, meski masih muda.
Suatu hari, ada siswa baru di kelasnya. Anak lelaki itu berdiri di depan kelas dengan tatapan canggung, meskipun wajahnya begitu memikat. Namanya Hwang Hyunjin, anak pindahan dari Makassar. Guru memperkenalkan Hyunjin sebagai anak yang pemalu, tapi pintar dalam seni gambar.
Di kelas, Chan menatap anak baru itu dengan senyum lebar, berusaha menyembunyikan rasa penasarannya.
Saat jam istirahat, Chan melihat Hyunjin duduk sendirian di bangku taman. Merasa iba, ia pun menghampirinya.
"Eh, maneh* nuju sorangan wae, nya?"* sapa Chan dengan logat Sunda yang kental.
Hyunjin menoleh dan agak bingung dengan bahasa yang tak terlalu ia kenal. Tapi setelah beberapa detik, ia bisa menebak maksud Chan.
“Oh, iya...,” jawabnya ragu. “K...ka’de nanti bae, belum tahu mau ka’ mana...”
Chan menggaruk kepalanya, mencoba memikirkan cara supaya Hyunjin lebih nyaman. “Oh, baru pindah geuning. Euh, kumaha lamun urang bawa ka tempat-tempat anu asyik di Bandung? Kumaha?”
Hyunjin tampak bingung mendengar beberapa kata yang terdengar asing. Namun, akhirnya ia mengangguk. “Iye, iye ka’mi mau coba liat-liat, siapa tau bagus itu tempatnya.”
Esok harinya, Chan menjemput Hyunjin untuk berjalan-jalan di sekitar Bandung. Sepanjang jalan, ia terus berbicara, menjelaskan tempat-tempat yang mereka kunjungi dengan logat Sundanya yang khas.
"Tuh, Hyunjin, eta, Pasar Baru. Ari maneh keur butuh naon-naon, di dinya mah sadayana aya!” katanya penuh semangat.
Hyunjin menanggapi sambil tersenyum, “Iye iye, makasih mi bro. Tapi, apa na, kasian deh pi kamu...cape bicara ti kayak itu terus.”
“Ah, teu nanaon atuh,” jawab Chan. “Lagipula, ieu Bandung! Maneh pasti suka.”
Mereka terus berjalan, dan Hyunjin pun mulai bercerita lebih banyak tentang Makassar. “Pi ka’mi, Makassar itu enak sekali, pi ada pantai dekat-dekat ka’ rumahku. Iye baru di sini, belum ka’ ngerti ini suasana semua, pi lama-lama enak ka’mi tinggal di Bandung.”
Chan hanya tertawa, menikmati perbedaan bahasa mereka yang justru membuat percakapan semakin menarik. Tak peduli beda logat, pertemanan mereka semakin erat seiring hari-hari berlalu.
Di bawah matahari senja di bukit kecil, Chan memetik gitarnya, memainkan lagu-lagu Sunda sambil Hyunjin mendengarkan dengan senyum.
“Ehh, Chan, kamu nanti nyanyi sedikit mi!” pinta Hyunjin, terdengar lebih santai.
Chan tersenyum lebar, “Kumaha deui, maneh nu menta. Ya atuh, bakal nyanyi saeutik,” katanya, membuat Hyunjin tertawa.
Di sela-sela obrolan logat Sunda dan Makassar mereka yang unik, lahirlah pertemanan yang tulus dan penuh warna.
Seiring berjalannya waktu, hubungan Chan dan Hyunjin semakin erat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, tertawa dan berbicara tentang segala hal. Chan yang selalu percaya diri dengan apa pun yang ia lakukan, kini merasakan sesuatu yang berbeda ketika berada di dekat Hyunjin. Perasaan itu tidak seperti biasanya—seperti sesuatu yang lebih hangat, lebih dalam.
Suatu sore, ketika mereka duduk berdua di taman kota, suasana tiba-tiba terasa lebih tenang dari biasanya. Chan sedang memainkan gitar, dengan lagu-lagu akustik yang lembut mengalun. Hyunjin hanya duduk di sampingnya, menikmati lagu dengan senyum yang tidak bisa disembunyikan.
"Kamu suka pisan kana musik, Jin?" tanya Chan dengan logat Sunda yang khas.
Hyunjin mengerutkan kening sedikit, melirik Chan, lalu jawab dengan logat Makassar yang khas, "Iye, ka’mi suka banget musik. Kadang lagu-lagu yang bisa buat hati nyaman, bikin rasa tenang... enak sekali."
Chan tersenyum mendengar jawaban itu, lalu melanjutkan permainan gitarnya. “Hayu atuh, kuring mah da sugan leuwih betah dengerkeun musik lamun aya nu ngadenge. Upama sorangan mah rasana beda.”
Hyunjin sedikit tertawa, menikmati alunan musik yang dimainkan oleh Chan. “Kalau gitu, terima kasih banyak, Chan. Baru kali ini ada yang mau dengerin aku.”
Chan berhenti sejenak dan menatap Hyunjin. "Aduh, mana bisa kuring nyanyi sorangan? Ngan lamun aya batur mah, leuwih asik," jawabnya, sedikit canggung.
Hyunjin tersenyum kecil, merasa senang bisa menjadi bagian dari kebahagiaan Chan. "Lagu apo yang kamu suka, Chan?"
Chan mengangguk, kemudian memainkan gitar sambil menyanyikan sebuah lagu yang sudah ia kenal. "Nya ieu lagu nu sok kuring mainkeun, tapi ayeuna mah keur nyanyi pikeun maneh," katanya sambil tersenyum.
Hyunjin menatapnya, mulai merasakan hal yang berbeda di dalam hatinya. Sebuah perasaan yang tidak bisa ia jelaskan, tapi terasa begitu nyaman.
"Ada lagu yang ku suka juga, Chan. Tapi... kalau kamu nyanyiin lagu-lagu Sunda itu, pasti seru de'" kata Hyunjin, sedikit menatap Chan dengan tatapan lembut.
Chan mendengar itu dan tiba-tiba jantungnya berdebar. “Jadi... urang bisa terus mainkeun bareng, ya? Ngarasakeun musik jeung suasana anu tenang bareng-bareng.”
Suasana menjadi hening sejenak, keduanya hanya duduk bersama di bawah langit senja yang mulai berwarna oranye. Setelah beberapa detik, Hyunjin melirik Chan dengan senyum kecil.
"Chan, aku... senang bisa deket sama kamu. tak nyangka bisa ada di sini, di Bandung, dan punya teman kayak kamu" kata Hyunjin dengan suara lembut.
Chan terdiam, hatinya mulai berdebar. "Jin, aku ogé ngarasa anu sarua. Rasanya jadi leuwih nyaman, teu kabayang lamun teu aya maneh di Bandung."
Hyunjin mengerutkan keningnya, melihat perubahan dalam cara berbicara Chan. “Eh... kammi ngomong apa sih, Chan?” tanyanya, agak bingung.
Chan menghela napas, mencoba berbicara dengan lebih jujur. "Jujur, Jin... ti awal keneh, aya rasa nu teu bisa dijelaskeun. Anjeun, maksud kuring, teu saukur sahabat... tapi leuwih ti éta."
Hyunjin terdiam, bingung dengan apa yang baru saja didengar. Namun, ada perasaan hangat yang mulai meluap di dadanya. “"Kammi suka'ka sama aku, Chan?”
Chan mengangguk pelan. "Iya, Jin. Ti mimiti urang kenal, aya perasaan nu beda. Aku geus teu bisa ngungkulan ieu rasa."
Hyunjin terdiam sejenak, kemudian menatap Chan dengan tatapan lembut. "Seya... juga merasa beda. Tapi, kalau kita mulai, apa tidak terlalu cepat?"
Chan tersenyum dan menggenggam tangan Hyunjin. "Teu masalah, Jin. Urang pasti bisa. Lamun urang cicing wae, urang teu bakal terang naon anu bisa kajadian."
Hyunjin menatap mata Chan, merenung sejenak. Akhirnya, ia mengangguk perlahan. "Iye, kalau begitu, mari kita coba."
Malam pun semakin larut, dan keduanya masih duduk di sana, bersama-sama merasakan perasaan yang baru mereka ungkapkan. Tak ada lagi rasa canggung atau takut. Mereka merasa semakin dekat, bukan hanya sebagai teman, tapi juga sebagai dua hati yang mulai jatuh cinta, meski berasal dari dua kota yang berbeda.
---
TamatPlisss orang Makassar bantu aku, kalo dalam bahasa Makassar ada yang harus diganti kasih tau pliisss, kalo boleh, dikasih tau juga harus diganti apa, aku ngga terlalu pinter bahasa Makassar 😔😔
KAMU SEDANG MEMBACA
~Chanjin Things~
Short Storykumpulan cerita chanjin bxb Chan top hyunjin bot Jan salah lapak