*Menteng, Jakarta - 02:15 AM*Gerbang tinggi kediaman Maharani membuka otomatis saat Mercedes hitam Regina mendekati. Xander memandang takjub rumah bergaya kolonial yang berdiri megah di hadapannya. Meski sudah berkali-kali main ke sini, dia masih aja kagum sama koleksi mobil klasik yang dipajang di garasi kaca.
"Welcome to my humble abode," Regina nyengir, ngeliat ekspresi Xander. "Again."
"Humble my ass," Xander mendengus. Tas ransel berisi jurnal dan perkamen terasa berat di pundaknya.
Mereka masuk melalui pintu samping, menghindari lobby utama yang dijaga ketat. Regina memimpin jalan melalui lorong-lorong yang dihiasi lukisan dan artefak kuno.
"Bokap lagi di Singapore, meeting sama collector. Nyokap ikut. We got the house to ourselves."
"Perfect." Xander mengeluarkan jurnal kakeknya. "Sekarang, tunjukin pedangnya."
Regina menggeleng. "Not here. We need to go down first."
"Down?"
Regina mengedipkan mata. "You're not the only one with family secrets, darling."
Mereka berhenti di depan rak buku antik. Regina menarik salah satu buku - "Sejarah Majapahit" - dan terdengar suara klik pelan. Rak bergeser, memperlihatkan lift tersembunyi.
"Seriously?" Xander melongo. "Lo punya bat cave?"
"More like a museum cave. Grandfather's idea. He's... quite paranoid about his collection."
Lift turun ke basement yang dingin. Lampu-lampu sensor menyala otomatis, memperlihatkan ruangan luas berisi puluhan display case berisi senjata kuno, perhiasan, dan artefak dari berbagai era.
"Holy..." Xander terpana.
"Welcome to Maharani Private Collection." Regina melangkah ke salah satu display case di tengah ruangan. "And this... this is what you're looking for."
Di dalam case kaca anti peluru, tergeletak sebuah pedang kuno. Gagang dan sarungnya dihiasi ukiran rumit motif Majapahit. Tapi yang membuat Xander tercekat adalah simbol di pangkal pedang - persis seperti sketsa di jurnal kakeknya.
"Gue udah liat pedang ini ribuan kali," Regina membuka case dengan sidik jarinya. "Tapi gue nggak pernah notice this." Dia menunjuk ukiran kecil di gagang pedang - huruf Yunani kuno yang sama dengan pesan misterius mereka.
Xander mengeluarkan perkamen dari tasnya, membandingkan tulisannya. "It's a match. Tapi ini cuma setengah kalimat. Setengahnya lagi..."
"...ada di pedang yang satunya?" Regina mengangkat alis.
"Yeah. The one in Greece. Or wherever it is now."
Regina mengambil pedang itu dengan hati-hati. "You know what's weird? Tadi siang, that Dr. Stavros guy specifically asked about this sword. Like, he knew exactly what he was looking for."
"Stavros..." Xander membuka-buka jurnal kakeknya. "Here. Marcus Stavros. Dia disebut di sini. Dia... ancestor gue juga. Great-great something grandfather. Which means..."
"...dia ada di pihak kita?"
"Or he could be the enemy." Xander mengusap wajahnya. "Dalam jurnal ini ditulis, keluarga Stavros terpecah jadi dua. Some wanted to protect the secret, others wanted to use it."
"Use it for what?"
Sebelum Xander bisa menjawab, alarm keamanan mendadak berbunyi nyaring.
"Shit!" Regina berlari ke monitor keamanan. "Someone's breaking in! Multiple hostiles!"
"The tracker," Xander mengumpat. "They must've followed us!"
"We need to go. Now!" Regina memasukkan pedang ke dalam tas golf khusus. "There's a tunnel. Connects to—"
BRAK! Pintu lift meledak terbuka. Asap mengepul, dan sosok-sosok berpakaian hitam muncul dengan senjata teracung.
"Give us the sword," suara berat dengan aksen asing. "Nobody needs to get hurt."
"Like hell!" Regina melempar smoke bomb dari laci terdekat. Dalam sekejap ruangan dipenuhi asap tebal.
"This way!" Regina menarik Xander ke arah lemari antik. Panel rahasia terbuka, memperlihatkan lorong gelap. "Emergency exit. Grandfather's paranoia finally pays off!"
Mereka berlari dalam terowongan sempit. Di belakang, terdengar teriakan dan derap langkah mengejar.
"Lo tau ini nembus ke mana?" Xander terengah.
"Stasiun MRT!" Regina tersenyum di tengah pelarian. "There's an old maintenance tunnel connecting to—"
DOR! DOR!
Tembakan menggema dalam terowongan. Xander dan Regina berlari zigzag, menghindari peluru yang memantul di dinding beton.
"By the way," Regina berteriak sambil berlari. "Kalau kita selamat dari ini... you owe me a proper dinner!"
"Seriously? Now?"
"Hey, gue udah ninggalin charity gala, rumah gue diserbu, dan sekarang gue lari-larian di gorong-gorong. The least you could do is take me to dinner!"
Xander tertawa di tengah kepanikan. "Fine! Kalau kita selamat, gue traktir lo makan! Tapi bukan di tempat mahal!"
"Deal!"
Mereka terus berlari dalam gelap, suara tembakan semakin jauh. Tapi Xander tau, ini baru permulaan. Somewhere out there, Dr. Marcus Stavros - entah kawan atau lawan - sedang menunggu. Dan misteri pedang kembar ini...
"Wait," Xander berhenti mendadak. "The journal mentioned something. About the twin swords. When they're united..."
"What?"
"They're not just keys. They're a map. Dan tempat yang ditunjuk map itu..." Xander menelan ludah. "...it's not in Majapahit territory."
"Then where?"
"Somewhere older. Much older." Xander menatap Regina. "Ever heard of Kutai Kingdom?"
Di kejauhan, sirine polisi mulai meraung-raung memecah keheningan Jakarta dini hari.
*Bersambung...*
KAMU SEDANG MEMBACA
Pedang Nusantara: Takdir Yang Terlupakan
Fiksi SejarahDi tengah gemerlap Jakarta modern, Alexander "Xander" Wicaksono hanyalah seorang freelance writer biasa yang berjuang mencari nafkah. Namun takdir berkata lain ketika sebuah pesan misterius dalam bahasa Yunani membawanya membuka kotak warisan terakh...