Cia
Ada sesuatu yang membuat gue terusik setiap kali datang ke rumah Bima. Sisa-sisa ingatan itu terbang terbawa kepak dialog-dialog rumah beberapa waktu lalu.
"Makan, Ci, jangan diliatin saja."
"Iya, Tante."
"Iya, Ci. Jangan sungkan."
Gue mengangguk pelan. Senyuman gue dibuat senatural mungkin. Meski percuma. Tetap saja rasanya gak nyaman.
Gue setengah enggan untuk mengambil makanan di sini. Kenapa? Bukan apa-apa, tapi ada saat-saat di mana gue harus berseteru dengan canggung yang nyaris merambat ke setiap inci helai rambut dan pikiran. Katakan saja bertemu dengan orang tua Bima bukan hal yang formal-formal banget, tapi duduk bersama di acara keluarga seperti ini, sendirian di sini bermodal status sahabat, siapa juga yang gak merasa gugup?
Oke, lupakan sejenak soal ketidaknyamanan dan kegugupan menyebalkan ini. Karena sudah kepalang canggung, kenapa gak malu sekalian?
Belakang rumah Bima terasa hidup gara-gara pesta berbeque kecil-kecilan setelah orang tua Bima mempersiapkannya dari jauh-jauh hari. Katanya untuk menjaga keharmonisan kaluarga-yang sebenarnya gue sendiri gak tahu letak "tidak harmonis"-nya di mana. Keluarga ini terlalu sibuk untuk sekadar memecah konflik, kalau ada, itu berarti satu, dan satu-satunya alasan Bima mengundang gue.
"Kamu masih lucu ya, Ci. Andai Om punya anak perempuan, pasti cantik kayak kamu." Kali ini Om Arya-Ayah Bima-yang bicara.
Pipi gue resmi semu merah selagi mengunyah. "Gak, Om. Aku gak secantik itu."
"Kamu selalu begitu." Om Arya tertawa lagi. Pria itu bahkan gak tahu gue nahan gugup setengah mati. "Selalu merendah."
Gue tertawa bodoh.
Mata gue menatap pria itu canggung.
Om Arya punya wajah tegas yang presentase kemiripannya sembilan puluh per seratus dengan Bima. Dimulai dari hidung, alis, sorot mata, sampai ke bentuk telinga. Yang jelas membedakan mereka adalah Om Arya terlihat ramah, sementara Bima terkesan jutek.
Sementara di sebelahnya, Tante Lia-ibunya-mewariskan sikap-sikap yang semuanya hampir merujuk pada Bima. Cara jalan, sikap fokus, cara bicara, dan masih banyak yang gak perlu gue sebutkan.
"Kamu masih sekelas tahun ini dengan Bima?"
Ada sengatan nyeri waktu pertanyaan itu meluncur. Entah kenapa gue tahu arah pembicaraan ini akan ke mana. Gue melirik Bima sekilas, minta jawaban. Cowok itu mengangguk kaku.
"Gak, Ma. Cia IPA 3, Bima IPA 5." Bima menjawab hati-hati, seperti sedang berjaga-jaga.
"Bagus, deh. Biar kalian bisa punya banyak temen. Apalagi Bima, tuh, temennya kamu doang," ucap yang istri.
Gak tahu saja mereka, temen Bima gak gue doang. Tapi tentu saja gak gue sebutkan.
Sementara Bima kembali diam.
"Iya. Mumpung belum lulus, cari-cari temen yang banyak. Yang ngedukung."
Gue mengangguk-anggukan kepala. Meski rasanya lebih banyak canggung. Bahkan lebih parah setelah topik ini muncul.
"Kalau Cia gak ada yang dukung juga tetep pinter. Ya kan, Ci."
Oke...yang ini agak berlebihan.
"Tapi kamu sudah punya target jurusan kan?"
Untuk beberapa saat tubuh gue berhenti bergerak. Napas gue tercekat.
"Belum Om."
Belakang rumah dengan karpet taman sebagai alas duduk mendadak riuh diisi tawa dari mulut sepasang suami istri. Gue menggaruk telinga salah tingkah. Jawaban itu entah terdengar lebih lelucon atau kebodohan semata. Gue kembali terdiam setelah lima belas detik yang menebarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abu-Abu Kelabu
Teen Fiction[ON GOING, UPDATE SEMINGGU SEKALI] Besok adalah sesuatu yang tidak pernah benar-benar kita ketahui. Mungkin itulah yang membuat Cia penasaran. Tentang apa pun, tentang siapa pun. Tentang Aksa. Meskipun itu berarti ketidaktahuan. Sekalipun bertaruh d...