Bab 6: Pengejaran Berdarah

1 0 0
                                    



*Lorong Bawah Tanah Monas, Jakarta - 05:30 AM*

Lorong itu dipenuhi debu dan kegelapan. Xander menyalakan senter dari ponselnya, cahaya tipis menyoroti ukiran-ukiran tua di dinding. Regina berdiri di sebelahnya, masih mengatur napas, sementara suara langkah-langkah berat dari atas semakin terdengar jelas.

"They're here," Regina berbisik, tangannya meremas gagang pedang yang disembunyikannya.

Xander memandangnya, mata mereka bertemu sejenak. "Reg, no matter what happens, you stick with me. Understand?"

Regina mengangguk, senyum tipis terukir di wajahnya. "Always."

**BRAK!**

Langit-langit lorong retak, debu dan pecahan batu berjatuhan. Marcus Stavros dan anak buahnya menerobos masuk, mata mereka menyala dengan determinasi dingin.

"Enough hiding," Marcus mengangkat tangan, memberi isyarat. Pria-pria bersenjata mulai maju, senapan-senapan mereka terangkat. "This is where it ends, Alex."

Xander mencengkeram pisau lipatnya erat-erat. "You wish."

Tiba-tiba, suara tembakan meledak. Xander dan Regina melompat ke samping, berlindung di balik pilar batu tua. Peluru menghantam dinding, memecah ukiran-ukiran berusia ratusan tahun.

"We need to move!" Regina menjerit, darah menetes dari luka kecil di pipinya.

Xander melihat sekeliling, mencari celah. "There! That passage!" Dia menunjuk sebuah lorong sempit yang tertutup tirai besi tua. "Let's go!"

Mereka berlari, sementara suara langkah kaki dan tembakan menggema di belakang. Salah satu anak buah Marcus mendekat, senjata terarah lurus ke kepala Regina.

"NO!" Xander berlari, melemparkan pisau dengan presisi. Pisau itu menancap di leher pria itu, membuatnya terhuyung jatuh. Darah mengalir deras, mewarnai lantai batu.

"Nice shot," Regina terengah.

"Thanks," Xander menariknya. "Keep going!"

Mereka masuk ke lorong yang lebih gelap, hanya terdengar suara napas berat dan detak jantung yang menggila. Langkah kaki musuh semakin mendekat, gema suara Marcus terdengar dingin.

"You can run, Alex. But you can't hide from your destiny."

Xander berhenti sejenak, menatap Regina. "Kalau ini akhir kita, gue mau lo tahu satu hal."

Regina mengerutkan dahi, tapi matanya tak gentar. "Apa?"

"Life isn't about what we leave behind, but what we fight to protect." Xander menarik napas. "Let's make this count."

Regina mengangguk, air mata menetes, tapi ia tersenyum penuh keberanian. "Let's do this."

**DOR! DOR!**

Peluru kembali menyalak. Xander berbalik, menjatuhkan satu pria dengan tembakan ke lututnya. Marcus melangkah masuk, wajahnya penuh kemarahan.

"Enough!" Marcus menembak ke atas, membuat debu dan serpihan berjatuhan. "Alex, stop this madness. Give me the sword, and you can live."

"You think I care about living?" Xander tertawa sumbang. "It's not life if it's controlled by greed like yours."

Marcus tersenyum dingin. "Then die knowing you failed." Dia mengangkat senjata.

Tiba-tiba, suara berat terdengar dari ujung lorong. "DROP YOUR WEAPONS!"

Marcus menoleh. Letnan Bayu, berseragam Kopassus, muncul dengan pasukan lengkap di belakangnya. Senapan mereka terarah, siap menembak.

"Game over, Marcus," Bayu tersenyum sinis. "This is for my friend."

Marcus menatap tajam, tangannya tetap di pelatuk. Tapi sebelum dia sempat menariknya, satu peluru tajam melesat dari arah Bayu, tepat mengenai dadanya. Marcus terhuyung, matanya membelalak sebelum jatuh tak bergerak.

Hening.

Xander menatap tubuh Marcus yang tergeletak, napasnya berat. "It's over," dia berbisik.

Bayu menghampiri, menepuk bahunya. "Good to see you alive, brother."

Regina menghela napas panjang. "This... was insane."

Xander tertawa, lelah tapi lega. "It's not over yet. We have a map to follow."

---

**Flashback: Ruang Penelitian, Thessaloniki University - 1970**

Seorang pria paruh baya duduk di meja kayu tua, menulis dengan cepat. Di sampingnya, foto candi Panataran tergeletak. Matanya berkaca-kaca saat ia menulis.

"If my descendants find this, know that the path you take will be paved with blood and sacrifice. But remember, the truth must prevail."

Dia berhenti, menatap ke luar jendela ke arah matahari terbenam.

"For what is lost, can always be found."

---

*Bersambung...*

Pedang Nusantara: Takdir Yang TerlupakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang