Feels Like I'm Walking On Tightrope

193 52 27
                                    


Hubungan ini seperti berjalan di atas jembatan tanpa pondasi. Bergoyang-goyang, oleng dan limbung ketika terhembus angin ketidakyakinan. Namun, semua perumpamaan itu hanya ada dalam benak Sonya karena tiap kali Daan diajak berbincang tentang kepastian pria itu selalu menjawab;

"Kita sudah menikah, Sonya, kepastian apa lagi yang kau mau? apa keperkasaanku di atas ranjang itu masih kurang untukmu? kau mau aku berbuat apa? memanggilmu sayang seperti remaja tanggung baru pacaran?"

Salahkah ia jika terus-terusan meminta kejelasan di antara semua hal yang dimaksud sudah jelas oleh Daan; Cumbuan tiap malam, tidur berpelukan, mandi berdua, makan, bekerja lalu bercinta lagi dan lagi.

Sonya akhirnya memilih menyerah, dia lelah dengan pertanyaan yang berulang-ulang. Kali ini, dalam pelukan hangat Daan, sehabis percintaan mereka, di tengah-tengah hujan yang menggelegar di luar, ia ingin percaya bahwa Daan memang mencintainya, pria itu hanya tak pandai berkata-kata. Sonya berharap, dalam mata berbinar mau pun jauh di lubuk hati Daan yang terdalam, pria itu memang benar-benar mengukir namanya disana.

"Apa kita perlu mendekor ulang rumah?" tanya Daan memecah keheningan.

"Terserah kamu, ini rumahmu, dan aku tak punya uang kalau kau minta aku untuk ikut menyumbang."

Tawa Daan teredam di lekukan leher Sonya.

"Aku tak sekejam itu, Sonya."

"Kamu memang kejam, Daan, kau hanya tak menyadarinya."

Daan tercenung diam mendengar balasan dari Sonya.

Bahasa cinta itu bukan hanya satu, tidak melulu dengan i love you, je t'aime, aishiteru, uhibbuka, oel ngati kameie, atau berlutut dengan menggenggam kotak beludru berisi berlian, atau panggilan-panggilan khusus yang lucu dan menggemaskan, karena setiap orang punya tindakan masing-masing untuk mengutarakan isi hati mereka. Daan mungkin memang bukan pria yang suka bercerita, he is a man with an action.

Dia berprilaku bukan berkata, sesimpel menyiapkan air hangat untuk mereka mandi bersama, membersihkan kasur untuk mereka tidur bersama, menata rak sepatu ketika Sonya terlalu lelah, atau mulai berjibaku dengan baju-baju kotor yang dicucinya saat akhir pekan tiba. Itu jugalah yang membuat Sonya makin yakin bahwa pria itu memang tak perlu lagi menghubungkan berpuluh-puluh huruf mengikatnya dalam satu kalimat berbentuk sajak manis dan puisi romantis untuk mengenalkan cinta pada Sonya. Daan seperti tengah memberi pengertian kalau tindakan itu jauh lebih besar maknanya daripada sekedar kata-kata yang nantinya akan basi lalu dilupakan.

Jadi biarlah, jika Daan memang ingin mencintai dengan caranya sendiri.

Dua mangkok mie instan, lengkap dengan toping telur setengah matang, sawi, irisan sosis bercampur cabe rawit buatan Daan tersaji di atas meja makan. Kepulan asap panas diiringi bunyi tuk tuk tuk rinai hujan yang mengetuk di jendela seperti jadi bahan pelengkap betapa bahagianya dua insan yang tengah saling mabuk akan keberadaan masing-masing.

"Tak akan seenak buatanmu, tapi setidaknya masih bisa dimakan," ucap Daan meyakinkan hasil masakannya, mi-nya sudah terlalu lodoh, sawinya kurang matang, dan telur yang bentuknya berantakan. Tapi tak apa, Sonya menerima, ia mulai menyeruput kuah mi yang keasinan karena takaran airnya tidak pas dengan rasa senang bukan kepalang.

"Omong-omong, Daan, kenapa rumahmu kosong melompong? apa gedung ini masih baru atau kau memang pelit, medit, kedekut?"

Daan mengangkat bahunya sedikit, mulutnya mengerucut meniup asap-asap agar pergi menjauh. "Aku cuma mau suasana baru." jawab Daan.

"Oh...berarti ini dulu pernah ada isinya?"

Daan mengangguk.

"Itu," Sendok Sonya menunjuk pada kompor mahal yang memang jadi perhatian Sonya sejak pertama kali ia tinggal di rumah ini. "Itu mahal loh, dan bentuknya terlalu feminim untuk ditaruh di rumah bujangan, pantry dan meja ini juga, design-nya terlalu apa ya.. cewek banget, Daan."

Into You, I MeltTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang