Bab 1: Rahasia Dalam Jurnal

3 0 0
                                    


*Jakarta, 2024 - 01:23 AM*

"Gila, gila, gila..." Xander mondar-mandir di apartemen sempitnya, jurnal tua masih tergenggam erat di tangan. Matanya nyaris copot membaca halaman demi halaman tulisan kakeknya.

"Tahun 1821, Alexandros Stavros, pemimpin pasukan rahasia Filiki Eteria, mengamankan sebuah artifak yang mampu mengubah sejarah. Bukan sekedar pedang biasa - tapi Pedang Nusantara. Bagaimana benda seperti ini bisa sampai ke Yunani? Jawabannya ada di Majapahit..."

Xander berhenti sejenak, mengusap keringat dingin di dahinya. AC murahan di apartemennya mendengung lemah, sama sekali nggak membantu.

"Bro, your coffee."

"ANJIR!" Xander terlonjak. Regina udah berdiri di ambang pintu sambil bawa cup holder isi kopi.

"Sorry, pintunya nggak dikunci. Lo nggak bales chat gue dari tadi, jadi..." Regina melenggang masuk dengan casual, seperti biasa nggak peduli ini udah lewat tengah malam. Gayanya anggun dalam balutan dress branded, kontras banget sama kaos oblong lusuh yang Xander pake.

"Reg, lo harus liat ini." Xander nyodorin jurnal kakeknya.

Regina mengangkat alis. "Journal lama? Really? This better be good karena gue baru aja ninggalin charity gala buat—"

"Maharani."

Regina terdiam. Xander hampir nggak pernah manggil nama belakangnya.

"Lo pernah bilang koleksi keluarga lo punya pedang kuno dari Majapahit kan?"

"Yeah? That rusty old thing? Bokap bilang itu dari abad ke-14 atau apalah. Why?"

"Karena," Xander nelen ludah, "menurut jurnal ini, pedang yang ada di rumah lo itu cuma salah satu dari sepasang pedang kembar. Dan yang satunya lagi..." dia nunjukin halaman jurnal yang isinya sketsa detail sebuah pedang, "...ada di Yunani. Atau setidaknya, terakhir kali muncul di sana 200 tahun lalu."

Regina duduk di pinggir kasur, mulai serius. "And?"

"Dan kedua pedang ini... they're not just weapons. They're keys. Kunci menuju sesuatu yang disembunyikan sejak zaman Majapahit. Something that could change everything."

Regina membolak-balik halaman jurnal dengan hati-hati. "Xan... ini tulisan tangan Profesor Wicaksono kan? Kakek lo? Beliau... beliau dapat info ini dari mana?"

"Because," Xander mengambil napas dalam-dalam, "Alexandros Stavros... is our ancestor. Maksud gue, ancestor gue. That's why gue dapat nama Alexander. Kakek adalah bagian dari... semacam organisasi rahasia yang jagain rahasia ini turun-temurun."

"Wait wait wait," Regina mengangkat tangan. "Lo ngomong soal organisasi rahasia? Secret society gitu? Like... Illuminati?"

"More like... Assassin's Creed meets Da Vinci Code, tapi versi Nusantara," Xander nyengir getir. "Sounds crazy right?"

"Yeah well, speaking of crazy..." Regina mengeluarkan smartphone-nya. "Tadi di gala, gue ketemu orang aneh. Bule, tapi fasih banget bahasa Indonesia. Dia tanya-tanya soal pedang kuno koleksi bokap. Like, really specific questions. Terus pas gue bilang gue punya temen history expert, dia kasih ini."

Regina nunjukin sebuah kartu nama elegant:

'''
Dr. Marcus Stavros
Historical Artifacts Specialist
Thessaloniki University
'''

Di bawahnya ada tulisan tangan dalam huruf Yunani - persis seperti pesan misterius yang Xander terima tadi.

"Holy shit." Xander duduk lemas di lantai.

"What? Lo bisa baca tulisannya?"

"Nggak. Tapi gue dapet pesan yang sama persis di HP gue tadi—"

Mendadak, listrik di apartemen Xander mati total. Dalam kegelapan, mereka bisa mendengar suara langkah-langkah berat menaiki tangga apartemen.

"Reg," Xander berbisik, "call your driver. Now."

"Already did. He's waiting downstairs with the car running."

"Good. Karena kita harus ke rumah lo. Like, right now."

"Why?"

"Because if everything in this journal is true, orang-orang yang lagi naik tangga itu... they're not here for a friendly chat."

Dalam kegelapan, Xander memasukkan jurnal dan perkamen ke dalam tas ranselnya. Suara langkah semakin mendekat.

"Fire escape?" Regina berbisik.

"Fire escape."

Tepat saat pintu apartemen Xander mulai didobrak, dua sosok berlari menuruni tangga darurat dalam gelap. Mobil Mercedes hitam sudah menunggu di bawah, mesinnya menderu halus.

"Mas Prapto, gas!" Regina melompat ke kursi belakang, diikuti Xander.

Mobil mewah itu meluncur mulus menembus jalanan Jakarta yang masih basah sehabis hujan. Dari kaca spion, Xander bisa melihat beberapa sosok berpakaian hitam keluar dari apartemennya.

"Well," Regina menyandar ke jok kulit, tersenyum tipis. "Looks like lo udah nggak perlu khawatir soal writer's block. This is gonna be one hell of a story."

Xander nggak menjawab. Matanya tertuju pada foto usang yang dia temukan di antara halaman jurnal - foto kakeknya berdiri di depan sebuah candi kuno, memegang pedang yang sangat mirip dengan sketsa di jurnal.

Di balik foto itu tertulis: "Candi Panataran, 1965. The truth lies beneath."

"Reg?"

"Hmm?"

"I hope your passport is ready. Karena gue rasa... kita bakal butuh."

---

Di sebuah ruangan mewah di lantai 40 sebuah gedung pencakar langit Jakarta, seorang pria paruh baya menatap layar laptop-nya. CCTV menampilkan Mercedes hitam yang menjauh dari apartemen sasaran.

"Sir," seorang agen berpakaian hitam melapor. "Target berhasil kabur. Tapi kita berhasil pasang tracker di mobilnya."

Pria itu tersenyum. Jemarinya yang dipenuhi cincin emas mengetuk-ngetuk meja mahoni.

"Excellent. Biarkan mereka lari. The hunt is always more fun that way." Dia berpaling ke arah dinding kaca, menatap gemerlap Jakarta di kejauhan. "After all... we've been waiting for this moment for centuries."

*Bersambung...*

Pedang Nusantara: Takdir Yang TerlupakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang